Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENJATA utama seorang kartunis adalah metafora. Makin cerdik dia memainkan metafora, makin humor-humornya tak akan jatuh pada satire yang klise. Makin ide-ide visualnya menyegarkan, makin sindiran-sindirannya menggigit—boleh jadi menjengkelkan bagi pihak yang dikritik—menyengat, membuat kecut, tapi mungkin sekaligus mengundang senyum dan perenungan.
Lahir di Magelang, Jawa Tengah, 10 Mei 1947, Priyanto Sunarto (wafat pada 17 September 2014) malang-melintang menggambar kartun di majalah Tempo, Forum Keadilan, dan D&R. Sebagai kartunis senior, ia pasti memiliki kepekaan tersendiri saat memutuskan mengangkat kartun editorial koran-koran periode Demokrasi Parlementer sebagai obyek disertasinya di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 2005.
Era Demokrasi Parlementer (1950-1957) dikenal sebagai periode penuh hiruk-pikuk partai. Tiap hari terjadi kontestasi ideologi. Kurun itu juga disebut-sebut sebagai zaman yang demokratis. Mulai Desember 1949 sampai Maret 1957, tujuh perdana menteri jatuh-bangun memimpin kabinet. Mereka antara lain Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, dan Burhanuddin Harahap. Priyanto mengamati kartun editorial dari tujuh surat kabar yang berbeda afiliasi politik, yakni Suluh Indonesia, Bintang Timur, Harian Rakjat, Harian Indonesia Raya, Pedoman, Merdeka, dan Abadi.
Tiap kartun editorial di koran-koran itu, menurut Priyanto, membangun citra negatif lawan-lawan politiknya. Sering ungkap-annya sarkastis dan frontal. Priyanto tertarik mengamati bagaimana kartunis tiap media tersebut menggunakan metafora saling menyudutkan pihak yang tak disukai. Seberapa kreatif mereka mengemas lelucon dan sindirannya. Seberapa berlapis ungkapan kartun mereka.
Karya kartunis Ramelan dalam Suluh Indonesia yang menggambarkan seseorang berkacamata dengan mulut menganga dan sebuah tangan bertulisan “Rakjat” membawa catut bersiap mencabuti giginya. Metafora Visual
Priyanto membagi metafora visual dalam tiga kategori: metafora beku, metafora segar, dan metafora samar. Metafora beku menampilkan kiasan yang sudah sangat umum, metafora segar adalah metafora yang ungkapannya baru, sedangkan metafora samar simbolismenya susah diraba.
Berdasarkan tiga kategori itu, Priyanto lalu menganalisis secara jeli kartun-kartun editorial. Hasilnya menarik. Misalnya, di antara dua koran kiri yang cenderung mendukung komunis, menurut Priyanto, cara ungkap kartunis Bintang Timur lebih cerdas ketimbang Harian Rakjat. Kartun Harian Rakjat lebih menekankan kejelasan daripada bermain metafora. Ungkapannya beku. Bila melukiskan buruh selalu orang berbadan besar membawa palu dan majikan tak jauh dari orang memakai jas berperut buncit. Sedangkan Bintang Timur lebih segar, bahkan liar.
Bintang Timur memiliki kartunis tenar bernama Sibarani. Ungkapan Sibarani dikenal sinis tapi orisinal. Untuk mengekspresikan wajah tokoh politik yang diejek, ia berani menggambar paras mereka serupa binatang. Salah satu kartunnya yang dianggap Priyanto segar adalah tatkala Sibarani memparodikan Sjahrir dan Sumitro yang berupaya membersihkan diri dari tuduhan menyokong pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Digambarkan dengan suasana pesta yang banyak pasangan berdansa dan ada seseorang telanjang dimandikan orang banyak. Suasana pesta jelas melambangkan anggota Partai Sosialis Indonesia, yang kerap dianggap kebarat-baratan. Kartun ini nyelekit tapi jenaka.
Suluh Indonesia memiliki kartunis bernama Ramelan yang amat piawai mendistorsi wajah dan tubuh. Suluh Indonesia adalah media partisan Partai Nasional Indonesia. Ketika PNI menang dalam pemilihan umum dan menuntut kabinet Burhanuddin turun, Ramelan menggambar seseorang berkacamata hitam duduk terjengkang dengan kepala besar bermulut menganga lebar. Terlihat gigi-giginya yang tak rapi. Lalu ada tangan membawa catut menyorong ke arah gigi-gigi itu untuk mencabutinya. Tangan itu bertulisan “Rakjat”.
Priyanto Sunarto
Sementara Suluh Indonesia cenderung Sukarnois, Harian Indonesia Raya amat sinis terhadap Sukarno. Koran yang dipimpin Mochtar Lubis ini pada edisi 22 September 1955 menggambarkan Sukarno menabuh tong. Itu untuk menyindir pidato-pidato Sukarno yang tak lebih dari tong kosong nyaring bunyinya.
Priyanto melihat Pedoman, yang dipimpin Rosihan Anwar, dan Merdeka, yang dikomandoi B.M. Diah, meski mencoba independen, tetap menurunkan kartun yang menembak langsung tokoh yang disasar. Pedoman mengkritik kebijakan imigrasi Djuanda di Kabinet Wilopo yang mempermudah masuknya pengusaha Jepang ke Indonesia, dengan menampilkan kartun rombongan orang bergerigi meringis menghadap Djuanda di depan pintu imigrasi meminta akses. Merdeka saat mencemooh Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo karena menandatangani kerja sama Mutual Security Act dengan Duta Besar Amerika Serikat Horace Merle Cochran menampilkan keduanya bak poster film. Cochran didandani seperti wanita dan Soebardjo berlutut sembari menyerahkan bunga. Poster itu berjudul The Lovers.
Priyanto juga menyajikan adanya ungkapan yang berbeda antara kartun masa lalu dan sekarang. Misalnya, sementara kartunis masa kini menggambar koruptor atau pengemplang uang rakyat memakai metafora tikus, di masa lalu para kartunis menggunakan kucing. Mungkin kucing cocok dengan maling karena, saat akan mencomot ikan asin, binatang itu mengendap-endap. Contohnya koran Abadi yang ingin mengejek Rasuna Said, tokoh PNI senior, yang diduga akan mengemplang dana pajak peredaran dari Sjafroeddin Prawiranegara dengan menggambarkan kucing berkepala Rasuna di atas meja makan.
Penelitian Priyanto yang diterbitkan oleh Institut Kesenian Jakarta dan Institut Humor Indonesia Kini ini bisa menjadi landasan bagi sebuah studi perbandingan. Menurut Priyanto, rata-rata gaya gambar kartun editorial di zaman Demokrasi Parlementer realistis: anatomi, proporsi tubuh, dan keruangan mendekati kenyataan. Perubahan anatomis, seperti kepala lebih besar dari tubuh atau manipulasi tubuh, nyaris tak dilakukan.
Perbandingan lain yang menarik untuk dikaji, misalnya, seberapa jauh aspek metafora pada kartun editorial di zaman Orde Baru berbeda dengan di zaman Parlementer. Adakah di era reformasi ini kritik-kritik lebih dimetaforakan secara inovatif? Lebih cerdik kartunis era Demokrasi Parlementer atau era reformasi dalam menyiasati metafora? Seberapa segarkah metafora-metafora kartun editorial zaman kini? Apakah visualisasi laporan utama pada sampul majalah masa kini yang sering juga menampilkan gambar parodi lebih tajam ketimbang kartun-kartun editorialnya? Kajian lanjutan itu tentunya termasuk menganalisis kartun-kartun Priyanto sendiri.
Kumpulan kartun Priyanto di majalah Tempo pada 1972-1994 telah dibukukan. Priyanto adalah kartunis awal yang mengisi rubrik kartun opini di Tempo sejak -rubrik itu muncul perdana pada 17 November 1979. Kartun opini Tempo selanjutnya sampai 1980-an awal diisi oleh T. Sutanto. Sejak Maret 1986 sampai Tempo dibredel pada 1994, Priyanto kembali yang mengisi. Setelah Tempo terbit kembali, Priyanto pengisi tetap rubrik itu. Priyanto menyempatkan diri datang dari kediamannya di Bandung untuk mengikuti rapat opini di kantor Tempo di Jakarta yang membahas sikap editorial Tempo terhadap berbagai isu. Bagi dia, mengetahui posisi atau sikap sebuah media adalah penting agar kartunis tidak keliru menampilkan metafora. Melalui disertasi Priyanto ini, studi kartun editorial yang serius telah dimulai.
SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
METAFORA VISUAL: KARTUN EDITORIAL PADA SURAT KABAR JAKARTA 1950-1957
Penerbit: IKJ Press dan Institut Humor Indonesia Kini, 2019
Tebal: 252 Halaman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo