Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pluit segera meniupkan peluitnya. Mereka merasa harus memutuskan nasib sendiri sebelum nantinya nasib mereka diaduk-aduk tata kota yang semrawut. Maka, terbentanglah sebuah spanduk di pertigaan Jalan Pluit Barat Raya dan Jalan Pluit Permai, Jakarta Utara. Isinya ajakan kepada warga perumahan Pluit meninggikan tanggul Kali Muara Karang. Pada bagian bawah tercantum si pemasang spanduk: Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Pluit.
Spanduk tersebut dipajang membelakangi Kali Muara Karang yang lebarnya 40 meter. Puncak tanggul sungai ini berada tiga meter di atas pemukiman warga. ”Kami harus tinggikan lagi untuk mengantisipasi banjir yang akan datang,” kata Oscar W. Kusumaprijatna, Ketua Dewan Kelurahan Puit kepada Tempo, Selasa malam pekan lalu.
Malam itu, Oscar mengadakan rapat dengan anggota Forum di kantor kelurahan. Forum merupakan organisasi yang dibentuk warga Pluit yang sebagian besar dihuni etnis Tionghoa. Sementara itu, Dewan Kelurahan adalah organ yang dibentuk pemerintah yang anggotanya utusan setiap rukun warga.
Selain membahas peninggian tanggul, mereka juga bersyukur terhindar dari banjir bandang yang terjadi sepekan sebelumnya. Padahal, kawasan Kelapa Gading terendam air setinggi satu sampai dua meter. Sebagian warga Tionghoa percaya Kelapa Gading menjadi kepala Naga, Pluit bagian perutnya dan kawasan Kamal merupakan ekor Naga. ”Kali ini hoki ada di perut Naga,” kata Oscar.
Oscar bercerita bagaimana warga bahu-membahu mencegah masuknya air ke permukiman. Air tersebut mengucur dari tanggul di Jalan Tol Sedyatmo yang jebol pada Jumat, 2 Februari. Setiap rukun warga (RW) mengirimkan 10 warga dan petugas keamanan atau kebersihan untuk menambalnya. ”Orang gedongan dan kuli sama-sama angkat pasir dan makan nasi bungkus,” kata Oscar menggambarkan kebersamaan warga.
Upaya itu berhasil dan Pluit menda-pat pujian dari berbagai pihak. Maklum, kawasan yang awal 1970-an masih berupa rawa memang dikepung air. Pada bagian utara terhampar Teluk Jakarta dengan fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap Muara Karang.
Di sebelah timur terdapat Waduk Pluit seluas 80 hektare. Waduk ini menampung Sungai Cideng dan mengendalikan banjir di area seluas 2.633 hektare. Area itu termasuk kawasan Menteng, Cendana, dan Jalan M.H. Thamrin. Air yang tertampung di waduk lalu dipompa ke Laut Jawa.
Di sebelah barat Kelurahan Pluit, yang memiliki 17 RW, terdapat Kali Muara Angke. Sungai ini sambungan dari Banjir Kanal Barat yang meneruskan Sungai Ciliwung sejak dari Pintu Air Manggarai. Di antara waduk dan Kali Angke terdapat Kali Muara Karang. Sedangkan di bagian selatan membentang Jalan Tol Sedyatmo yang menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Ketika banjir bandang menerjang Jakarta pada 1996 dan 2002, perumahan Pluit ikut terendam air setinggi satu meter. ”Ini jadi pelajaran pahit bagi kami,” kata Tjhi Fat Khiong, Ketua RW 07. Warga lantas patungan meninggikan tanggul sepanjang 800 meter di kanan dan kiri Kali Muara Karang.
Ketinggian tanggul ditambah satu meter lagi dengan lebar dua meter yang menelan dana Rp 200 juta. Tanggul sejenis juga dibangun di Kali Muara Angke. Untuk mengatur pembuangan air dari rumah tangga ke dalam dua sungai, setiap RW membeli instalasi pompa. Jumlah seluruh pompa ukuran besar dan kecil yang dimiliki warga 60 unit. Sementara 11 pompa yang sebagian dibeli pemerintah digunakan membuang air ke waduk.
Harga satu pompa besar buatan Cina itu Rp 40 juta, sedangkan pompa kecil hanya Rp 10 juta. Menurut Oscar, warga juga membeli generator sebagai cadangan bila listrik PLN mati. Mereka ingat bencana 2002, ketika tanggul jebol dan sejumlah pompa tidak berfungsi karena listrik padam.
Tjhi Fat Kiong menjelaskan, setiap kepala keluarga di wilayahnya menyetor Rp 150 ribu untuk membangun tanggul. Mereka harus menyetor Rp 350 ribu lagi untuk pembelian pompa. Di RW 07, rumah pompa dibangun pada bantaran Kali Muara Karang.
Enam pompa yang bekerja selama 24 jam dikendalikan tiga petugas. ”Saya dibayar Rp 900 ribu per bulan,” kata Samji, salah seorang petugas yang sedang memantau informasi melalui radio dua meter. Dia bertugas membersihkan sampah yang berada di kolam penampungan dan menjalankan pompa yang menggunakan generator.
Gotong-royong ala warga Pluit perlu diacungi jempol. Betapa tidak, kawasan ini berada di bawah permukaan laut. Mereka tidak berharap banyak dari PT Jakarta Manajemen Estatindo, pengembang yang membangun kawasan ini. ”Kami alergi karena mereka kurang bermasyarakat,” kata Oscar.
Perusahaan ini merupakan anak PT Jakarta Propertindo, badan usaha milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Menurut Oscar, perusahaan ini hanya mementingkan bisnis semata sehingga mengorbankan fasilitas umum dan sosial. Dia menyebut penyewaan lahan di bantaran kali bagi penjual tanaman.
Oscar juga menilai Mega Mall Pluit menyalahi aturan karena dibangun pada lahan yang menjadi bagian waduk. Namun Hendro Wahyono, Manajer Operasional PT Jakarta Manajemen Estatindo, membantah tuduhan itu. ”Sebelumnya, lahan itu untuk atraksi buaya dan taman air,” kata Hendro.
Warga Pluit juga tidak menunggu Dinas Pekerjaan Umum membagikan pompa dan menurap sungai. Memang, akhir tahun lalu pemerintah menambah tiga unit pompa di Waduk Pluit. Maklum pompa yang ada sebagian besar berusia 40 tahun.
Kepala Subdinas Pengendalian Sumber Daya Air dan Pantai, Dinas Pekerjaan Umum Jakarta, I Gede Nyoman Soewandhi, menjelaskan bahwa pihaknya juga menambah pompa baru. Pompa itu berada di Waduk Melati, Kedoya, Kapuk I dan Kapuk II. Selain itu, mereka membangun pompa di Teluk Gong.
Menurut Soewandhi, pembangunan instalasi pompa dan sarana pengendali banjir mengurangi jumlah daerah rawan genangan. Selama ini ada 78 daerah titik rawan genangan. ”Ada enam lokasi yang sebelumnya rawan banjir kini bisa dikatakan relatif aman dari bencana banjir,” katanya. Enam daerah tersebut di antaranya Pluit, Tomang Barat, Kamal tepatnya di jalan tol Soedyatmo, Bimoli, Pinangsia, dan Sunter Timur.
Sejatinya, waduk, tanggul dan pompa memang bagian dari sistem aliran sungai dan drainase yang dikembangkan pemerintah. Sistem ini harus terus dibenahi, maklum 40 persen wilayah Jakarta atau 24 ribu hektare, berada di bawah muka air laut. Wilayah ini berada di Jakarta Utara. ”Baru 9.000 hektare dari 24 ribu hektare yang bisa ditangani sistem pompa,” kata Soewandhi.
Robert Delinom menjelaskan, secara geologis Jakarta tidak bakal lepas dari banjir. ”Di selatan Jakarta ada formasi Bojongmanik yang menyerupai dam bawah tanah,” kata doktor air tanah lulusan Chiba University, Jepang. Menurut Robert yang bekerja di Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, formasi batuan masif itu membentang dari Rumpin (Bogor) sampai Pasar Minggu di Jakarta Selatan dan Serpong di Tangerang.
Alhasil, air hujan yang jatuh di Gunung Gede, Pangrango, dan Gunung Salak terhalang formasi tersebut. Air kemudian muncul ke permukaan dan menerjang Jakarta. ”Meskipun kawasan Puncak dibenahi, Jakarta harus mengatur sendiri sistem drainasenya,” kata Robert.
Warga Pluit sudah menunjukkan kerja keras. Hoki pun datang kemudian. Mereka terhindar dari banjir bandang yang merendam 60 persen Jakarta dan menewaskan 55 orang tempo hari.
Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo