Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap kali banjir melanda, maka kosakata ”sumur resapan” menjadi primadona seketika. Begitu bumi mengering, hidup berjalan seperti biasa, kata ”sumur resapan” tenggelam di dasar sumur.
Meski Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mengimbau agar membuat sumur resapan agar tak terjadi banjir. Ternyata ini suatu peraturan yang tidak dilaksanakan dengan ketat. Contohnya, Budi Wahyudi, warga Cempaka Putih, hanya bisa tertawa ketika ditanya soal sumur resapan. Soalnya, lahan seluas 80 meter persegi di Gang Rawabarat, Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, itu hampir semuanya sudah terpakai rumahnya. Hanya taman berukuran 25 sentimeter dengan panjang empat meter yang belum tertutup tembok.
Banjir besar yang melanda Jakarta dua pekan silam membuat pemerintah teringat kembali aturan yang telah dibuat pada 2005. Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 68 menyebutkan setiap 50 meter persegi bangunan wajib memiliki 2 meter kubik resapan air. Ukurannya adalah panjang satu meter dan kedalaman dua meter.
Setiap kelipatan luas 50 meter persegi volume sumur naik dua kali lipat. Kalau tidak, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak akan dikantongi. Namun, aturan tinggal aturan. Toh, beberapa warga Jakarta tetap bisa mengantongi izin tanpa harus membuat sumur, termasuk Budi. ”Waktu itu tidak dipersoalkan, kok. Malah saya baru tahu harus ada sumur segala,” ujar Budi.
Sumur resapan memang tak akan sepenuhnya menanggulangi banjir. Tapi Penasihat Ikatan Arsitektur Lansekap Indonesia, Bintang Agus Nugroho, memperkirakan sumur resapan ini bisa mengatasi 40 hingga 50 persen soal banjir. Itu kalau sebagian besar bangunan di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mempunyai sumur resapan.
Hingga Juli 2006, bangunan di Jakarta baru memiliki 18.687 unit sumur resapan. Padahal, idealnya Jakarta memiliki 2 juta sumur resapan. Jadi, masih sangat jauh dari ideal. Jumlah ideal tadi sebetulnya bisa menampung hujan yang intensitasnya di Jakarta berkisar 2 sampai 3 juta kubik per tahun. Selama ini, 73 persen air yang masuk ke Jakarta langsung mengalir ke laut. Jadinya, kalau hujan kebanjiran dan panas kekeringan.
Sumur resapan bisa dikerjakan secara swadaya. Hanya menggunakan bahan sederhana seperti batu bata, batu kali, pasir, kerikil, pipa serta penutup dari plat beton. Sumurnya bisa berbentuk silinder atau segi empat dengan diameter 0,8 hingga 1,4 meter dengan kedalaman 1,5 hingga 3 meter. Bentuk dan ukuran ini berdasarkan Standar Nasional Indonesia yang dikeluarkan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
Masyarakat juga bisa memilih sumur resapan jadi dalam bentuk gelondongan seperti buatan PT Duta Sarana Perkasa. Sumur dengan dinding berongga ukuran 1 x 1 meter harganya Rp 490 ribu tanpa penutup. Sumur resapan di Jakarta biasanya baru efektif pada kedalaman 2 hingga 3 meter. Jadi, perlu dua gelondong dinding yang ditumpuk. Sumur ini bisa ditutup dengan lempengan dari beton murni yang menahan beban berat seperti mobil.
Menurut Bintang Agus Nugroho, tersendatnya pembangunan sumur resapan disebabkan aturan yang tak disertai sanksi tegas. Masyarakat pun belum mempunyai kesadaran kolektif untuk memelihara lingkungan. Paling tidak, masyarakat memiliki kesadaran menyediakan sedikit lahan resapan. ”Itu karena pemerintah tidak mempunyai kemampuan memadai untuk mengajak masyarakat,” ujar Bintang.
Yandi MR, Reza Maulana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo