Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang baru terbit mengizinkan pembangunan lumbung pangan di kawasan hutan lindung.
Proyek lumbung pangan nasional dicanangkan Predisen Joko Widodo pada 9 Juli 2020 di bekas Pengembangan Lahan Gambut Sejutah Hektare yang dibikin Presiden Soeharto pada 1995.
Di eks Pengembangan Lahan Gambut seluas 1,462 juta hektare itu terdapat kawasan hutan lindung seluas 897 ribu hektare sebagai penyangga taman nasional dan habitat satwa endemik yang terancam punah dan habitat tumbuhan langka.
ALASAN pemerintah mengizinkan pembangunan lumbung pangan di hutan lindung, yakni sudah hilang fungsi lindungnya, tidak masuk logika Wahyu Perdana. Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional itu mengatakan, jika hutan lindung rusak, kebutuhan yang mendasar adalah upaya pemulihan, bukan membiarkannya. “Ini (pola) yang senada dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang mengakomodasi ketelanjuran (izin-izin) di kawasan hutan,” kata Wahyu, Rabu, 25 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kritik Wahyu tersebut terkait dengan penjelasan pemerintah atas terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24 MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan lumbung pangan alias food estate. Pasal 19 ayat 1 aturan yang ditandatangani Menteri Siti Nurbaya pada 26 Oktober lalu itu menyebutkan soal pembangunan lumbung pangan di hutan lindung dan hutan produksi. Ayat 2 menyebutkan hutan lindung yang dimaksudkan adalah yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Sigit Hardwinarto dalam keterangan tertulisnya menyatakan hutan yang sudah tidak berfungsi lindung itu memiliki ciri terbuka, terdegradasi, atau tak ada lagi tegakan pohon. Ia mengklaim aktivitas food estate justru memulihkan hutan lindung. “Caranya dengan pola kombinasi tanaman hutan dengan tanaman pangan (agroforestry), tanaman hutan dengan peternakan (silvopasture), dan tanaman hutan dengan perikanan (silvofishery)” tutur Sigit.
Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan kehutanan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, mengatakan pernyataan Sigit itu keliru. Menurut Hariadi, hutan lindung tidak ditetapkan dengan adanya tegakan pohon, melainkan melalui metode penskoran yang variabelnya berupa kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan. “Makin curam lereng hutan dengan jenis tanah yang peka erosi dan curah hujan tinggi, makin mungkin menjadi hutan lindung,” ucapnya, Kamis, 26 November lalu.
Kriteria dan cara penetapan status hutan lindung yang dikatakan Hariadi itu sesuai dengan Pasal 24 ayat 3b Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Hariadi juga mengutip aturan lain yang serupa, yakni Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837 Tahun 1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. “Jadi perlu dijelaskan lebih rinci, apakah ada kesalahan dalam penetapan suatu hutan lindung sehingga fungsi lindungnya tidak berjalan?” ujarnya.
Hariadi juga tidak menemukan perundang-undangan yang mengizinkan pembangunan lumbung pangan di hutan lindung. Malah, dia menambahkan, peraturan menteri itu bertentangan dengan Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. “Pemanfaatan kawasan itu tidak mengurangi fungsi pokok hutan lindung sehingga kegiatan yang diizinkan adalah budi daya jamur, penangkaran satwa, serta budi daya tanaman obat dan tanaman hias,” katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati, peraturan Menteri Siti ini memperkuat dominasi korporasi atas kawasan hutan Indonesia. Usaha pangan skala luas dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lain untuk menghasilkan produk tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perikanan ini, Nur melanjutkan, akan menambah varian perizinan di kawasan hutan yang konsekuensinya adalah laju deforestasi hutan alam. “Food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani,” tutur Nur Hidayati dalam keterangan tertulis, Senin, 16 November lalu.
Pada 9 Juli lalu, Presiden Joko Widodo mencanangkan pembangunan food estate di bekas area pengembangan lahan gambut (PLG)—proyek cetak sawah 1 juta hektare yang dibikin Presiden Soeharto pada 1995—di Kalimantan Tengah. Kawasan eks PLG seluas 1,462 juta hektare itu berada di Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Barito Selatan, dan Kota Palangka Raya. Rencananya, megaproyek lumbung pangan ini menyasar 770 ribu hektare lahan dengan pengembangan tahap pertama pada 2020-2022 di area seluas 165 ribu hektare.
Dalam dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis Cepat Program Pengembangan Lahan Pangan Nasional di Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat peta arahan pemanfaatan kawasan budi daya menurut Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2007 tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan PLG di Kalimantan Tengah. Dalam peta itu, Blok A dan Blok B dimanfaatkan untuk jenis padi sawah, padi sawah atau palawija atau hortikultura sayuran, dan tanaman tahunan atau hortikultura buah. Adapun Blok C untuk padi sawah atau palawija atau hortikultura sayuran, tanaman tahunan atau hortikultura buah, dan budi daya kehutanan. Sedangkan Blok D untuk padi sawah, padi sawah atau palawija atau hortikultura sayuran, dan tambak.
Dimas N. Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, mengatakan kawasan hutan lindung dan gambut ada di semua blok eks PLG, kecuali di Blok D, yang sejak 1980-an terdapat permukiman transmigran. Dimas menyebutkan ekosistem gambut, terutama di Blok A, B, dan E, memang harus direstorasi. Menurut data Kajian Lingkungan Hidup Strategis Cepat, kondisi ekosistem gambut yang rusak sangat berat seluas 4.711,6 hektare di Blok A, 18,3 hektare di Blok B, dan 240,5 hektare di Blok E. “Blok E benar-benar harus dilindungi karena merupakan kubah gambut dan penyokong air untuk Blok A, B, dan C,” ujar Dimas.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan sebagian kawasan eks PLG dan beberapa area bekas kebakaran pada 2015 menjadi sasaran restorasi gambut yang dilakukan lembaganya di Kalimantan Tengah. Namun, Nazir menambahkan, ia sedang membuat laporan lima tahun kerja BRG periode 2016-2020 hingga Desember nanti sehingga belum dapat memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan dan pencapaian restorasi lahan gambut di Kalimantan Tengah. “Baru bisa kami sampaikan setelah laporan selesai,” katanya.
Nazir setuju pembangunan lumbung pangan menjadi cara pemulihan lahan gambut yang telah terdegradasi. “Salah satu program BRG adalah merevitalisasi taraf hidup masyarakat dengan memanfaatkan gambut terdegradasi menjadi lahan budi daya pertanian atau perkebunan atau perikanan yang sesuai dengan kaidah ekosistem gambut,” ujar Nazir melalui pesan WhatsApp, Jumat, 27 November lalu. “Ini juga bagian dari diversifikasi pangan karena banyak jenis tanaman yang cocok di lahan gambut.”
Bagi Wahyu Perdana, dalam sejarah Indonesia, tidak ada catatan mengenai keberhasilan proyek pangan skala besar seperti food estate ini. Ia merujuk pada megaproyek PLG yang gagal memenuhi target panen sehingga dihentikan pada 1998. Kegagalan PLG, tutur Wahyu, malah mewariskan kerusakan lingkungan yang masif karena pemerintah mengabaikan ekosistem gambut. “Akibatnya, gambut yang sudah rusak itu menjadi mudah terbakar. Eks PLG selalu menyumbang kebakaran hutan setiap tahun.”
Dimas menambahkan, keberadaan lumbung pangan di lahan eks PLG akan menjepit hutan-hutan lindung yang ada di setiap blok. Luas total hutan lindung yang tersebar itu sekitar 897 ribu hektare. “Hutan lindung di Blok C, misalnya, merupakan penyangga Taman Nasional Sebangau,” ucap Dimas. Adapun hutan lindung di bagian utara Blok A, B, dan C serta ekosistem bakau di pesisir pantai merupakan habitat spesies satwa endemis yang penting, antara lain orang utan, bekantan, dan langur perak, serta menjadi habitat tumbuhan langka seperti ramin, nyatoh, jelutung, kempas, dan ketiau.
DODY HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo