Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Efek Domino Sang Penjaga Gawang

Pandemi Covid-19 terjadi dengan sangat cepat. Penyakit baru tersebut membuat semua orang tergagap, termasuk tenaga kesehatan yang menjadi penjaga gawang penanganan pasien. Hingga 10 November lalu, sebanyak 282 tenaga kesehatan meninggal akibat pagebluk. Di sisi lain, sebagian masyarakat masih mengabaikan protokol kesehatan. Kondisi ini mempengaruhi mental para petugas medis. Sebagian dari mereka menderita burnout, beberapa di antaranya sudah dalam tahap depresi. Kondisi itu membuat mereka rentan terjangkit Covid-19.


28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas medis berjaga di bilik tes swab menunggu warga yang mengininkan tes swab Covid 19 di Jakarta, 24 November 2020. Reuters/Willy Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penelitian membuktikan 83 persen tenaga kesehatan di Indonesia mengalami burnout.

  • Burnout adalah keadaan kelelahan emosional, fisik, dan mental yang disebabkan oleh stres berlebihan dan berkepanjangan.

  • Tenaga kesehatan yang mengalami burnout rentan terjangkit Covid-19.

SEJAK Covid-19 merebak, kesibukan Ni Wayan Ani Purnawati bertambah. Dokter spesialis kesehatan jiwa di Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara, itu tidak hanya menangani pasien umum, tetapi juga tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit itu. “Ada sebagian yang membutuhkan pendampingan karena Covid-19,” kata Wayan, Selasa, 24 November lalu.

Karena pandemi Covid-19, sebagian karyawan mengeluhkan tidak nyenyak tidur dan minat terhadap kegiatan yang biasa dilakukan berkurang. Mereka juga merasa cemas, tegang, khawatir, dan mudah lelah. Beberapa di antara mereka bahkan menunjukkan gejala depresi. “Ada yang sampai mau melompat dari jendela,” ujarnya.

Pendampingan ini mulai dilakukan dua bulan setelah pagebluk datang. Ketika itu, manajemen rumah sakit mencium adanya ketegangan mental di antara para karyawan. Direktur Utama RSUD Koja Ida Bagus Nyoman Banjar mengatakan banyak pegawainya menolak ketika pemerintah DKI Jakarta menunjuk rumah sakit mereka sebagai salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 dan tetap menangani pasien dengan penyakit lain.

Apalagi ketika awal pandemi itu petugas kesehatan masih kesulitan mendapatkan alat pelindung diri yang layak sehingga mereka merasa tak aman bekerja. Prosedur tentang penanganan penyakit yang disebabkan oleh virus corona baru itu pun masih berubah-ubah serta belum ada pemisahan zona rentan dan aman dari Covid-19. Sejumlah tenaga kesehatan di Indonesia ikut terinfeksi virus itu, sebagian di antaranya meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petugas tenaga kesehatan berolahraga di taman Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran di Jakarta, 12 November 2020. Antara/M. Risyal Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Manajemen rumah sakit menyadari pegawainya rentan stres karena hal tersebut dan, jika tidak ditangani, tak hanya kualitas kerja yang akan merosot, tapi juga imunitas mereka akan anjlok. Ini akan meningkatkan risiko mereka tertular Covid-19. “Sehingga dibuat kuesioner bagaimana kondisi kesehatan mental mereka,” ucap Banjar.

Hasil riset internal tim dokter spesialis kesehatan jiwa rumah sakit tersebut, yang dilakukan pada Mei lalu, menunjukkan 10,9 persen dari pegawai yang mengisi kuesioner menunjukkan gejala masalah mental. Separuh dari mereka merasakan kecemasan, hampir sepertiga mengalami somatik atau mengeluhkan rasa sakit di tubuh tapi tidak diketahui penyebabnya, dan 13 persennya mengalami depresi.

Tim dokter spesialis kesehatan jiwa kemudian menindaklanjuti jawaban tersebut. Mereka membuat beberapa kelompok diskusi kecil. Pegawai yang bisa mengatasi stresnya dan yang merasa kewalahan digabung dalam satu kelompok. Para karyawan tersebut diajak berbagi cerita untuk mengurangi ketegangan itu.

Pendampingan juga dilakukan oleh tim psikiater dari Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya. Dokter spesialis kesehatan jiwa, Nalini Muhdi, mengatakan, selain konsultasi tatap muka langsung, mereka menyediakan pelayanan online atau dalam jaringan. Nalini, yang sudah berusia di atas 50 tahun, melayani konsultasi daring tersebut. “Tapi sedikit sekali tenaga kesehatan yang memanfaatkan fasilitas ini. Padahal dari laporan teman-teman di lapangan banyak yang sudah burnout. Jika tidak ditangani bisa menyebabkan compassion fatigue,” tuturnya.

Burnout adalah keadaan kelelahan emosional, fisik, dan mental yang disebabkan oleh stres berlebihan dan berkepanjangan. Kondisi ini bisa terjadi ketika orang merasa kewalahan, terkuras secara emosional, dan tidak mampu memenuhi tuntutan yang terus-menerus. Stres yang berlanjut itu bisa membuat orang kehilangan minat dan motivasi. Burnout akan menurunkan produktivitas dan menguras energi serta membuat orang merasa tak berdaya, putus asa, sinis, dan kesal. Akibatnya, penderitanya akhirnya merasa tak punya apa-apa lagi untuk dibagikan kepada orang lain.

Penelitian yang dilakukan tim Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada Februari hingga Agustus lalu menyebutkan sebanyak 83 persen tenaga kesehatan di Indonesia mengalami burnout sedang dan berat. Risiko mengalami burnout itu dua kali lebih besar pada dokter umum yang menjadi garda terdepan selama masa pandemi. “Burnout ini dapat mengakibatkan efek jangka panjang terhadap kualitas pelayanan medis,” kata ketua tim peneliti, Dewi Soemarko. 

Tim Bantuan Residen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia bersama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pun menyurvei dokter residen. Sebanyak 7.285 atau 54,54 persen dari total dokter residen yang berjumlah 13.335 orang ikut mengisi kuesioner. Hasil menunjukkan lebih dari seperempat responden mengalami burnout akibat pagebluk.

Adapun compassion fatigue adalah kelelahan emosi yang mendekati frustrasi karena seseorang merasa gagal atau usahanya membantu mengatasi masalah orang lain sia-sia. Sederhananya, lelah menolong orang lain. Tenaga kesehatan merasa sudah berjuang menyembuhkan orang yang tertular Covid-19 tapi di saat yang sama sebagian masyarakat justru tidak menerapkan protokol kesehatan. Ketika petugas kesehatan sudah mencapai titik ini, mereka akan membahayakan diri sendiri dan pasien. Petugas dapat mengabaikan prosedur penanganan Covid-19 sehingga rentan tertular. Mereka pun bisa mengabaikan keluhan pasien. “Sudah mati rasa,” ujar Nalini.

Menurut Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi, masyarakat harus membantu memperbaikinya dengan mengubah perilaku, terutama dengan menerapkan protokol kesehatan, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Perubahan ini diperlukan hingga pandemi ini selesai. “Dalam satu sampai dua tahun ke depan sebagai adaptasi kebiasaan baru untuk pencegahan,” tuturnya.

Selain pendampingan itu, Banjar menambahkan, manajemen RSUD Koja juga mengupayakan memberikan rasa aman kepada pegawainya, di antaranya lebih menjaga kebersihan rumah sakit dengan memberikan disinfektan dan menyediakan pembersih tangan. Pihak manajemen juga mendatangkan motivator untuk meningkatkan semangat pegawai. Mereka juga  memperhatikan kesejahteraan pegawai dengan tak telat memberikan remunerasi. “Kami juga siapkan alat musik di aula. Mereka bisa bermain musik, bernyanyi untuk melepas penat,” ucapnya.



Kiat berbeda diterapkan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Direktur rumah sakit itu, Yudi Amiarno, mengatakan salah satu upaya yang dilakukan adalah menguatkan mental para petugas. Mereka mendapatkan siraman rohani secara daring sekali sebulan. Para pegawai juga diminta olah badan dengan senam bersama per lantai. “Senam pakai musik, gerakannya bebas, terserah mereka,” ujarnya.

Berbagai prosedur wajib juga dikerjakan, seperti membuat zonasi tempat yang lebih rentan penularan Covid-19. Zonasi tersebut diperlukan untuk menyesuaikan alat pelindung diri yang dipakai petugas. Pasokan APD tersebut datang dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Kementerian Kesehatan, bantuan masyarakat, dan dari kocek RSUD. “Perlindungan itu membuat kecemasan berkurang,” tutur Yudi.

Daya tahan tubuh petugas juga dijaga dengan memberikan makanan tambahan yang bernutrisi tinggi. Misalnya telur, susu, kacang hijau, juga asupan vitamin C dan B. Pola kerja juga disesuaikan. Menurut Yudi, jam kerja untuk mereka yang bekerja di zona merah dibatasi maksimal selama empat jam. Sebab, selain rentan tertular, mereka menggunakan baju hazmat yang sangat rapat sehingga membuat tubuh mudah lelah. “Untuk yang bekerja di zona hijau seperti staf administrasi, jam kerja juga dibatasi menjadi enam jam per hari untuk meminimalkan risiko tertular,” katanya.

NUR ALFIYAH 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus