Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti Inggris menemukan dampak infeksi Toxoplasma gondii terhadap neuropsikiatri dan perilaku.
Angka prevalensi infeksi Toxoplasma di Indonesia di atas 60 persen.
Penelitian Toxoplasma di Indonesia masih lebih banyak ke sisi epidemiologi.
LUCIA Tri Suwanti punya perhatian besar terhadap parasit Toxoplasma gondii. Disertasi doktoralnya pada 2005 dan pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, pada 2015 membahas topik tersebut. “Kalau dilihat dari data, (prevalensinya) sudah memprihatinkan. Sepertiga penduduk dunia positif toksoplasmosis,” kata Lucia, Kamis, 26 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Situasi Indonesia, Lucia menambahkan, sama. Dalam beberapa penelitian, angka prevalensinya di atas 60 persen. Kalau melihat peta Status Global Toksoplasmosis, Indonesia ditandai warna merah. Artikel terbaru tentang toksoplasma yang ditulis Gregory Milne, Joanne P. Webster, dan Martin Walker dalam jurnal Trends in Parasitology edisi 1 Oktober 2020 memperkuat gambaran yang merisaukan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam artikel berjudul “Toxoplasma gondii: An Underestimated Threat”, Gregory Milne, peneliti Royal Veterinary College, Inggris, mengutip bukti yang menunjukkan bahwa infeksi laten Toxoplasma gondii berkaitan dengan berbagai kondisi neuropsikiatri dan perilaku. Bukti terbaru juga menghubungkan parasit tersebut dengan penyakit seperti alzheimer, gangguan bipolar, epilepsi, dan gangguan obsesif kompulsif.
Penampakan dari Toxoplasma melalui mikroskop/dnr.sc.gov
Tiga peneliti Inggris itu memperkirakan parasit tersebut juga menyebabkan 150-300 ribu kasus skizofrenia dan 500 ribu-2,9 juta upaya bunuh diri nonfatal. Transmisi Toxoplasma gondii juga dapat melalui plasenta antara ibu dan janin, sering kali mengakibatkan keguguran. “Tapi memang banyak orang belum tahu bahwa toksoplasma bisa mempengaruhi pelaku,” ucap Lucia.
Banyak orang melihat parasit toksoplasma berasal dari dan disebarkan oleh kucing. Menurut Selfi Renita Rusjdi, pengajar di Universitas Andalas, Padang, tempat hidup utama Toxoplasma gondii memang di usus kucing. Namun terdapat banyak cara penularan. Renita juga meneliti toksoplasma. Hasilnya dimuat dalam jurnal Universitas Andalas tahun ini dengan judul “Respon Imun terhadap Infeksi Toxoplasma Gondii”.
Renita menjelaskan, ookista—sel telur yang belum matang—parasit itu keluar bersamaan dengan kotoran kucing. Feses yang mengandung ookista biasanya berserakan di tanah atau rerumputan. Penularan akan bermula saat hewan lain, terutama ternak, memakan benda yang mengandung ookista itu. Ookista pecah dan larvanya menyebar ke seluruh jaringan otot ternak. “Penularan terjadi bila manusia mengonsumsi daging hewan ternak yang terinfeksi dan tidak dimasak dengan matang,” tuturnya.
Cara penularan lain bisa melalui kucing itu sendiri, tentu saja jika si kucing memiliki toksoplasma yang akan keluar bersama kotoran. Penularan bermula saat kucing menjilat daerah sekitar anusnya, lalu mandi dengan cara menjilat-jilat badan serta bulunya. Ada kemungkinan ookista menempel di lidah kucing. Renita menambahkan, “Kalau kita pegang bulunya dan kemudian makan tidak cuci tangan, kita bisa terinfeksi.”
Penularan lain, Renita melanjutkan, terjadi dari ibu ke anak yang dikandungnya. Jika ibu terinfeksi, dampaknya akan langsung dirasakan anaknya. Namun, dia menambahkan, kasus penularan terbanyak adalah melalui makanan, yaitu dari daging yang mengandung kista yang tidak dimasak secara matang. “Orang juga kadang senang memakan steak yang setengah matang. Rasanya memang enak dan disukai karena juicy,” ujarnya.
Erni Juwita Nelwan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengungkapkan, parasit memiliki keunikan yang membedakannya dengan virus dan bakteri. Kalau virus menyerang, manusia langsung sakit. Sedangkan parasit tidak akan membunuh orang yang ia tumpangi dan tak akan terlihat jika imun orang itu baik. Tapi, dia menambahkan, “Kalau orang itu punya HIV, kencing manis, atau penyakit ikutan lain, bisa jadi berat dan mematikan.”
Menurut Lucia, Toxoplasma gondii menjadi masalah serius bagi orang yang kekebalan tubuhnya menurun. Bagi penderita HIV, misalnya, infeksi bisa fatal karena dapat menyebabkan peradangan otak dan berujung pada kematian. Renita menambahkan, yang juga rentan adalah orang yang menjalani transplantasi organ. Sebab, mereka biasanya diberi obat untuk menekan daya tahan tubuh. Sistem imunnya dilumpuhkan agar tidak melawan saat transplantasi dilakukan.
Infeksi Toxoplasma gondii juga membawa risiko besar bagi ibu hamil. Menurut Lucia, kalau terinfeksi saat kehamilan memasuki masa trimester pertama dan kedua, ibu hamil bisa mengalami keguguran. Kalau infeksi terjadi pada trimester akhir, bayi mungkin masih bisa lahir, tapi akan memiliki kecacatan, entah hidrosefalus entah kebutaan.
Arifin Budiman Nugraha dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor menerangkan, apa yang dipaparkan Gregory Milne dan timnya memperkuat studi yang sudah ada mengenai toksoplasma. Ia mengungkapkan, di Indonesia, penelitian tentang toksoplasma masih banyak pada level epidemiologi, belum pada perubahan perilaku. “Selama ini sedikit yang studi soal ini (dampak terhadap perilaku). Banyak ke epidemiologi,” katanya.
Gregory Milne, peneliti Royal Veterinary College/researchgate.net
Arifin, yang menempuh pendidikan doktoralnya di Jepang, mengaku tertarik pada sejumlah penelitian di mancanegara yang menemukan indikasi bahwa infeksi Toxoplasma gondii berkaitan dengan tingkat kecelakaan lalu lintas. “Tingkat kecelakaan di luar negeri cukup lama dikenali karena faktor minuman beralkohol pengemudinya. Menarik kalau di balik itu ternyata ada infeksi toksoplasma,” ia menambahkan.
Erni mengatakan pengaruh toksoplasma terhadap perilaku itu bisa dipahami. Sebab, infeksi toksoplasma pada manusia menyerang otak. Apa pun yang kita lakukan, dari angkat tangan, mengekspresikan sesuatu, dia menjelaskan, melalui proses berpikir dulu dan itu terjadi di wilayah otak. “Otomatis, kalau area itu terganggu, sinyal (dari otak) tidak sampai. Ya kacau,” tuturnya.
Lucia punya pandangan sama. Menurut dia, infeksi toksoplasma berpengaruh terhadap produksi serotonin dan dopamin. Kalau kadar dopamin tinggi, orang seperti sedang mabuk. Itu pula yang terjadi pada orang dengan skizofrenia. “Penderita skizofrenia itu kan tidak tahu kanan-kiri. Tidak tahu ada kendaraan di depan, dia bisa langsung ngebut, kan bisa terjadi kecelakaan,” ujarnya.
Lucia menambahkan, ada juga penelitian di luar negeri yang menguji hewan, yaitu tikus. Tikus yang terinfeksi Toxoplasma gondii ternyata tidak takut terhadap kucing, musuh bebuyutannya. Menurut Lucia, toksoplasma mengubah perilaku tikus karena ada peningkatan kadar dopamin dan serotonin. Itulah yang menyebabkan rasa takutnya hilang atau berkurang.
Dengan potensi infeksi yang besar ini, Lucia menyarankan penerapan pola hidup bersih agar terhindar dari infeksi toksoplasma. Misalnya mencuci tangan sebelum makan, memasak daging dengan matang, dan memakai pelindung diri saat berkebun karena kondisi tanah yang biasanya tercemar. Bagi yang menyukai kucing, pastikan hewan piaraan itu tidak berkeliaran dan mengais-ngais tempat sampah.
Menurut Renita, infeksi toksoplasma tidak akan menimbulkan dampak terhadap orang yang memiliki daya tahan tubuh bagus. Namun parasit itu akan berada di dalam tubuh dan berhibernasi. Ia menunggu saat tepat untuk beraksi. Itulah sebabnya, Lucia menambahkan, toksoplasmosis disebut sebagai penyakit yang terabaikan karena sifatnya yang tidak langsung mematikan. Dia juga disebut sebagai penyakit oportunis lantaran baru berulah saat kondisi menguntungkan, yaitu ketika daya tahan tubuh inangnya menurun.
ABDUL MANAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo