Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Angin Perubahan di Negeri Para Emir

Uni Emirat Arab melonggarkan berbagai aturan, termasuk soal minuman beralkohol dan hidup bersama. Demi investasi asing.

28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perdana Menteri dan Wakil Presiden Uni Emrita Arab Syekh Muhammad bin Rashid al-Maktoum (kiri) saat mengunjungi rumah sakit vaksin corona di Dubai, Uni Emirat Arab, 3 November 2020. Reuters/WAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Uni Emirat Arab melonggarkan berbagai aturan, termasuk soal minuman beralkohol.

  • Pasangan tak menikah yang hidup satu atap juga tidak lagi dipidana.

  • Upaya Emirat untuk memberikan karpet merah kepada investor asing.

UNI Emirat Arab (UEA) merombak besar-besaran berbagai aturan untuk memberikan karpet merah kepada investasi asing masuk ke negeri itu. Pada Senin, 23 November lalu, Syekh Mohammad bin Rasyid al-Maktoum, Wakil Presiden dan Perdana Menteri Emirat serta penguasa Dubai, mengumumkan amendemen undang-undang yang berkaitan dengan kepemilikan bisnis. Dalam undang-undang baru nanti, UEA akan mengizinkan pihak asing menguasai 100 persen perusahaannya di negeri itu sejak 1 Desember 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Dubai dan Abu Dhabi siap untuk dikenal sebagai dua pusat bisnis dan keuangan paling kuat di dunia oleh investor asing,” kata Nigel Green, CEO deVere Group, organisasi penasihat keuangan dan teknologi finansial independen global, seperti dikutip Dubai Chronicle. Dubai dan Abu Dhabi adalah dua kota bisnis terbesar di Emirat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aturan baru itu memungkinkan penguasa dan investor asing mendirikan perusahaan tanpa melibatkan pemegang saham lokal. Selama ini, orang asing harus cukup puas hanya memegang maksimal 45 persen saham perusahaannya karena orang Emirat wajib menguasai mayoritas saham dan duduk sebagai pemimpin perusahaan. Dengan aturan baru, perusahaan dapat menjual 70 persen sahamnya dari batas 30 persen yang berlaku saat ini.

Perubahan itu akan memukul telak orang Emirat yang selama ini menangguk keuntungan sebagai direktur perusahaan asing. Namun, menurut Al Jazeera, perubahan itu diperkirakan tak menuai banyak penolakan dari warga Emirat, yang 80 persen bekerja di sektor publik serta mendapat gaji dan subsidi yang besar. Mereka juga dekat dengan pemerintah karena punya kekerabatan dengan para syekh yang memimpin negeri itu. Adapun partai politik dan serikat buruh masih terlarang di sana.

Suasana pasar saham atau Bursa Efek Dubai, di Dubai Uni Emirat Arab, 8 November 2020. Reuters/Christopher Pike

Selain melonggarkan aturan berbisnis, Emirat melonggarkan berbagai aturan yang selama ini dianggap menghambat kehidupan orang asing di sana. Emirat berpenduduk hampir 10 juta jiwa, tapi sekitar 90 persen di antaranya ekspatriat. Hal ini membuat negeri itu sangat bergantung pada orang asing, terutama dalam mengembangkan bisnis.

Awal November lalu, Presiden Uni Emirat Arab Syekh Khalifah bin Zayid al-Nahyan mengumumkan perubahan beberapa undang-undang yang melonggarkan sejumlah ketentuan hukum pidana. Perubahan itu membuat orang asing dapat menghindari pengadilan syariah dalam sejumlah hal. Misalnya, amendemen terhadap Undang-Undang Status Pribadi dan Undang-Undang Transaksi Sipil membuat warga non-Emirat bisa memakai hukum waris dan perceraian negara asalnya daripada hukum Emirat yang berbasis hukum Islam.

Pemerintah juga mencabut hukuman pidana bagi pasangan tak menikah yang tinggal serumah. Selama ini, hal tersebut dianggap kejahatan meskipun polisi, terutama di pusat bisnis seperti Dubai, sering kali mempertimbangkannya secara berbeda bila menyangkut orang asing. Namun ancaman hukuman tetap ada dan membuat orang asing cemas.

Menurut Hassan Elhais, konsultan hukum di Al Rowaad Advocates and Legal yang berbasis di Dubai, hingga saat ini, Pasal 356 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Emirat masih berlaku dan melarang pasangan tak menikah tinggal bersama ataupun melakukan hubungan fisik. Pelanggarnya dapat dihukum hingga satu tahun penjara. Bagi orang asing, setelah menjalani hukuman itu, mereka akan dideportasi.

“Perubahan terbaru yang dilakukan melalui Dekrit Presiden membuat tindakan itu tak lagi diancam dengan pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” ujarnya kepada Gulf News, surat kabar berbahasa Inggris berbasis di Dubai. “Untuk rincian yang lebih lanjut, kita menunggu aturan itu diterbitkan dalam lembar negara.”

Para ekspatriat yang kini sedang diadili bernapas lega atas perubahan aturan itu. “Saya dihukum satu bulan penjara dan dideportasi karena didakwa berhubungan seksual di luar nikah dan kalah dalam sidang banding,” ucap seorang ekspatriat kepada Khaleej Times. “Berkat aturan baru, semua kasus saya akan dihentikan jika aturan itu berlaku sebelum putusan sidang akhir.”

Kebijakan baru itu juga menghapus hukuman pidana mengenai konsumsi, penjualan, dan kepemilikan minuman beralkohol bagi orang berusia di atas 21 tahun. Sesuai dengan syariat Islam, Emirat melarang orang mengonsumsi minuman keras. Selama ini, meskipun minuman beralkohol tersedia di restoran dan bar mewah di kota-kota pantai Emirat, orang perlu izin dari pemerintah untuk membeli, mengirim, atau menyimpannya di rumah. Aturan itu, menurut AP, juga memungkinkan orang Islam, yang tak mungkin mendapatkan izinnya, mengonsumsi minuman beralkohol secara lebih bebas.

Pemerintah juga mengambil langkah besar untuk memberikan “perlindungan terhadap hak-hak perempuan” dengan menghapus ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang meringankan “kejahatan kehormatan”. Ini sebutan bagi pembunuhan atau penyiksaan oleh seseorang terhadap saudara perempuannya yang dianggap merusak kehormatan keluarga, seperti “pergaulan bebas” atau tidak mematuhi syariat agama Islam dan budaya Arab. Adat kesukuan itu sudah lama dikritik sebagai pelanggaran hak asasi manusia, tapi selama ini hakim meringankan hukuman bagi pelakunya. Perubahan itu membuat tindakan tersebut sama dengan jenis kejahatan lain.

Menurut kantor berita UAE, WAM, perubahan itu ditujukan untuk mendongkrak kehidupan ekonomi dan sosial negeri tersebut serta “mengkonsolidasikan prinsip-prinsip toleransi Emirat”. Semua hal itu juga dilakukan “untuk mencapai stabilitas kepentingan keuangan investor asing di negara Emirat”.

Perubahan kebijakan itu terjadi tak lama setelah Emirat dan Israel meneken kesepakatan damai bersejarah yang dijembatani Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump. Kesepakatan itu diharapkan mendatangkan banjir wisatawan dan investasi Israel. Selain itu, Dubai sedang bersiap menjadi tuan rumah World Expo, yang diperkirakan menggairahkan kegiatan bisnis dan mendatangkan sekitar 25 juta pengunjung. Pameran itu seharusnya digelar pada Oktober lalu, tapi ditunda ke tahun depan karena pandemi Covid-19.

Perubahan berbagai aturan yang akan segera berlaku itu mulai disambut masyarakat Emirat. “Saya tak dapat lebih bahagia terhadap aturan baru ini yang maju dan proaktif,” kata Abdulla Al Kaabi, sineas Emirat yang karyanya banyak mengangkat topik tabu, seperti cinta homoseksual dan identitas gender, kepada AP. “Tahun 2020 telah menjadi tahun yang berat sekaligus transformatif bagi UEA.”

Sejauh ini, belum muncul penolakan dari masyarakat Emirat ataupun negara-negara Arab lain mengenai perubahan tersebut. Beberapa komentar para sarjana di media India dan Pakistan menyebutkan perubahan itu akan mengguncang dunia Islam karena selama ini muslim memandang negara-negara Arab sebagai “penjaga Islam”—sebagai contoh nyata praktik kehidupan bernegara berbasis syariat Islam.

Syekh Dhikrullahi Shafii, ulama kelahiran Nigeria dan Mufti Besar Konferensi Organisasi Islam (ICO), mempertanyakan berbagai pelonggaran yang dilakukan Emirat. Namun dia mengaku tak terkejut atas perubahan tersebut karena menilai Emirat, Bahrain, atau bahkan Arab Saudi tak dapat digunakan sebagai standar praktik Islam. “Harus dipahami bahwa tak ada negara yang dapat digunakan sebagai model untuk menilai Islam atau hukumnya. Sebaliknya, Islam adalah standar; dialah tolok ukur untuk menilai muslim dan yang disebut sebagai negara-negara Islam,” tuturnya kepada Guardian Nigeria. “Bila Arab Saudi atau UEA atau Bahrain, misalnya, menyetujui suatu sikap atau tindakan, bukan berarti hal yang sama dapat diterima dalam Islam.”

IWAN KURNIAWAN (AP, WAM, AL JAZEERA, GULF NEWS, GUARDIAN NIGERIA, KHALEEJ TIMES)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus