Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
Hutan Lindung Sahendaruman yang masuk wilayah konsesi PT Tambang Mas Sangihe menyediakan sumber kehidupan sekaligus menjadi benteng penyelamat masyarakat Sangihe.
Wilayah Sangihe dikepung potensi bencana sehingga tak layak dijadikan kawasan tambang.
Sahendaruman adalah rumah satu-satunya bagi beberapa burung langka yang mendekati kepunahan.
RASA cemas terus menimpa Samsared B. Barahama. Pegiat lingkungan yang juga Direktur Perkumpulan Sampiri ini belum lega selama Hutan Lindung Gunung Sahendaruman yang berada di Kecamatan Tamako, Manganitu, dan Tabukan Tengah, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, masih masuk area konsesi tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS). Sejak Januari 2021, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberi izin operasi kepada PT TMS yang mengantongi konsesi 42 ribu hektare atau setengah wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe yang luasnya 73.698 hektare.
Bagi Samsared dan penduduk pulau, keberadaan Hutan Lindung Sahendaruman lebih memiliki nilai bagi kehidupan dan keselamatan manusia ketimbang tambang emas. “Kami sangat bergantung pada nilai ekologis Hutan Lindung Sahendaruman,” kata Samsared. Hutan primer dan sekunder seluas 3.549 hektare itu berada di bagian selatan Pulau Sangihe yang merupakan sedikit hutan alam yang tersisa di pulau itu.
Menurut Samsared, Sahendaruman adalah salah satu penjaga dan penyeimbang iklim mikro di pulau. “Pulau Sangihe dikelilingi lautan sehingga memiliki kelembapan dan suhu udara rata-rata yang tinggi. Hutan lindung Sahendaruman berfungsi menjaga dan menyeimbangkan hal-hal itu, sehingga masyarakat Sangihe dapat merasa nyaman beraktivitas dan tinggal di sini,” katanya. Jika hutan lindung Sahendaruman digaruk, Samsared khawatir tak ada yang menyeimbangkan iklim mikro di daratan Sangihe.
Hutan yang berbentuk seperti tapal kuda ini merupakan daerah tangkapan air utama bagi Pulau Sangihe. Hutan ini menjadi hulu dari 70 sungai yang mengalir di Pulau Sangihe. “Karena itu, masyarakat Sangihe sangat menggantungkan pemenuhan air baku dari Hutan Lindung Gunung Sahendaruman,” tutur Samsared. Ketersediaan air di sungai-sungai sepanjang tahun juga sangat penting bagi masyarakat Sangihe yang menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Untuk mengolah sagu dibutuhkan air yang mengalir dalam debit yang cukup besar.
Sebagai daerah tangkapan air utama, hutan lindung memegang peran penting dalam mencegah bencana banjir dan longsor serta kekeringan. Tidak hanya potensi tiga bencana itu, Sangihe merupakan pulau dengan potensi multibencana yang tergolong sedang. Menurut kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pulau Sangihe memiliki Indeks Risiko Bencana pada 2021 dengan skor 137,34. Namun, khusus untuk risiko bencana gempa bumi, digolongkan sangat tinggi, dengan skor 20,72.
Demikian pula untuk risiko bencana tsunami, Sangihe diklasifikasikan sebagai daerah dengan risiko bencana tsunami yang tinggi. Status ini tak pernah berubah dari tahun ke tahun sejak 2012 dengan skor 12,52. Risiko bencana lain yang menghantui masyarakat Sangihe adalah letusan gunung berapi, yang skornya 15,34 dan menjadi 10 besar daerah dengan tingkat ancaman tertinggi di Indonesia. BNPB juga menggolongkan Sangihe sebagai daerah berisiko bencana tanah longsor yang tinggi dengan skor 23,02.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo