Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANJIR bandang yang melanda kawasan Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat akibat hujan berkepanjangan sejak Ahad, 2 Maret 2025 lalu menyita perhatian publik. Pasalnya, bencana hidrometeorologi yang berdampak terhadap ribuan jiwa itu terjadi di kawasan lindung. Adanya indikasi kerusakan lingkungan di kawasan tersebut tentu mengundang tanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data BMKG dari laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota dan Kabupaten Bogor serta media sosial, beberapa dampak bencana hidrometeorologi ini yakni tanah longsor setinggi 6 meter dengan lebar 4 meter di belakang bangunan rumah istirahat santri yang jatuh ke aliran sungai Ciungun di Lebak Sari, Bogor Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanah longsor juga menutup jalan warga di daerah Cipaku, Bogor Selatan. Longsor sepanjang 8 meter setinggi 9 meter menggerus fondasi jembatan di Cibalagung Pasir Jaya, Bogor Barat. Longsor juga terjadi di Lemigas Jalan Raya Puncak Bogor. Longsor di Citereup bahkan memutuskan jembatan penghubung ke Sukamakmur.
Menanggapi fenomena banjir tersebut, Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University Baba Barus mengatakan secara normatif ada yang tidak tepat dalam penataan ruang di wilayah Puncak. Menurutnya, perencanaan alokasi ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan berpotensi menimbulkan kebencanaan.
Melalui keterangan tertulis, Jumat, 6 Maret 2025, dosen Fakultas Pertanian IPB University ini juga mengatakan kemunculan banjir di kawasan Puncak sudah berulang, diduga karena banyaknya daerah resapan yang terganggu, sehingga aliran permukaan air menjadi sangat tinggi. Sebab secara alami, kata dia, Puncak bukan daerah rawan banjir lantaran daerah berlereng.
“Kejadian banjir mungkin terjadi di daerah yang berdrainase buruk, cekungan terbatas, atau terkena banjir bandang di pinggir atau belokan sungai, atau di daerah yang terjadi perubahan kemiringan tajam,” ujar Baba.
Baca juga artikel Majalah Tempo edisi 21 Mei 2007 bertajuk Pejabat di Puncak, Banjir di Jakarta
Dilansir dari dokumen Lembar Fakta Forest Watch Indonesia (FWI), kawasan Puncak di Kabupaten Bogor memegang peranan yang sangat vital bagi banyak daerah yang berada di bawahnya. Seluruh daerah Puncak di Kabupaten Bogor merupakan hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS) besar, yaitu Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi dan Citarum.
Lebih khusus lagi, bahkan Kawasan Hutan Lindung Puncak menjadi penyedia air utama untuk tiga DAS, yaitu Ciliwung, Kali Bekasi, dan Citarum. Kawasan ini berperan mengairi daerah-daerah lumbung pangan Jawa Barat di Jonggol, Kelapa Nunggal, Kabupaten Bogor, dan terutama persawahan di Pantura Kabupaten Bekasi dan Karawang.
Kawasan Puncak telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Beleid ini mengatur bahwa Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).
Beleid itu kemudian diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur yang menjadi dasar dalam penetapan Puncak sebagai kawasan lindung. Sebagaimana diatur dalam Pasal 30 (1) di kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a dilarang menyelenggarakan:
a. Pemanfaatan ruang yang mengganggu bentang alam, mengganggu kesuburan serta keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan/atau
b. Kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya sehingga mengurangi/menghilangkan fungsi dan luas kawasan seperti perambahan hutan, pembukaan lahan, penebangan pohon, dan perburuan satwa yang dilindungi.
Anehnya, Peraturan Daerah Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat Nomor 22 tahun 2010 justru mengubah peruntukan kawasan di Puncak menjadi kawasan produksi. Padahal, menurut media pegiat konservatif Mongabay, selama ini, aturan rencana tata ruang Kabupaten Bogor tidak bertentangan dengan Perpres Nomor 54 tahun 2008.
Dalam beleid Perda tersebut, sebagaimana dirincikan dalam Pasal 41, wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi serta Kabupaten Cianjur masuk sebagai kategori hutan produksi, bersama Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, dan lain-lain.
Berdasarkan laporan Forest Watch Indonesia atau FWI pada 2018, mengungkapkan sekitar 5.700 hektare hutan di kawasan Puncak dan sekitarnya lenyap sepanjang 2000-2016. Peneliti FWI Anggi Putra Prayoga, kepada Tempo, Selasa, 20 Maret 2018 mengatakan selama tiga masa kepresidenan, hutan di Puncak yang hilang 66 kali lebih luas dari Kebun Raya Bogor.
Pada awal 2000-an, menurut catatan FWI, hutan di kawasan Puncak dan sekitarnya masih 9.111 hektare. Pada 2018, tutupan hutan yang tersisa tinggal 3.640 hektare. Itu pun hanya 1.820 hektare yang termasuk kawasan taman nasional dan 79 hektare hutan cagar alam. Sisanya 1.741 hektare telah beralih fungsi menjadi hutan produksi.
“Jika perambahan dibiarkan, FWI memperkirakan hutan di kawasan Puncak bakal lenyap pada 2027. Padahal, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008, hutan di kawasan Puncak berstatus hutan lindung dengan fungsi antara lain sebagai area resapan air,” katanya.
Fenomena banjir di Kawasan Puncak membuat pemerintah daerah dan pusat turun tangan. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengatakan akan mengevaluasi tata ruang di kawasan itu bersama pemerintah pusat yang arahnya memungkinkan untuk dilakukan moratorium atau menahan adanya pembangunan di kawasan tersebut.
“Arahnya moratorium? Iya bisa,” kata Dedi di Gedung Negara Pakuan, Bandung, Rabu, 5 Maret 2025.
Mantan Bupati Purwakarta itu mengatakan ada dua fokus evaluasi yang akan dia lakukan untuk kawasan tersebut. Pertama, pada perubahan tata ruang di kawasan Puncak. Misalnya, kata Politikus Partai Gerindra itu, perubahan peruntukan perkebunan Gunung Mas seluas 1.600 hektare menjadi agrowisata
Sementara evaluasi kedua, kata dia, dilakukan pada daerah aliran sungai yang berada di kawasan Puncak. “Kan di hilirnya banyak pembangunan perumahan, permukiman, dan berbagai kawasan. Dan itu kan banyak yang membuang limbah batu, limbah tanah urukan ke sungai, sehingga kemarin (banjir) Cijayanti itu naik karena itu,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq bersama Menteri Koordinator (Menko) Pangan Zulkifli Hasan, Gubernur Jabar dan Bupati Bogor telah berkeliling ke beberapa objek wisata di Puncak dan memberi plang pengawasan bagi objek yang diketahui melanggar.
Hingga Kamis siang, 6 Maret 2025, rombongan Menteri LH telah menyegel empat objek wisata yang memiliki kerja sama operasional atau KSO dengan PTPN VIII. Yakni bangunan pabrik teh milik PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP), Hibisc Fantasy Puncak milik PT Jaswita BUMD Jabar, serta kafe dan resto manajemen PTPN 1 Regional 2 dan wahana ekowisata Eiger Adventure Land.
“Hari ini kami melakukan segel pengawasan ke empat objek bangunan yang melanggar Undang-undang Lingkungan Hidup yang paling keliatan. Ditemukan juga 29 objek bangunan lainnya, nanti menyusul akan dipasang segel pengawasan,” kata Hanif di Cisarua, Bogor, Kamis.
Forum Komunikasi Kader Konservasi (FK3I) mendukung penuh pengembalian kawasan hutan di wilayah Puncak. Salah satunya, pembongkaran dan penyegelan lokasi wisata Hibisc Fantasi Bogor perlu disertai dengan cara Pemulihan Ekosistem. FK3I menyatakan bahwa Hibisc Fantasi Bogor telah nyata merubah fungsi lahan yang semula perkebunan teh menjadi bangunan beton.
“Kawasan itu wajib dipulihkan segera dengan Skema Rekayasa Ekosistem. Hukum Pidana ancamannya karena tidak melakukan Pemulihan dan Hukum Sosial Dibubarkan itu BUMD. Seharusnya rekayasa ekosistem itu dimulai sebelum pembangunan. Ini terkadang pengusaha ga mau keluar biaya besar membangun wisata ekologi,” ungkap Ketua FK3I Pusat, Dedi Kurniawan, Sabtu, 8 Maret 2025.
FK3I juga menuntut BUMD PT Jasa dan Kepariwisataan (Jaswita) untuk melakukan rekayasa ekosistem dalam rangka pemulihan kawasan yang terbangun. Menurutnya, rekayasa ekosistem dalam kasus ini adalah bagaimana pihak yang paling bertanggung jawab harus melakukan pemulihan kawasan yang telah rusak dikembalikan seperti sediakala.
“Karena, tanpa rekayasa ekosistem, pembongkaran hanya akan mengurangi konflik kepentingan tidak akan mempengaruhi resiko bencana kedepannya,” katanya.
Hendrik Yaputra, Irsyan Hasyim, Avit Hidayat, Anwar Siswadi, Mahfuzulloh Al Murtadho, dan Sidik Permana berkontribusi dalam penulisan artikel ini.