Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarak fisik memang jauh, tapi tidak menjadi penghalang bagi penduduk Enggano untuk datang ke Jakarta dua pekan lalu. Dengan diantar oleh beberapa pengurus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mereka mendatangi kantor Jaksa Agung dan Kapolri untuk mengadukan kondisi pulau mereka yang rusak.
Kerusakan lingkungan di Pulau Enggano adalah sebuah kisah sedih. Saat ini paling tidak 2.450 hektare hutan perawan di daerah administratif kabupaten di Bengkulu Utara itu luluh-lantak. Pohon-pohon kayu besar-kecil musnah. Bukan itu saja, kerusakan hutan telah menurunkan permukaan Sungai Kahati sampai dua meter. Akibatnya, setidaknya 50 hektare sawah di pinggiran sungai itu tidak terairi. "Dulu masyarakat masih bisa mengambil lokan (sejenis kerang besar) di sungai, sekarang sudah tidak bisa lagi," kata Bungaran Kaharuba, salah seorang warga Enggano.
"Bencana" di Enggano berawal pada 1995, ketika PT Enggano Dwipa Persada (PT EDP)_Grup Batik Keris?membuka hutan di pulau itu untuk perkebunan produksi makanan ternak. Penduduk keruan saja curiga terhadap rencana itu. Soalnya, secara ekonomis, pembukaan lahan untuk perkebunan sangat tidak menguntungkan mengingat posisi Enggano yang tidak strategis. Meski usaha ini didukung gubernur setempat, menurut pengaduan yang dikirimkan enam kepala suku adat Enggano kepada Menteri Kehutanan, usaha itu lebih merupakan kedok untuk menangguk kayu dari lahan yang dibuka. Kecurigaan ini diperkuat dengan dikeluarkannya izin pemanfaatan kayu (IPK) oleh Kanwil Departemen Kehutanan Bengkulu melalu PT Inhutani Bengkulu dengan PT EDP sebagai pelaksana lapangan.
Keputusan itu menjadi kontroversial karena sebelumnya, pada 1993, Departemen Kehutanan pusat telah menolak permohonan pelepasan hutan Enggano seluas 10 ribu hektare yang diajukan PT EDP. Departemen Kehutanan menilai hutan Enggano menyimpan jenis fauna yang dilindungi. Selain itu, ekosistem pulau itu juga mudah rusak. Pemotongan hutan seluas satu hektare saja diperkirakan akan menguapkan 40 ribu liter air per hari ke udara. Jika 10 ribu hektare hutan tandas, setidaknya 400 juta liter air akan lenyap tiap harinya. Jika demikian, pulau seluas 41 ribu hektare lebih itu dalam sekejap akan berubah menjadi padang pasir.
Kanwil Kehutanan Bengkulu bukan tidak tahu penolakan dari Jakarta itu. Tapi, seperti diungkapkan Bungaran, mereka berdalih surat itu baru diterima mereka dua tahun kemudian. Akibatnya, penebangan hutan itu jadi tak terhindarkan.
Nah, di tengah hiruk-pikuk persoalan itu, belakangan PT EDP berganti baju menjadi PT Laras Eka Mulya (LEM). Perusahaan ini, untuk memelihara eksistensinya di Enggano, membuka perkebunan kelapa sawit dengan pola perkebunan inti rakyat (PIR) yang akan digunakan untuk proyek transmigrasi. Menurut Soepono Soemardjo, Direktur Utama PT LEM, dalam keterangan tertulisnya kepada TEMPO, usahanya itu telah mendapat restu dari Menteri Transmigrasi, Menteri Pertanian, dan Gubernur Bengkulu, serta rekomendasi dari Bappenas. Artinya, menurut Soepono, usaha yang dilakukan perusahaannya legal. Tapi, dari kacamata masyarakat Enggano, tetap saja yang dilakukan PT LEM bertentangan dengan keputusan Menteri Kehutanan. "Kami bukan anti-transmigrasi. Kami hanya menolak transmigran yang menebangi hutan," kata Bungaran lagi.
Bungaran, warga Enggano yang juga memimpin Yayasan Karya Enggano, bahkan menilai PT LEM telah men-fait accompli warga Enggano seolah-olah warga pulau kecil itu telah setuju dengan proyek kelapa sawit tersebut. Padahal, mereka yang dilibatkan dalam pertemuan yang melahirkan kesepakatan itu, menurut Bungaran, tidak mewakili warga yang sesungguhnya. Melalui "investigasi" yang dilakukan Yayasan Karya Enggano, ia menemukan ada permainan uang di balik dukungan semu itu.
Sampai sekarang, kasus ini masih belum jelas akhirnya. Menurut Dikson Aritonang dari Walhi Bengkulu, masalah tersebut terkatung-katung karena Gubernur Bengkulu tetap ngotot agar proyek ini bisa jalan terus. Sedangkan rakyat juga tidak tahan terhadap proyek yang menggerus hutan dan tanah adat mereka. Walhi Bengkulu pada akhir Desember ini merencakan akan mempertemukan Gubernur Bengkulu dengan warga Enggano, sekadar untuk berdialog. Sementara itu, Menteri Kehutanan Muslimin Nasution belum mau berkomentar banyak. "Prinsipnya tidak ada ampun bagi pelanggaran dan perusakan hutan," katanya kepada wartawan TEMPO, Ali Nur Yasin.
Lalu, apa komentar Pemda Bengkulu? "Ah, itu kasus lama. PT EDP kan sudah didenda Rp 600 juta karena penebangan tahun 1995 itu. Pembukaan perkebunan kelapa sawit juga masih menunggu hasil amdal. Kalau nanti hasil amdalnya mengatakan proyek itu tidak layak, ya tidak kita teruskan," kata Kepala Bapedalda Bengkulu, Mardji Setyastono, ringan.
Arif Zulkifli, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo