Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menggunakan akasia dan sengon sebagai tanaman pionir untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Daun dari pohon dimaksimalkan sebagai kompos alami.
Meminimalkan penggunaan bahan kimia.
SEJAK 1997, PT Bukit Asam melakukan reklamasi lahan seluas 393,45 hektare di Sawahlunto, Sumatera Barat. Kepala Bidang Lingkungan Hidup Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kota Sawahlunto Hean Tomas mengatakan reklamasi itu menutup lubang-lubang tambang terbuka batu bara. “Lahan kritis yang tidak produktif kami ubah menjadi kawasan ekowisata dengan nilai tambah sebagai pusat riset untuk keanekaragaman hayati,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengubah lahan kritis pasca-pertambangan terbuka batu bara menjadi lahan yang dapat ditanami kembali bukan pekerjaan sederhana. Tomas mengatakan upaya yang dilakukan pertama kali adalah pengembalian tanah lapisan teratas yang diikuti dengan penambahan humus dan pupuk. Menurut dia, upaya pemulihan itu seminimal mungkin menggunakan bahan-bahan kimia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanaman pertama yang diupayakan tumbuh di atas lahan itu adalah akasia (Acacia mangium dan A. auriculiformis) serta sengon (Albizia chinensis). Kedua tanaman ini dipilih karena memiliki daya tahan tinggi pada kondisi tanah dengan nutrisi rendah, tanah asam, dan terdegradasi. “Karena toleransinya yang tinggi terhadap lahan kritis, akasia dan sengon cocok dijadikan tanaman pionir,” tutur Tomas.
Tanaman itu diletakkan di dalam lubang tanam yang telah diisi humus dan pupuk berukuran 30 x 30 x 30 sentimeter. Akasia dan sengon yang ditanam tersebut diharapkan dapat mengikat nitrogen bebas pada kondisi tanah yang rusak. Selain itu, pertumbuhan kedua tanaman ini yang relatif cepat memberi keuntungan sendiri. “Daun-daun yang rontok bisa menjadi kompos alami yang membantu menyuburkan tanah perlahan-lahan,” ujar Tomas.
Menurut Tomas, penanaman pohon ini telah dilakukan secara lengkap oleh perusahaan. Ia mengatakan reklamasi dan penanaman telah dilakukan secara bertahap di daerah yang tidak ditambang lagi. Perawatan pun terus dilakukan seusai penanaman dengan melakukan pemupukan dan penyiraman untuk memastikan pertumbuhan akasia dan sengon yang baik.
Tomas mengatakan, dari 393,45 hektare tersebut, seluas 24,28 hektare akan dibangun oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) menjadi Taman Kehati Emil Salim. Kawasan calon taman tersebut, menurut dia, dulu adalah tempat pembuangan tanah untuk kegiatan penambangan terbuka. Debu batu bara dan limbahnya juga ditimbun di lokasi itu.
Selain menanam akasia dan sengon, kata Tomas, pihaknya akan menanam pelbagai pohon buah-buahan di dalam lubang tanam berukuran sama dengan kedalaman sekitar satu meter. Tujuannya mengurangi keasaman pada tanah yang dapat menghambat pengembalian tanah lapisan teratas (top soil). Ia mengklaim cara-cara ini berhasil karena mulai tumbuh vegetasi lain secara alami.
Tambang terbuka otomatis menggusur pelbagai vegetasi lokal yang tumbuh di atasnya. Manajer Program Ekosistem Kehutanan Yayasan Kehati, Rio Rovihandono Bunet, mengatakan sejak 2019 dilakukan riset-riset mendalam untuk menginventarisasi berbagai vegetasi lokal yang akan ditanam di taman. Tim menelusuri daerah Kolok, Rantih, Kubang, Taratah, Bancah, Batu Ruciang, dan wilayah Bukit Kandis untuk mendata dan menemukan spesies-spesies lokal.
Beberapa spesies lokal yang tumbuh alami sebagai tumbuhan pionir di wilayah tersebut adalah kelayu hitam (Arytera littoralis), paku hijau (Blechnum orientale), dan kanderi (Bridelia monoica). “Spesies pionir adalah spesies kuat yang pertama kali tumbuh di lingkungan tandus dan dapat tumbuh dalam segala kondisi,” ucap Rio. Spesies ini juga bisa tumbuh di ekosistem mapan dengan keanekaragaman hayati yang telah terganggu.
Tim ahli juga menemukan spesies pohon hutan seperti kayu musang (Alangium ferrugineum), nyamplung (Calophyllum inophyllum), dan asam kandis (Garcinia xanthochymus) dalam reklamasi lubang tambang batu bara. Rio mengatakan spesies yang tumbuh spontan tanpa ditanam biasanya merupakan spesies asli di wilayah tersebut. “Spesies-spesies yang ditemukan itu akan diperbanyak melalui kebun bibit di Taman Kehati,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo