Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kita Tahu Akan Ada Pandemi Berikutnya

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama menilai pandemi Covid-19 belum berakhir. Bahkan ada kemungkinan datangnya pandemi baru.

 

18 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tjandra Yoga Aditama menilai pandemi Covid-19 belum selesai meski angka kasus di banyak negara turun.

  • Mengapa dia menyatakan akan datang pandemi baru?

  • Mengapa pula dia menilai pentingnya hubungan manusia, hewan, dan lingkungan dalam kesehatan?

TJANDRA Yoga Aditama menjadi co-chair Health Working Group, side event G20 di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu, 8 Juni lalu. Pertemuan itu membahas hubungan antara penyakit manusia, hewan, dan lingkungan. Pada hari sebelumnya ia diminta menjelaskan kondisi pasokan vaksin secara global. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu memang menjadi anggota COVAX Independent Allocation of Vaccine Group, yang mengatur distribusi vaksin Covid-19 secara global.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Tjandra, akan terjadi pandemi lagi berikutnya. “Yang belum diketahui adalah apa penyebabnya,” kata mantan Direktur Penyakit Menular Badan Kesehatan Dunia (WHO) Regional Asia Tenggara ini kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, Rabu, 15 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam wawancara daring selama sekitar satu jam, Tjandra menjelaskan perlunya kewaspadaan terhadap kenaikan jumlah kasus Covid-19 mingguan belakangan ini, termasuk adanya penambahan kasus yang bisa sampai 500 dalam sehari dan varian baru B4 dan B5. Sebelum jumlah kasusnya lebih banyak, ia menyarankan agar pasien diteliti secara epidemiologis. Ia juga menjelaskan kondisi saat ini yang masih dalam masa pandemi dan belum menjadi endemi. 

Bagaimana gambaran global pandemi Covid-19?

Sesudah keluarnya Regulasi Kesehatan Internasional (IHR) pada 2005, baru ada dua pandemi, yakni H1N1 dan Covid-19. Keduanya berbeda banget, walaupun jumlah kasusnya mungkin sama banyaknya. Jumlah kasus H1N1 banyak, tapi yang meninggal lebih sedikit. Adapun Covid-19, jumlah kasusnya tadinya tidak turun-turun. Baru belakangan ini (jumlah kasus di) semua negara turun. Ada negara yang (kasusnya) naik tapi secara umum turun. Tapi situasi benar-benar belum bisa dipegang. Dalam pernyataan terakhir saat pembukaan Majelis Kesehatan Dunia (WHA) pada 22 Mei lalu, WHO mengatakan bahwa—saya sebenarnya tidak begitu senang mengatakan ini—pandemi belum selesai. Kenapa? Gara-gara saat itu masih ada 70 dari 200-an negara yang angka kasusnya naik. Kedua, baru 57 negara yang sampai Mei lalu memiliki cakupan vaksinasi Covid-19 lebih dari 70 persen. Ketiga, kita sampai sekarang belum menguasai sepenuhnya perangai virus Covid-19 karena bisa berubah-ubah. Karena itu, kita belum bisa mengatakan pandemi ini selesai dari kacamata dunia.

Dalam estimasi WHO, kapan dunia keluar dari pandemi?

Kalau pertanyaannya apakah WHO sudah memprediksi kapan pandemi berhenti, jawabannya belum. Enggak bisa diprediksi. Yang paling bisa kita prediksi maksimal bahwa situasi kedaruratan ini terkendali. Sebenarnya, skenario terburuk tidak tiba-tiba nongol. Varian-varian baru ini akan selalu muncul kalau penularan masih tinggi. Kalau penularan rendah, teorinya, pasti tidak akan muncul (varian baru). Tapi, karena penularan masih tinggi, dia (virus) mereplikasi. Sebagian replikasi itu berubah. Pernyataan tentang tiga skenario itu bukan semata-mata datang dari langit. Kalau kita bisa kendalikan dan (jumlah kasus) rendah terus, kemungkinan varian baru muncul lebih kecil.

Jumlah kasus di Indonesia belakangan ini cenderung naik.

Ada beberapa kenyataan bahwa jumlah orang yang terinfeksi naik. Itu jelas. Tadinya ada 200  data, sekarang 600-an. Tapi saya juga menyetujui pendapat yang mengatakan ini masih jauh dari standar WHO dengan positivity rate 5 persen, dan kita baru 1 persen. Rumah sakit masih kosong, itu betul. Tapi yang kami lihat dari kacamata kesehatan masyarakat itu bukan hanya jumlah total, melainkan tren. Ada yang berubah dari tren ini.

Tren apa yang harus diperhatikan?

Tadinya 200-an kasus, lalu naik 100, tapi terus naik. Berarti sesuatu terjadi di masyarakat sehingga ia (jumlah kasus) bisa naik terus. Tidak bisa kita katakan, walaupun kita masih di bawah standar WHO, bahwa situasi aman-aman saja. Saya juga tidak mau mengatakan kita harus panik. Itu berlebihan. Proporsional saja. Tren kenaikan itu mesti diwaspadai dan kalau bisa dicegah supaya angka kasus tidak naik lagi.

Mengapa ada kenaikan itu? Faktor varian baru?

Daripada berbicara kemungkinan, menurut saya, dicari saja penyebabnya. Mencarinya masih mungkin dilakukan karena jumlah kasusnya 500-an. Kalau sudah puluhan ribu, sulit. Dicari beneran dari mana dia sakit, apa faktornya. Jadi data itu secara terang menjelaskan kenaikan ini bukan gara-gara Lebaran atau bagaimana. Tapi, kalau sehari ada 500 kasus pada Juni ini, dalam dua minggu sudah 7.500 kasus baru. Terus, ada 20 yang terinfeksi varian BA4 dan BA5. Dua puluh dibanding 7.500 kan gede banget bedanya. Sisanya bagaimana? Kita belum tahu. Sebagian besar perlu diperiksa dengan pengurutan genome keseluruhan (WGS) untuk melihat perubahan pola.

Apakah varian baru ini sudah pasti tidak lebih mematikan dari Omicron?

Secara gampang saja, jumlah kasus cukup banyak. Jumlah kasus sejauh ini belum cukup banyak banget di dunia untuk BA4, BA5, BA1, dan BA2. Jadi yang bisa dikatakan saat ini adalah, berdasarkan data yang ada, varian baru ini tidak lebih mematikan. Ia kan cucu Omicron. Omicron sendiri tidak seberbahaya varian Delta. Jadi kita bisa prediksi bahwa memang varian ini tidak akan terlalu berbahaya.

Bagaimana Anda melihat kebijakan pandemi saat ini?

Pertama, kebijakan kesehatan tidak hidup di ruang hampa. Ia harus memperhatikan aspek lain. Kedua, ihwal tidak ada karantina. Sebenarnya, untuk penyakit antarnegara, yang mesti dikendalikan adalah sumbernya, bukan di negara kedatangan. Tidak mungkin kita menutup pintu kedatangan dari semua negara atau membatasi kedatangan. Ketiga, jumlah tes memang harus lebih memadai dengan adanya varian baru ini. Kalau ada keluhan atau riwayat berkontak dengan orang yang positif Covid-19, saya anjurkan orang melakukan tes.

Dengan angka kasus kematian yang rendah, apakah keadaan sudah aman?

Jumlah kasus di Indonesia dan dunia turun, itu jelas. Jelas lebih baik dari dua minggu lalu, itu pasti. Tapi apakah ini menggambarkan kondisi sebenarnya, kita belum tahu. Kalau berhubungan dengan jumlah orang yang meninggal sudah berkurang dan rumah sakit tidak penuh lagi, itu kan karena, antara lain, varian sekarang ini tidak seberat sebelumnya. Kalau varian ini tak seberat varian sebelumnya, untuk apa diributkan lagi? Masalahnya, kalau jumlah penularan tetap tinggi, replikasi menjadi tinggi, maka ada kemungkinan varian baru bisa muncul. Jadi memang harus ditekan dulu (penularannya).

Apa alat untuk menekan penularan ini?

Tiga hal itu harus tetap jalan: menerapkan protokol kesehatan, 3T (testing, tracing, treatment), dan vaksinasi. Kalaupun protokol kesehatan dilonggarkan, bagi orang berusia 67 tahun seperti saya, sebaiknya tahu diri. Meski di luar boleh tak pakai masker, pakai saja masker karena lebih aman. Kan, tidak ada larangan memakai masker.

Lantas, bagaimana status pandemi kini?

Kalau ada satu negara bisa mengendalikan kasusnya, bukan berarti mereka bebas dari pandemi. Pandemi adalah urusan kumpulan negara, bukan hanya satu negara. Pandemi hanya bisa dinilai oleh badan yang mengurusi semuanya. Kalau ada 200 negara dan ada 10-20 negara yang Covid-nya sudah tertangani, masih ada 180 negara yang mungkin Covid-nya belum selesai. Jadi pandeminya belum selesai kalau begitu. Itu pengertian dasarnya. Apakah pandemi sudah selesai atau belum? Belum. Jawaban WHO jelas bilang begitu. Kalau pertanyaannya apakah Indonesia sudah endemi atau belum, itu jadi pertanyaan juga. Sudah banyak kepustakaannya, karena memang tidak ada yang pasti mengatakan kalau ini tercapai, akan masuk endemi. Itu harus merupakan gabungan dari berbagai data.

Tjandra Yoga Aditama di rumahnya di Jakarta. TEMPO/STR/Nurdiansah

Gabungan data seperti apa?

Positivity rate rendah, angka korban yang meninggal kecil, cakupan vaksinasi tinggi, dan sebagainya. Bukan hanya gabungan beberapa data. Gabungan data ini angkanya harus terkendali dan stabil. Kepustakaan tidak berani berbicara stabilnya berapa bulan. Makanya kalau Presiden Jokowi bilang stabilnya 6 bulan, itu masuk akal. Kenapa? Pengalaman kita pada November, (jumlah kasus) kita sudah turun selama tiga bulan, terus naik lagi gara-gara Omicron. Jadi, kalau cuma tiga bulan, pasti enggak cukup. Kita sekarang kan angka kasusnya turun gara-gara Omicron selama dua bulan. Mudah-mudahan tidak naik tinggi lagi. Di beberapa kota mendekati 5 persen lagi. Jadi memang harus dijaga stabil selama beberapa bulan. Yang berulang kali dikutip media adalah ihwal angka kasus yang kurang dari 5 persen. Mesti diingat bahwa angka kasus di bawah 5 persen bukan definisi endemi. Itu indikasi yang mengatakan bahwa situasi terkendali.

Jadi kita perlu melihat situasi selama enam bulan?

Saya sepakat sepenuhnya bahwa ini optimistis, betul. Transisi, betul. Apakah kita sudah masuk endemi? Belum. Mesti digarisbawahi bahwa Presiden sudah mengatakan enam bulan. Saya kira itu patokan yang masuk akal.

Bila enam bulan stabil, kita bisa mengklaim sudah masuk endemi?

Kalau klaim sendiri, suka-suka kita tentang endemi. Kalau menunggu WHO, kapan jadinya? Nyatakan saja bahwa Indonesia sudah terkendali. Klaim itu kan ada dampaknya. Dampaknya, misalnya, apakah tidak usah pakai masker, apakah situasi kedaruratan nasional mau berhenti atau tidak, apakah orang sakit dan positif itu biayanya akan ditanggung negara atau tidak, dan lain-lain.

Beberapa waktu lalu juga ramai ihwal cacar monyet. Apa kita perlu waspada?

Kalau mau mundur sedikit, kita sempat ribut soal hepatitis, kemudian cacar monyet. Kenapa ramai dibicarakan? Ini gara-gara ada pandemi Covid-19. Sebenarnya, kejadian seperti penyakit baru yang muncul tiba-tiba di berbagai negara selalu ada dari waktu ke waktu. Tapi enggak begitu kita perhatikan. Ada kenaikan angka kasus sedikit, lalu tertanggulangi, terus hilang. Hepatitis itu, yang tidak diketahui penyebabnya, disebut oleh WHO dalam Disease Outbreak News (DON) pada April. Salahnya kita, DON diterjemahkan sebagai “kejadian luar biasa”. Seakan-akan WHO sudah menyatakan hepatitis sebagai KLB. Padahal, pada April itu, yang disebut bukan hanya hepatitis, tapi juga malaria, MERS di Arab Saudi, dan ebola. Laporan itu keluar setiap bulan. Cuma, karena semua (perhatian) tertuju ke kesehatan, seakan-akan kalau ada isu kesehatan, ia jadi besar, bisa jadi pandemi. Kita perlu waspada? Perlu. Justru DON dikeluarkan supaya dunia waspada karena ada sesuatu yang tak biasa. Cacar monyet berbeda dengan Covid-19. Cacar monyet sudah ada di beberapa negara tertentu dan jumlah kasusnya banyak. Tapi kenapa kemarin jadi perhatian WHO? Karena beberapa negara, yang sebelumnya tidak pernah melaporkan (ada kasus), kok tiba-tiba melaporkan. Tugas WHO menyampaikan ini. Akhirnya, negara-negara menjadi waspada. Dicari ada atau tidak kasusnya. Diobati supaya tidak menular.

Anda memimpin side event di G20 tentang hubungan penyakit manusia, hewan, dan lingkungan. Apa yang ingin dihasilkan?

Kami akhirnya sadar bahwa banyak sekali penyakit manusia yang berhubungan dengan hewan. Kalau mau contoh ekstrem adalah flu burung. Ada yang juga menimbulkan kematian, seperti rabies. Lalu, hubungan manusia dan lingkungan. Semua tahu pencemaran lingkungan, karena gas bocor misalnya. Ada kasus resistansi antibiotik, yang tak mempan lagi gara-gara orang makan obat tidak teratur. Itu perilaku. Tapi ternyata antibiotik juga diberikan ke binatang peliharaan supaya tidak sakit. Kalau ayam makan antibiotik kan (dalam bentuk) karungan. Kita tidak tahu entah berapa banyak dia makan. Kalau ayam itu kita makan, kita makan antibiotik juga. Kalau antibiotik dibuang di sungai dan airnya diminum, kita minum antibiotik juga. Jadi tak bisa dilepaskan sama sekali hubungan manusia, hewan, dan lingkungan. Sebagian besar penyakit baru hampir selalu berhubungan dengan hewan. Kita tahu akan ada pandemi berikutnya. Yang kita tidak tahu apa penyebabnya. Ada tiga yang disebut. Pertama, mungkin pandeminya influenza. Kedua, yang berhubungan dengan hewan (zoonosis). Ketiga, “disease X (penyakit yang disebabkan patogen yang belum diketahui). Jadi manusia, hewan, dan lingkungan harus berinteraksi. Kalau enggak, masalah kesehatan masyarakat ini tidak akan selesai.

Ada rekomendasi dari pertemuan itu?

Hasilnya berupa policy brief. Kalau sudah jadi, ini akan diberikan ke menteri kesehatan atau presiden anggota G20. Rekomendasinya, antara lain, tata kelola pemerintahan (governance), khususnya bagaimana melibatkan multisektor untuk bekerja bersama; implementasi joint plan of action (JPA) tingkat dunia menjadi national plan of action dan implementasinya di lapangan; serta monitoring dan evaluasi, antara lain dengan self assessment questionnaire (SAQ), seperti yang diusulkan Indonesia (SAQ adalah daftar pertanyaan untuk menilai capaian suatu negara).


TJANDRA YOGA ADITAMA

Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 3 September 1955

Pendidikan
• Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1980
• Diploma Tuberculosis Control & Epidemiology, Institut Penelitian Tuberkulosis, Tokyo, 1987
• Spesialis Paru Universitas Indonesia, 1988
• Spesialis Paru Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 1993
• Diploma Tropical Medicine & Hygiene, London School of Hygiene & Tropical Medicine, London, 1994
• Program Master Administrasi Rumah Sakit Universitas Indonesia, 1998

Karier
• Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, 2009-2014
• Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, 2014-2015
• Regional Coordinator World Health Emergency Badan Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara, 2015-2016
• Direktur Penyakit Menular Badan Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara, 2018-2020
• Adjunct Professor di Centre for Environment and Population Health Griffith University, Australia
• Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008-sekarang
• Direktur Pascasarjana Universitas YARSI
• Anggota tim ahli pada Dewan Pertimbangan Presiden
• Anggota COVAX Independent Allocation of Vaccine Group (IAVG)

Penghargaan
• Bakti Karya Husada Triwindu dari Menteri Kesehatan, 2011
• Satyalancana Karya Satya XXX dari Presiden RI, 2011
• Ksatria Bakti Husada Aditya dari Menteri Kesehatan, 2011

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus