GUBERNUR Riau Arifin Achmad baru-baru ini menyatakan ia ccmas
akan kelestarian udang di propinsinya. Ekspor udang terus
menurun. Sebabnya? Menurut dugaan Arifin Achmad antara lahl
disebabkan oleh meningkatnya penebangan hutan bakau.
Ini diutarakannya dalam diskusi perikanan rakyat di Tanjung
Pinang belusn lama ini. Kabarnya hasil penelitian staf ahli
Fakultas Perikanan Universitas Riau (Unri) mendukung itu.
Minggu lalu, sinyalemen itu mendapat gema di antara sekitar 70
ahli lingkungan yang membahas Ekosistem Hutan Bakau di Jakarta.
Bertempat di hotel Kebayoran Inn, seminar itu disponsori oleh
Lembaga Oseanologi Nasional (LON) dan Panitia Program Man and
the Biosplere Indonesia. Salah satu kesimpulan para ahli yang
meneliti akibat ekologis eksploitasi hutan bakau di berhagai
propinsi sama dengan kesimpulan Unri: penebangan hutan bakau
mengebiri pertumbuhan populasi udang.
"Hanya tiga jenis udang yang menurut para ahli Belanda tak
tergantung kepadatan hutan bakau. Tapi setelah diteliti
ahli-ahli kita, ternyata mangrove dependent juga," ujar Dr
Aprilani Soegiarto, Direktur LON yang juga mengetuai Panitia
Pengarah Seminar.
Perikanan Pantai
Tapi berapa jauh ketergantungan itu, masih sedang diteliti lebih
lanjut Namun bagi Soegiarto sudah jelas, kalau hutan bakau terus
ditebang sampai habis, bukan cuma udang, tapi seluruh hasil
perikanan akan merosot secara drastis. "Sebab perikanan kita
umumnya masih perikanan pantai. Baik nelayan kecil, maupun pukat
harimau. Malah sampai jauh di lepas pantai pun kesuburan ikan di
laut sangat tergantung pada zat organis yang dihasilkan hutan
bakau," begini menurut Aprilani.
Berbeda dengan hutan pedalaman, hutan bakau (mangrove yang
tumhuh subur di pesisir berair payau dulunya kurang mendapat
perhatian dari para ahli maupun para pengambil keputusan.
Padahal, begitu menurut edaran pers Panitia Pelaksana Seminar,
hutan bakau itu "memenuhi beberapa fungsi penting."
Pertama, sebagai pelindung pantai dan wilayah pesisir terhadap
gempuran ombak, arus dan angin. Kedua: sebagai penghasil zat
organis yang produktif sehingga merupakan mata rantai utama
dalam jaringan makanan (food web) ekosistem pantai. Dan
ketiga: sebagai tempat berbagai jenis hewan bertelur, mencari
makanan, dan membesarkan anak-anaknya. Hutan bakau itu, bukan
cuma tempat udang bertelur, tapi juga habitat berbagai jenis
kerang (mollusca) dan kepiting (crustacea). Kerang dan kepit ing
itu pada gilirannya menjadi mangsa berbagai jenis kera macaque.
Peranan hutan bakau yang begitu kompleks itu mungkin tak
disadari oleh penduduk yang menebangnya untuk bahan bakar atau
bahan bangunan. Sementara itu hutan bakau makin banyak yang
dibabat untuk memberi tempat bagi daerah pemukiman, daerah
industri, sawah, tambak, pusat rekreasi seperti Taman Impian
Ancol, dan entah apa lagi. "Sampai satu-satunya daerah hutan
bakau ekstensif yang masih terdapat di Pulau Jawa, yakni di
Cilacap, kini juga sudah terancanm," tutur Dr. Soegiarto.
Itu didasarkannya pada penelitian Sunarlo Hardjosuwarno dari
Fakultas Biologi Gajah Mada di ekosistem bakau Cilacap yang
luasnya 24 ribu hektar. Hutan bakau itu pun -- seperti umumnya
hutan bakau sepanjang pesisir Pulau Jawa--tinggal huan sekunder
saja, yang tumbuh dari proses regenerasi alamiah.
Dengan dibangunnya Cilacap jadi pusat penyulingan minyak Pulau
Jawa, disusul oleh industri semen dan industri berat lainnya,
hutan bakau Cilacap di sekitar Teluk Penyu dan Segara Anakan
terancam. Ancaman industri berat serta peningkatan pelabuhan
Cilacap jadi pelabuhan samudera, masih dibayangi lagi dengan
rencana reklamasi Segara Anakan menjadi daerah persawahan
seperti yang pernah diungkapkan ir Sutami, Menteri PUTL.
Semuanya itu berarti, 4000 nelayan Cilacap jangan-jangan bisa
kehilangan tangkapan 2038 ton udang setahun. Kelestarian hutan
bakau di sana diduga dapat mempengaruhi kelestarian periuk nasi
20 ribu keluarga nelayan.
Sementara itu, hutan payau ini juga jadi tempat persinggahan
atau penimbunan berbagai polutan industri, minyak, sampah kota,
pestisida, dan produk kebudayaan manusia lainnya. Bukan cuma di
Cilacap, tapi juga di Teluk Jakarta, di delta Upang, di Teluk
Ambon, dan entah di mana lagi sepanjang jalur hutan bakau
Indonesia yang luasnya ditaksir antara 1 sampai « juta hektar
seluruhnya. Tak luas memang, dibandingkan dengan hutan
pedalaman. Tapi efeknya bisa cukup mengejutkan di kemudian hari.
Aprilani dan kawan-kawannya pernah juga mempertanyakan kembali
rencana PUTL menyulap hutan payau di pantai timur Sumatera dan
pantai selatan Kalimantan jadi sawah pasang surut. Keputusan
Kabinet maunya membuka 1 juta hektar sawah pasang surut,
meskipun nyatanya 250 ribu hektar saja selama Repelita 11 ini
susah tercapai. Para oseanolog kurang setuju dengan rencana itu.
Kata sang direktur LON: 'Kami usulkan, lebih baik mulai dengan
kecil lebih dulu. Biar mudah diikuti akibat-akibatnya."
Menurut penelitian selama ini, kesuburan sawah pasang surut
cepat sekali merosot. Lapisan humusnya sangat tipis.
Sementara keasaman tanah pesisir bekas hutan payau itu pun
tinggi sekali. Akibatnya, tanaman tertentu tak tahan hidup di
sana. Terutama padi yang asalnya tanaman rawa air tawar. Dan
jangan lupa: biaya konversi hutan payau menjadi sawah pasang
surut sangat tinggi karena perlu digali kanal-kanal yang sejajar
dan melintang arus laut.
Remaja Kambali
Kelestarian hutan bakau tak terganggu menurut Dr Aprilani
Soegiarto, selama hanya rakyat setempat yang memanennya untuk
dijadikan kayu bakar. "Yang jahat adalah eksploitasi komersiil
itu, tanpa reboisasi," ujarnya.
Makanya dia agak menyesalkan, dalam seminar yang hanya 21 hari
itu aspek teknologi eksploitasi bakau kurang disoroti. Padahal
jenis kayu yang tadinya tak laku kini sudah naik pangkat dengan
pesat. Arang kayu bakau eks Sumatera Timur disedot pedagang
Singapura. Di Kalimantan Timur, satu pabrik raksasa
mencincang-cincang kayu bakau yang selanjutnya dipres jadi
chipboard, sejenis bahan bangunan baru. Pabrik kertas Gowa di
selatan kota Makassar pun, setelah stok hutan bambu sebagai
bahan baku tak memadai, kini mulai memanen kayu bakau. Bahkan
ekspor bakau gelondongan (logs)--walaupun harganya cuma $AS
6/ton--mulai digemari oleh para pengusaha hutan.
Peremajaan kembali hutan-bakau sebenarnya jauh lebih mudah
daripada peremajaan hutan meranti, misalnya. Cukup dengan
menanam kembali bijinya di tanah masam itu. Tapi sejauh ini,
baru Pemda Bali yang sudah mulai melakukannya di Bali Selatan,
sekitar Benoa. "Pemda-Pemda lain dengan gampangnya memberikan
izin konsesi hutan bakau, tanpa mewajibkan peremajaannya,"
komentar Aprilani.
Maklumlah, karena dulu dipandang tak ekonomis, untuk mendapat
konsesi hutan bakau itu pengusaha tak perlu susah-susah ke Bogor
dan Jakarta, mencari HPH dari Dirjen Kehutanan. Cukup minta
persetujuan Pemerintah propinsi saja. Sehingga seorang pengusaha
di Jakarta misalnya, berhasil menggaet izin menebang bakau
sepanjang seluruh pesisir Lampung. Tapi lantaran untuk
mendirikan satu pabrik chipboard sebesar yang di Kal-Tim itu
stok bahan baku dianggapnya belum cukup, pengusaha itu masih
berusaha mendapat tambahan arcal hutan bakau dari Gubernur
Sum-Sel dan Bengkulu.
Itu sebabnya, "seminar ini dapat dianggap sebagai warning bagi
pemerintah," kata Aprilani Soegiarto, menutup wawancaranya
dengan TEMPO. Dan tampaknya perlu kesadaran ekstra, mengingat
hutan bakau di dunia paling lebat konsentrasinya di Asia
Tenggara. Khususnya di Kepulauan Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini