Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jual, jual, jual ...

Ancaman terhadap kelestarian satwa kep. aru karena pemburuan yang semestinya dilindungi karena terancam punah. fauna asli kep. aru ini terutama terancam oleh perdagangan, bukan untuk konsumsi lokal. (ilt)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NUN jauh di pelosok tenggara Maluku, di kepulauan Aru tempat KRI Macan Tutul mencoba menyerbu Irian, perburuan satwa liar sedang berkecamuk dengan bebasnya. Termasuk perburuan satwa yang semustinya dilindungi karena sudah terancam punah. Burung cenderawasih misalnya, dapat dibeli di lobo seharga Rp 15 sampal 20 ribu seekor. Burung kakaktua hitam sampai di Ambon harganya KF 10 sampai 30 ribu seekor. Kalau senang gigi duyung, di Dobo harganya 'cuma' Rp 15 ribu sebiji. Sementara kanguru dan wallaby (kanguru kerdil) harganya cuma Rp 5 sampai 6 ribu seekor. Tiap bulan lebih dari 50 ekor mammalia berkantong itu diekspor ke Ambon. Padahal cenderawasih, duyung maupun kangaru ada tercantum di daftar 77 jenis satwa yang dilindungi berdasarkan UU dan SK Menteri Pertanian. Ancaman terhadap kelestarian satwa Aru itu diungkapkan oleh Alain Com post, seorang fotograf free-lance. Ia mengunjungi kepulauan Aru Mei s/d Juni 1977. Nampun laporannya baru saja di muat dalam buletin World Wildlife Fund Newsletter, Januari lalu. Di pulau-pulau Wokam, Maihoor, Tranyan dan Workai, burung-burung sorga itu dipanah atau ditembak dengan senapan angin oleh penduduk pribumi. Di tempat itu juga, ada pedagang Cina yang membeli burung mati itu seharga Rp 5000 sampai 8000 seekor. Dari Dobo bangkai binatang lindungan berbulu indah itu dikirim ke Ambon, dan selanjutnya diterbangkan ke Ujung Pandang, atau Jakarta. Di ibukota Rl ini, tulis Alain Compost, harganya bisa mencapai Rp 60 ribu seekor. Tapi pedagang yang mau lebih untung terus mengekspornya ke Jepang di mana harganya bisa mencapai Rp 100 ribu seekor, setelah diopset (di-taxidermy-kan). Duyung yang n asih sepupu paus itu pun tak diburu untuk dimakan penduduk sendiri. Dengan harpun atau jala di malam bulan purnama, orang semalaman bisa membunuh 4 sampai 5 ekor duyung. Dagingnya dibuang begitu saja, sebab giginya itulah yang dapat dilipat alias jadi duit. Konon khasiatnya adalah untuk obat kuat dan sakit encok bagi orang Cina. Kulit buaya, dulu juga merupakan obyek bisnis yang penting di Aru. Namun kini buaya sulit didapat-pertanda bahwa eksploitasi yang berlebih-lebihan di masa lalu telah nyaris memusnahkan reptil ini. Ekspor buaya dari Indonesia mungkin termasuk yang dari Maluku Tenggarra itu--memang tak sedikit. Tahun 1975 FA0 mencatat ekspor berbagai jenis binatang melata itu mencakup 1500 ekor buaya, lebih dari 31 ribu ekor biawak, 6071 ekor penyu laut, lebih dari 34 ribu ekor penyu air tawar, 8400 ekor ular piton (permintaannya masih terus meningkat dari Hongkong). Belum lagi 250 ekor kanguru dari Aru dan Irian Jaya. Berbagai jenis kanguru dan wallaby itu--termasuk kanguru pohon (Dercopsis muelleri) yang teoritis dilindungi--diekspor dengan nama latin yang sudah ketinggalan zaman. Jadi tak tercantum di daftar satwa lindungan. Walhasil, tulis Compost, "fauna asli Kepulauan Aru ini terutama terancam oleh perdagangan, bukan oleh konsumsi lokal." Untuk kebutuhan konsumsi daging, penduduk setempat berburu rusa dan babi dengan panah dan busur. Sehingga mengisi perut tak perlu mengganggu satwa lindungan. Namun sementara kebutuhan perut orang ada batasnya, kebutuhan akan duit menanjak terus. Maka menanjak pulalah ekspor binatang-binatang liar yang nyaris punah dari Aru itu. Gawang Terakhir Bagi kepulauan seperti Aru, bahaya kepunahan itu lebih besar. Sebab beberapa jenis binatang hanya terbatas di satu pulau kecil. Jadi kalau terus menerus diburu, akan tamatlah riwayat binatang itu sampai ke anak cucunya. Makanya, Alain Compost mengusulkan agar pengawasan terhadap perdagangan binatng dan produk binatang di Aru lebih diperketat agar tak terulang lagi kisah musnahnya buaya di sana. Masalahnya sekarang, Seksi-Seksi PPA (Perlindungan & Pengawetan Alam) di daerah sering mengandalkan ketajaman mata dan firasat petugas PPA di Jakarta. "Seksi PPA Jakarta, dianggap sebagai penjaga gawang terakhir," ujar seorang pencinta satwa di sini. Namun nyatanya, di bawab hidung PPA Jakarta bisnis gelap satwa lindungan itu herjalan terus, dengan sembunyi-sembunyi. Cenderawasih Dobo misalnya, dapat dibeli sambil bisik-bisik di Proyek Senen. Setelah diawetkan, harga seekor cenderawasih bisa mencapai Rp 30 ribu. Pakai kaca segala, Rp 40 ribu. Apa ada yang berminat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus