NUN jauh di pelosok tenggara Maluku, di kepulauan Aru tempat KRI
Macan Tutul mencoba menyerbu Irian, perburuan satwa liar sedang
berkecamuk dengan bebasnya. Termasuk perburuan satwa yang
semustinya dilindungi karena sudah terancam punah.
Burung cenderawasih misalnya, dapat dibeli di lobo seharga Rp
15 sampal 20 ribu seekor. Burung kakaktua hitam sampai di Ambon
harganya KF 10 sampai 30 ribu seekor. Kalau senang gigi duyung,
di Dobo harganya 'cuma' Rp 15 ribu sebiji. Sementara kanguru dan
wallaby (kanguru kerdil) harganya cuma Rp 5 sampai 6 ribu
seekor. Tiap bulan lebih dari 50 ekor mammalia berkantong itu
diekspor ke Ambon. Padahal cenderawasih, duyung maupun kangaru
ada tercantum di daftar 77 jenis satwa yang dilindungi
berdasarkan UU dan SK Menteri Pertanian.
Ancaman terhadap kelestarian satwa Aru itu diungkapkan oleh
Alain Com post, seorang fotograf free-lance. Ia mengunjungi
kepulauan Aru Mei s/d Juni 1977. Nampun laporannya baru saja di
muat dalam buletin World Wildlife Fund Newsletter, Januari
lalu.
Di pulau-pulau Wokam, Maihoor, Tranyan dan Workai, burung-burung
sorga itu dipanah atau ditembak dengan senapan angin oleh
penduduk pribumi. Di tempat itu juga, ada pedagang Cina yang
membeli burung mati itu seharga Rp 5000 sampai 8000 seekor. Dari
Dobo bangkai binatang lindungan berbulu indah itu dikirim ke
Ambon, dan selanjutnya diterbangkan ke Ujung Pandang, atau
Jakarta. Di ibukota Rl ini, tulis Alain Compost, harganya bisa
mencapai Rp 60 ribu seekor. Tapi pedagang yang mau lebih untung
terus mengekspornya ke Jepang di mana harganya bisa mencapai Rp
100 ribu seekor, setelah diopset (di-taxidermy-kan).
Duyung yang n asih sepupu paus itu pun tak diburu untuk dimakan
penduduk sendiri. Dengan harpun atau jala di malam bulan
purnama, orang semalaman bisa membunuh 4 sampai 5 ekor duyung.
Dagingnya dibuang begitu saja, sebab giginya itulah yang dapat
dilipat alias jadi duit. Konon khasiatnya adalah untuk obat kuat
dan sakit encok bagi orang Cina. Kulit buaya, dulu juga
merupakan obyek bisnis yang penting di Aru. Namun kini buaya
sulit didapat-pertanda bahwa eksploitasi yang berlebih-lebihan
di masa lalu telah nyaris memusnahkan reptil ini.
Ekspor buaya dari Indonesia mungkin termasuk yang dari Maluku
Tenggarra itu--memang tak sedikit. Tahun 1975 FA0 mencatat
ekspor berbagai jenis binatang melata itu mencakup 1500 ekor
buaya, lebih dari 31 ribu ekor biawak, 6071 ekor penyu laut,
lebih dari 34 ribu ekor penyu air tawar, 8400 ekor ular piton
(permintaannya masih terus meningkat dari Hongkong). Belum lagi
250 ekor kanguru dari Aru dan Irian Jaya. Berbagai jenis kanguru
dan wallaby itu--termasuk kanguru pohon (Dercopsis muelleri)
yang teoritis dilindungi--diekspor dengan nama latin yang sudah
ketinggalan zaman. Jadi tak tercantum di daftar satwa lindungan.
Walhasil, tulis Compost, "fauna asli Kepulauan Aru ini terutama
terancam oleh perdagangan, bukan oleh konsumsi lokal." Untuk
kebutuhan konsumsi daging, penduduk setempat berburu rusa dan
babi dengan panah dan busur. Sehingga mengisi perut tak perlu
mengganggu satwa lindungan. Namun sementara kebutuhan perut
orang ada batasnya, kebutuhan akan duit menanjak terus. Maka
menanjak pulalah ekspor binatang-binatang liar yang nyaris punah
dari Aru itu.
Gawang Terakhir
Bagi kepulauan seperti Aru, bahaya kepunahan itu lebih besar.
Sebab beberapa jenis binatang hanya terbatas di satu pulau
kecil. Jadi kalau terus menerus diburu, akan tamatlah riwayat
binatang itu sampai ke anak cucunya. Makanya, Alain Compost
mengusulkan agar pengawasan terhadap perdagangan binatng dan
produk binatang di Aru lebih diperketat agar tak terulang lagi
kisah musnahnya buaya di sana.
Masalahnya sekarang, Seksi-Seksi PPA (Perlindungan & Pengawetan
Alam) di daerah sering mengandalkan ketajaman mata dan firasat
petugas PPA di Jakarta. "Seksi PPA Jakarta, dianggap sebagai
penjaga gawang terakhir," ujar seorang pencinta satwa di sini.
Namun nyatanya, di bawab hidung PPA Jakarta bisnis gelap satwa
lindungan itu herjalan terus, dengan sembunyi-sembunyi.
Cenderawasih Dobo misalnya, dapat dibeli sambil bisik-bisik di
Proyek Senen. Setelah diawetkan, harga seekor cenderawasih bisa
mencapai Rp 30 ribu. Pakai kaca segala, Rp 40 ribu. Apa ada yang
berminat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini