Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Monyet, bom dan peri kemanusiaan

Ippl menyambut baik larangan india mengekspor monyet untuk penelitian bom neutron. india tidak mengekspor monyet ke as sesudah as melanggar janji. kemungkinan as mengimpor kera indonesia. (ilt)

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIGA Perlindungan Primata Internasional (IPPL) yang berpusat di Berkeley, California (AS), telah menyambut baik larangan pemerintah India bagi ekspor monyet rhesus dari negeri itu. Dalam edaran persnya pertengahan bulan lalu, Dr Shirley McGreal dari IPPL menungkapkan bagaimana cucu-cucu Sang Hanoman itu telah menjadi korban riset bom neutron. Senjata nuklir AS terbaru itu, yang belum diproduksi secara massal, jadi andalan Presiden Jimmy Carter sebagai penggertak terhadap Uni Soviet. Ia tergolong "bom bersih " -- artinya, ledakannya mampu menghancurkan semua benda organis dari manusia sampai ke kutu-kutunya, tanpa menghancurkan gedung, mesin dan henda mati lainnya. Keunikannya terletak pada radiasi neutronnya yang mematikan itu. Ditembakkan dengan peluru kendali Lance, bom neutron itu dapat melumpuhkan pusat-pusat kekuatan militer dalam radius terbatas. Monyet itu Lumpuh Bagaimana andil monyet-monyet rhesus India dalam riset bom neutron itu? Menurut Dr McGreal, Angkatan Bersenjata AS telah melakukan lebih dari 25 percobaan pengaruh radiasi neutron itu terhadap monyet. Sejak tahun 1966, sudah 1200 monyet rhesus yang menemui ajalnya dalam percobaan itu. Dalam satu percobaan di tahun lalu misalnya, sekelompok monyet yang sudah dilatih dengan kejutan listrik disuruh berlari-lari di atas kincir yang dijalankan dengan kaki (treadmill) selama 6 jam sehari. Kemudian, monyet-monyet itu dimasukkan dalam sangkar khusus lalu disoroti radiasi sinar gamma neutron berkekuatan 4600 rad. Habis itu disuruh berlari-lari iagi memutar kincir tadi. Meskipun masih 'dicambuk' dengan kejutan listrik, kebanyakan monyet itu semaput, lumpuh selama periode yang lama, dan tak mampu berlari lagi. Monyet pertama mati setelah 7 jam, dan yang paling kuat mati setelah 32 jam atau 5 « hari. Gejala-gejala radiasi neutron pada munyet-monyet itu cukup menyedihkan: mereka muntah-muntah, mencret berair, bola mata terputar, pembuluh darah pecah, menggigil, hidung bocor, mengap-mengap, kondisi sistim saraf terganggu sehingga tak sadar diri, lalu mati. Sesungguhnya pemerintah India sudah melarang ekspor monyet di tahun 1955. Tapi larangan kemudian dicabut akibat tekanan pemerintah AS. Kendati demikian, pemerintah India mendesak AS menandatangani perjanjian bahwa monyet rhesus itu hanya akan digunakan dalam penelitian medis serta produksi vaksin, dan harus diperlakukan denan penuh 'peri kemanusiaan'. Pemerintah AS juga berjanji dalam kondisi apapun tak akan melibatkan monyet itu dalam penelitian militer. Namun menurut penyelidikan para ahli primata di California, monyet-monyet itu toh dijadikan hewan percobaan dalam percobaan radiasi neutron di stitut Radio-biologi Angkatan Bersenjata AS serta pengujian senjata kimia di gudang senjata Angkatan Darat AS di Edgewood. Bocornya pelanggaran perjanjian India-AS tahun 1955 itu ke pers Amerika dan India itulah yang membuat PM Morarji Desai mengumumkan larangan ekspor monyet rhesus mulai bulan depan. Pemakan Kepiting "Baiklah. Kalau pemerintah India begitu tersinggung, saya tak akan menggunakan seekorpun monyet India lagi dalam percobaan ini," tukas Dr Mclndoe, irektur Institut Radiobiologi AB-AS yang menjalankan percobaan itu. Tak berarti, bahwa percobaan dengan menggunakan monyet itu akan distop. Sebab menurut informasi IPPL yang juga punya kontak dengan para ahli primata di Indonesia, para penyelidik militer AS kini berpaling kepada jenis monyet macaque pemakan kepiting dari Indonesia. Jenis monyet berekor panjang ini, di Indonesia lazim disebut "kera" (dalam dunia biologi, "kera" adalah sebutan bagi primata yang lebih mirip manusia karena tak berekor dan berjalan tegak). Sejak 1972--menurut catatan IPPL, sekali lagi--ekspor monyet Indonesia itu ke AS telah naik 4 x lipat. Ekspor 'kera' dari Indonesia memang tak terkendali, dan tak ada syarat bagaimana monyet itu harus diperlakukan di luar negeri. Sinyalemen IPPL itu juga dibenarkan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) di Roma, yang telah menyusun laporan interim untuk pemerintah Rl tentang kelestarian alam dan satwa liar di Indonesia. Menurut laporan 1977 itu, lebih dari 25 perusahaan pengekspor hewan beroperasi di Jakarta. Belum terhitung yang di Surabaya, Medan Palembang, Banjarmasin, Ujungpandang, dan entah di mana lagi. Ke Pemerintah RI Perusahaan-perusahaan itu terutama mengekspor primata dan burung. Ekspor primata yang tercatat tahun 1975 meliputi 15.800 ekor monyet macaque fascicularis dan 1194 ekor macaqze nemestrina. Sedang antara tahun 1970 s/d 1975 telah diekspor 86 ribu ekor macaque fascicularis. terutama ke Amerika Serikat dengan keterangan "untuk penelitian kedokteran". Ekspor yang begitu bebas dimungkinkan karena di bawah UU Kehutanan, satwa liar di luar Jawa dan Madura tergolong sebagai "hasil hutan" - sama sepcrti bambu, rotan atau kayu - sehingga bebas diperdagangkan guna mencari penghasilan. Begitu menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB itu, yang tak menyebutkan bahwa ada 13 jenis monyet dan kera dilindungi oleh UU di Indonesia. Dengan kata lain, mengekspor satwa lindungan itu hanya mungkin dengan izin khusus Menteri Pertanian. Melihat kenyataan itu, IPPL masih merasa perlu menyampaikan himbauan ke alamat pemerintah Rl kata Dr Shirley McGreal, salah seorang Ketua IPPL: "Gudang Senjata Edgewood telah memberitahu kaml tahun 1976 bahwa mereka akan menggantikan monyet rhesus itu dengan macaque pemakan kepiting dalam penelitian senjata kimianya. Institut Radio-biologi AB-AS malah sudah menggunakan beberapa ekor monyet tersebut. Lembaga-lembaga ini tampaknya mengira, bahwa orang Indonesia sama sekali tak peduli tentang nasib monyet itu setelah dijual dan dikapalkan ke luar negeri. Makanya saya usulkan agar pemerintah dan rakyat Indonesia mengambil langkah untuk mencegah kekejaman serupa dijalankan terhadap monyet-monyetnya." Itu berarti satu pekerjaan rumah lagi bagi ahli-ahli primata di Lembaga Biologi Nasional serta Depkes--yang sudah sibuk menolak permintaan ekspor uwa-uwa dari belantara Kalimantan dan Sumatera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus