LIGA Perlindungan Primata Internasional (IPPL) yang berpusat di
Berkeley, California (AS), telah menyambut baik larangan
pemerintah India bagi ekspor monyet rhesus dari negeri itu.
Dalam edaran persnya pertengahan bulan lalu, Dr Shirley McGreal
dari IPPL menungkapkan bagaimana cucu-cucu Sang Hanoman itu
telah menjadi korban riset bom neutron.
Senjata nuklir AS terbaru itu, yang belum diproduksi secara
massal, jadi andalan Presiden Jimmy Carter sebagai penggertak
terhadap Uni Soviet. Ia tergolong "bom bersih " -- artinya,
ledakannya mampu menghancurkan semua benda organis dari manusia
sampai ke kutu-kutunya, tanpa menghancurkan gedung, mesin dan
henda mati lainnya. Keunikannya terletak pada radiasi neutronnya
yang mematikan itu. Ditembakkan dengan peluru kendali Lance, bom
neutron itu dapat melumpuhkan pusat-pusat kekuatan militer dalam
radius terbatas.
Monyet itu Lumpuh
Bagaimana andil monyet-monyet rhesus India dalam riset bom
neutron itu? Menurut Dr McGreal, Angkatan Bersenjata AS telah
melakukan lebih dari 25 percobaan pengaruh radiasi neutron itu
terhadap monyet. Sejak tahun 1966, sudah 1200 monyet rhesus yang
menemui ajalnya dalam percobaan itu. Dalam satu percobaan di
tahun lalu misalnya, sekelompok monyet yang sudah dilatih dengan
kejutan listrik disuruh berlari-lari di atas kincir yang
dijalankan dengan kaki (treadmill) selama 6 jam sehari.
Kemudian, monyet-monyet itu dimasukkan dalam sangkar khusus
lalu disoroti radiasi sinar gamma neutron berkekuatan 4600 rad.
Habis itu disuruh berlari-lari iagi memutar kincir tadi.
Meskipun masih 'dicambuk' dengan kejutan listrik, kebanyakan
monyet itu semaput, lumpuh selama periode yang lama, dan tak
mampu berlari lagi. Monyet pertama mati setelah 7 jam, dan yang
paling kuat mati setelah 32 jam atau 5 « hari. Gejala-gejala
radiasi neutron pada munyet-monyet itu cukup menyedihkan: mereka
muntah-muntah, mencret berair, bola mata terputar, pembuluh
darah pecah, menggigil, hidung bocor, mengap-mengap, kondisi
sistim saraf terganggu sehingga tak sadar diri, lalu mati.
Sesungguhnya pemerintah India sudah melarang ekspor monyet di
tahun 1955. Tapi larangan kemudian dicabut akibat tekanan
pemerintah AS. Kendati demikian, pemerintah India mendesak AS
menandatangani perjanjian bahwa monyet rhesus itu hanya akan
digunakan dalam penelitian medis serta produksi vaksin, dan
harus diperlakukan denan penuh 'peri kemanusiaan'. Pemerintah
AS juga berjanji dalam kondisi apapun tak akan melibatkan monyet
itu dalam penelitian militer.
Namun menurut penyelidikan para ahli primata di California,
monyet-monyet itu toh dijadikan hewan percobaan dalam percobaan
radiasi neutron di stitut Radio-biologi Angkatan Bersenjata AS
serta pengujian senjata kimia di gudang senjata Angkatan Darat
AS di Edgewood. Bocornya pelanggaran perjanjian India-AS tahun
1955 itu ke pers Amerika dan India itulah yang membuat PM
Morarji Desai mengumumkan larangan ekspor monyet rhesus mulai
bulan depan.
Pemakan Kepiting
"Baiklah. Kalau pemerintah India begitu tersinggung, saya tak
akan menggunakan seekorpun monyet India lagi dalam percobaan
ini," tukas Dr Mclndoe, irektur Institut Radiobiologi AB-AS
yang menjalankan percobaan itu.
Tak berarti, bahwa percobaan dengan menggunakan monyet itu akan
distop. Sebab menurut informasi IPPL yang juga punya kontak
dengan para ahli primata di Indonesia, para penyelidik militer
AS kini berpaling kepada jenis monyet macaque pemakan kepiting
dari Indonesia. Jenis monyet berekor panjang ini, di Indonesia
lazim disebut "kera" (dalam dunia biologi, "kera" adalah sebutan
bagi primata yang lebih mirip manusia karena tak berekor dan
berjalan tegak).
Sejak 1972--menurut catatan IPPL, sekali lagi--ekspor monyet
Indonesia itu ke AS telah naik 4 x lipat. Ekspor 'kera' dari
Indonesia memang tak terkendali, dan tak ada syarat bagaimana
monyet itu harus diperlakukan di luar negeri. Sinyalemen IPPL
itu juga dibenarkan oleh FAO (Food and Agriculture Organization)
di Roma, yang telah menyusun laporan interim untuk pemerintah Rl
tentang kelestarian alam dan satwa liar di Indonesia. Menurut
laporan 1977 itu, lebih dari 25 perusahaan pengekspor hewan
beroperasi di Jakarta. Belum terhitung yang di Surabaya, Medan
Palembang, Banjarmasin, Ujungpandang, dan entah di mana lagi.
Ke Pemerintah RI
Perusahaan-perusahaan itu terutama mengekspor primata dan
burung. Ekspor primata yang tercatat tahun 1975 meliputi
15.800 ekor monyet macaque fascicularis dan 1194 ekor
macaqze nemestrina. Sedang antara tahun 1970 s/d 1975 telah
diekspor 86 ribu ekor macaque fascicularis. terutama ke Amerika
Serikat dengan keterangan "untuk penelitian kedokteran".
Ekspor yang begitu bebas dimungkinkan karena di bawah UU
Kehutanan, satwa liar di luar Jawa dan Madura tergolong sebagai
"hasil hutan" - sama sepcrti bambu, rotan atau kayu - sehingga
bebas diperdagangkan guna mencari penghasilan. Begitu menurut
laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB itu, yang tak
menyebutkan bahwa ada 13 jenis monyet dan kera dilindungi oleh
UU di Indonesia. Dengan kata lain, mengekspor satwa lindungan
itu hanya mungkin dengan izin khusus Menteri Pertanian.
Melihat kenyataan itu, IPPL masih merasa perlu menyampaikan
himbauan ke alamat pemerintah Rl kata Dr Shirley McGreal, salah
seorang Ketua IPPL: "Gudang Senjata Edgewood telah memberitahu
kaml tahun 1976 bahwa mereka akan menggantikan monyet rhesus itu
dengan macaque pemakan kepiting dalam penelitian senjata
kimianya. Institut Radio-biologi AB-AS malah sudah menggunakan
beberapa ekor monyet tersebut. Lembaga-lembaga ini tampaknya
mengira, bahwa orang Indonesia sama sekali tak peduli tentang
nasib monyet itu setelah dijual dan dikapalkan ke luar negeri.
Makanya saya usulkan agar pemerintah dan rakyat Indonesia
mengambil langkah untuk mencegah kekejaman serupa dijalankan
terhadap monyet-monyetnya."
Itu berarti satu pekerjaan rumah lagi bagi ahli-ahli primata di
Lembaga Biologi Nasional serta Depkes--yang sudah sibuk menolak
permintaan ekspor uwa-uwa dari belantara Kalimantan dan
Sumatera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini