BULAN-BULAN menjelang masa jabatannya berakhir di bulan Maret
ini, Gubernur Asnawi Mangku Alam kelihatan semakin sibuk. Akhir
bulan lalu saja Gubernur Sumatera Selatan itu terjun ke
pedalaman-pedalaman. Untuk meresmikan beberapa proyek yang
kebetulan selesai di ujung masa jabatannya yang kedua kali itu -
sekaligus juga agaknya, menyampaikan pesan perpisahan kepada
warga daerahnya.
Sebelas tahun menjadi gubernur di daerah ini, Asnawi selalu
mengaku masih banyak tugas yang sebenarnya harus ia selesaikan.
Tapi, katanya pertengahan bulan lalu ketika meresmikan sebuah
jalan Inpres di Kota Palembang, setiap satu pembangunan selesai
kita lakukan, berarti kita telah membuat tugas baru untuk
dikerjakan pula. Oleh karena itu katanya, bekerja untuk
pembangunan berarti membuat tantangan baru secara terus menerus.
Sebab itu pula Gubernur Sumatera Selatan itu enggan menyebutkan
ketika kepadanya ditanyakan proyek apa yang dianggapnya paling
berhasil dan menonjol yang ia kerjakan selama masa jabatannya.
Tapi, kata Haji Asnawi, karena dana pembangunan terbesar selama
ini diberikan kepada sektor jalan dan jembatan, maka bidang
inilah yang dapat dikatakan menonjol. Ia menunjukkan, sebelum
Pelita I, dari hampir 6.000 km jalan dan jembatan di daerah ini,
806 berada dalam keadaan tak dapat dilalui kenderaan.
Keadaan sarana perhubungan serupa itu berubah cepat. Selama
Pelita I saja 65% seluruh jalur jalan yang ada telah dalam
keadaan baik. Bahkan hingga tahun 1977 baru lalu, praktis
seluruh jalur jalan dan jembatan di propinsi ini sudah rapi.
Tapi ini bukan berarti tak ada masalah lagi yang dihadapi Pemda
Sumatera Selatan dalam hal sarana perhubungan ini. Sebab begitu
jalur-jalur jalan mulai terbuka, jumlah kenderaan umum di daerah
ini bertambah dengan luar biasa. Tak heran jika hal ini
mempercepat mulai rusaknya jalanjalan itu. Karena itu sejak
Pelita II setiap tahun disediakan anggaran khusus untuk
perawatan jalan-jalan dan jembatan itu.
Negatifnya Saja
Kerusakan di beberapa bagian jalan itu pula yang sering
dilontarkan sebagian masyarakat daerah ini sebagai bahan
untuk mencela pembantu-pembantu Gubernur Asnawi. "Mereka hanyi
melihat yang jelekn.ya saja," ucap gubernur itu, "mereka tak
ingat sebelum Pelita jarak jalan yang hanya 50 km harus ditempuh
berhari-hari." Ketak-fahaman sebagian warga daerahnya akan
hasil-hasil Pelita selama ini rupanya diungkapkan Asnawi sebagai
rasa kecewanya. Sebab, tuturnya, Pemerintah Daerah Sumatera
Selatan sudah cukup banyak bekerja, masih saja yang dilihat
segi-segi negatifnya saja.
Rasa kecewa serupa itu pernah pula dialami Gubernur Sumatera
Selatan itu karena sikap para petani. "Pada mulanya," ungkap
Asnawi, 'para petani sulit sekali diberi pengertian agar mereka
tak hanya menggantungkan diri pada satu jenis tanaman saja,
yaitu karet." Berkali-kali diyakinkan kepada mereka bahwa jika
pasaran getah itu turun, penghasilan mereka juga menjadi
sedikit. Dan memang, begitu harga karet }nerosot terus di
pasaran dunia, para petani mulai menanam kopi. "Tapi jadinya
semua menanam kopi, tak mempedulikan yang lain," tutur Asnawi
lagi.
Baru kemudian usaha untuk menganeka-ragamkan jenis pertanian di
daerah ini berhasil. "Di samping karet dan kopi, para petani
sudah sibuk pula bertanam lada, cengkeh, buah-buahan, sayur, dan
bahkan kelapa sawit," kata Gubernur Asnawi. Tentang berjutajuta
pohon karet yang sudah tua-tua di daerah ini pihak Bank Dunia
telah membantu peremajaannya dengan penanaman 4 juta bibit di
Musi Landas, Kabupaten Musi Banyuasin.
Dalam tahun-tahun terakhir ini Sumatera Selatan hanya mampu
menghasilkan getah karet sekitar 125.000 ton per-tahun,
sementara kesempatan untuk ekspor diberikan untuk 180.000 ton.
Penurunan jumlah produksi itu, menurut Asnawi, di samping karet
didaerah ini sudah berusia lanjut, juga karena para petani tak
begitu berminat menyadapnya dalam keadaan harga murah seperti
akhir-akhir ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini