Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Karena Iklim Tidak Menentu

Pemerintah melansir hasil investigasi bencana longsor di Jember dan Banjarnegara. Mitigasi dan peringatan dini menjadi penting.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perban masih membebat kaki Glendy Rogi. Di rumah sakit, ke-luarganya terus menemani remaja yang lolos dari maut itu, setelah bongkahan bukit me-nguruk ru-mahnya di Kelurahan Pakowa, Kota Manado. Dalam bencana itu, sang ibu, Vera Ramang; dan adik Glendy, yaitu Grifandy serta Greina Rogi, meninggal dunia.

Tanah longsor juga mengubur rumah Chyntia yang letaknya tidak jauh dari kediaman Glendy. Chyntia tewas, semen-tara tiga temannya terluka. ”Entah me-ngapa Chyntia kembali ke rumah yang telah dikosongkan itu,” kata seorang te-tangga kepada Ahmad Alheid dari Tempo, Selasa pekan lalu. Merasa khawatir, orang tua Chyntia telah mengungsi dari rumah itu, karena sebelumnya hujan lebat turun berhari-hari.

Selain longsor terjadi di beberapa lokasi, banjir juga menerjang Manado, Air-madidi, Tomohon, dan Minahasa Se-latan. Sungai Tondano meluap dan menggenangi sebagian besar Kota Manado sedalam satu meter. Bahkan ruas jalan menuju Bandara Sam Ratulangi terputus karena genangan air dan longsoran tanah.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara mencatat korban tewas 33 orang. Jumlah itu tidak termasuk enam warga yang hanyut dan belum ditemukan dari tiga kali banjir dan tanah longsor sepanjang Februari.

Sejumlah pihak menunjuk semakin gundulnya hutan Klabat di Minahasa Utara dan hutan Liandok di Pegunung-an Wulur Mahatus, Minahasa Selatan, sebagai penyebab bencana. Pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan cengkeh pada masa Orde Baru, serta penebangan liar yang marak pada masa re-for-masi di wilayah itu, memberikan kontribusi yang besar terhadap resistensi lingkungan.

Bencana yang terjadi di tanah Minahasa tampaknya menguatkan dugaan bahwa kelalaian manusia menjadi penyebab utama terjadinya serentetan tanah longsor dan banjir di berbagai daerah. Hal ini sama dengan hasil penelitian tim investigasi yang dikirim Kementerian Lingkungan Hidup untuk kasus di Jember, Jawa Timur; dan Banjarnegara, Jawa Tengah.

Banjir dan longsor di Jember yang terjadi pada awal Januari lalu menewaskan 87 warga. Masnellyarti Hilman, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, menjelaskan penyebab bencana tersebut. ”Karena alih fungsi lahan di daerah hulu dari hutan lindung dan perkebunan karet menjadi perkebunan kopi,” katanya.

Alih fungsi ini dibenarkan sebagian besar warga yang tinggal di kaki Gunung- Argopuro. Kepada tim peneliti, mereka mengaku mempunyai sertifikat tanah di daerah hulu yang lantas mengganti pohon karet menjadi tanaman kopi. Mereka mengaku melihat pembalakan liar besar-besaran sejak tahun 1999 sampai 2005.

Tim peneliti juga mendapat data dari lembaga swadaya masyarakat Hamim dan Walhi cabang Jember. Kedua lembaga ini menemukan penyimpangan yang dilakukan Perhutani Unit 2 Jawa Timur. Misalnya, proyek pembibitan pohon jati, mahoni, dan lainnya setiap tahun didapat Perhutani. Namun, setelah sekian bulan, bibit itu dicabut dan dijual kembali.

Ada tiga instansi, dari temuan LSM itu, yang dianggap bertanggung jawab terhadap bencana di Jember. Pertama, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur 2 yang mengelola kawasan seluas 14 ribu hektare. Kedua, Perhutani- Unit 2 yang memiliki kawasan hutan lindung. Dan ketiga, Perusahaan Daerah Perkebunan Kabupaten Jember. Namun kepada pers mereka membantah tuduhan tersebut.

Menurut Masnellyarti, modus serupa juga terjadi di Kabupaten Banjarnegara. Bencana longsor di sana menewaskan 50 warga Dusun Gunungraja Wetan, Desa Sijeruk. Sumber longsor tanah berasal dari petak 44 c kawasan hutan produksi terbatas yang dikelola PT Perhutani-. ”Ada indikasi kelalaian Per-hutani dalam pengawasan sehingga ada penebangan pinus dan penanaman tanaman budi daya yang tidak terpantau,” kata Nelly.

Juru bicara Perhutani Banyumas Timur, Agung Riyanto, mengakui longsor itu terjadi di wilayahnya. Namun dia membantah bencana itu akibat kesalah-an penanaman pohon dan pengelolaan kawasan hutan lindung. ”Itu terjadi karena kondisi cuaca musim hujan yang banyak mencurahkan hujan disertai angin- puting beliung,” katanya kepada Ari Aji H.S. dari Tempo.

Dari rangkaian bencana ini, Nelly me-lihat ledakan penduduk menyebabkan warga membuat permukiman dan mencari nafkah di lereng pegunungan. ”Termasuk di daerah dengan kemi-ringan lebih dari 40 derajat yang rawan longsor,” katanya. Menurut dia, longsor di Manado juga terjadi pada permukiman yang berada di kemiringan itu.

Untuk mengantisipasi terjadinya bencana longsor dan banjir di Pulau Jawa, Kementerian Lingkungan Hidup sudah mengusulkan dua agenda. Pertama, moratorium penebangan hutan. Kedua-, memperjelas fungsi Perhutani yang hanya mengelola hutan produksi. ”Hutan lindung dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam saja,” kata Nelly. Dua usul ini sudah disampaikan ke Departemen Kehutanan untuk menjadi masukan.

Paulus Agus Winarso, pakar cuaca dan staf Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG, menjelaskan bahwa sejak 1991 terjadi perubahan iklim global. ”Kini pola iklim sudah tidak karu-karuan,” katanya. Dia mencontohkan bencana longsor di Filipina dua pekan lalu yang menewaskan sekitar 1.500 orang. Padahal, musim hujan di Filipina biasa-nya baru muncul April hingga Oktober. Badai yang terjadi di Filipina ini me-rembet juga ke selatan, sehingga bencana serupa menimpa Sulawesi Utara.

Tentu saja, biang keladi dari perubah-an iklim adalah penggundulan hutan dan degradasi lahan di dunia. Selain itu juga masih digunakannya teknologi- tak ramah lingkungan yang sebenar-nya sudah dilarang oleh negara-negara yang mendeklarasikan Protokol Kyoto. Amerika Serikat, yang industrinya berperan besar dalam pemanasan global, menolak meratifikasi protokol itu.

Dampak kasatmata dari perubahan iklim terlihat dari pendeknya musim hujan dan semakin panjangnya kemarau. ”Karena singkat, curah hujannya jadi tinggi,” kata Paulus, yang menjadi anggota Dewan Riset Nasional. Selain itu, pencairan es di kutub utara dan selatan menyebabkan tingginya pasang air laut.

Perubahan lingkungan dan iklim ini membuat banyak daerah di Indonesia tidak lepas dari bencana. Sayangnya, kata Paulus, Indonesia tertinggal jauh dengan perkembangan alam yang semakin ekstrem. Selain itu, penanganan bencana tidak berkesinambungan dan terkoordinasi. ”Kita tidak belajar dari bencana-bencana sebelumnya.” Di sinilah, katanya, pentingnya mitigasi dan sistem peringatan dini untuk mencegah atau memperkecil dampak bencana.

Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus