Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Yang Menular dari Jepang

Kelompok Core of Soul menggelar konser di Jakarta dan Bandung. Mereka menyuguhkan J-Pop, musik populer rasa Jepang.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada taiko, shamisen, atau sakuhachi di atas panggung. Penonton yang mengharapkan su-guhan perkusi, alat petik, dan alat tiup tradisional Jepang tersebut boleh jadi beringsut keluar dari Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ini bukan musik tradisio-nal Jepang atau musik sunyi ala Kitaro. Ini konser J-Pop, musik yang sedang hi-dup, tumbuh, dan berkembang di Ne-geri Samurai.

Di panggung hanya ada tiga anak muda Jepang yang mencangklong gitar dan bas, memencet kibor, memegang mikrofon, dan menyanyikan lagu-lagu pop atau rock biasa, genre musik yang diimpor dari Amerika sono. Bedanya, mereka menyanyikannya (sebagian besar) dalam bahasa Jepang.

Tapi mengapa para penonton remaja dalam konser One Love One Day One Life, yang dimainkan kelompok Core of The Soul, Rabu malam pekan lalu, itu tampak antusias memberi sambut-an? Sekitar 700 kursi terisi. Sebagian besar dipenuhi remaja Indonesia yang hafal lagu-lagu dari tiga sekawan lulus-an Senri International School, Osaka, tersebut. Di Bandung, Jawa Barat, penonton bahkan harus rela duduk hingga di lorong-lorong kursi.

Trio yang beranggotakan Nakamura Fukiko (22 tahun, vokal), Song Rui (25 tahun, gitar dan bas), serta Iizuka Keisuke (23 tahun, kibor) itu agaknya sudah dikenal di sejumlah negara Asia. Mereka juga pernah pentas di Amerika (Texas dan New York). Di Jepang, sejak meluncurkan cakram digital alias CD single pertama Photosynthesis (2001), me-re-ka getol tampil di te-levisi dan menggelar konser di seantero Jepang.

Di Indonesia, musik J-Pop yang mereka- mainkan bahkan me-mi-liki ko-munitas- peng-gemar. Sebagi-an- komunitas under-ground yang biasa me-mainkan punk dan brit-pop banting setir- memainkan J-Pop. De-rasnya film ani-masi Jepang dan video-game yang memasukkan musik-mu-sik J-Pop itu telah menular ke Indonesia.

Nama genre musik dari Negeri Matahari Terbit ini sebenar-nya diambil dari sing-katan Japanese Popular Music. J-Pop merupakan buah pengaruh- dari musik populer dari luar Jepang, khususnya mu-sik-musik Barat, seper-ti- jazz, pop, rock, dance, dan soul. Pada 1980-an, tumbuh subur kelompok-kelompok mu-sik anak muda yang gandrung memainkan musik Barat. Menjelang 1990, J-Pop meraih puncak kemasyhuran lewat penampilan Namie Amuro yang meng-usung musik dance dan techno. Istilah J-Pop pun kemu-dian diproklamasikan untuk membedakan gaya mu-sik -modern dengan musik tradisional Jepang.

Dalam konser itu, Core of The Soul menyuguhkan 10 lagu berbahasa Jepang. Sebagian besar berirama riang- dan bergegas. Di akhir pertunjukan, mereka berkolaborasi dengan grup Mocca dari Bandung, Jawa Barat, membawakan lagu rock ’n roll milik The Beatles, All You Need is Love.

Yang menarik adalah ketika suara bening Fukiko menyanyikan pop balada Purple Sky. Lagu ini mengalir te-nang dalam nada minor. Purple Sky mengalun bagai sebuah ratapan. ”Lagu ini berkisah tentang perpisahan saya dengan orang tua,” kata Song Rui, yang menulis lagu itu.

Anggota kelompok ini mengaku -me-ng-a-gumi pemusik-pemusik dari Barat. Fukiko, misalnya, menyukai Ala-nis Morisette dan Tori Amos. Song Rui meng-idolakan Peter Gabriel, Smashing- Pumpkins, dan Metallica. Sedangkan Kei-suke menyukai Madonna dan Incognito.

Core of The Soul lahir pada 1998. Se-ki-tar setahun setelah terbentuk, trio itu langsung menyabet penghargaan Teens’ Music Festival yang dige-lar Yamaha Music Foundation. Hingga kini, Core of Soul telah menelurkan lima album.

J-Pop meliputi berbagai je-nis musik populer di Jepang, se-perti pop, rock, rap, soul, dan dance. Sebagai induk, J-Pop me-lahirkan J-Rock, Visual Kei, dan J-Rap.

J-Rap, misalnya, populer pa-da 1999 dengan Utada Hikaru sebagai salah satu ikonnya. Se-lain Utada, lahir juga grup Dra-gon Ash. Keduanya sangat dipengaruhi rap gaya Amerika.

Untuk pop, kelompok Da Pump, Kinki Kids, Every Little Thing, Max, dan Speed mencorong pada 1996. Lalu ada ju-ga penyanyi solo perempuan yang mencuat seperti Ayumi Hamasaki, Mi-ka Nakasima, dan Seiko Matsuda.

Untuk J-Rock, ada dua yang sa-ngat ter-kenal, Mr. Children dan B’z. Bela-kangan juga muncul Glay, L’arc en Ciel, dan Hide. Berbeda dengan dua grup yang pertama, musik-musik yang mereka suguhkan lebih keras. L’arc en Ceil adalah grup rock Jepang yang pa-ling dikenal di Indonesia. Album Smile (2004) milik mereka laku hingga 25 ribu keping di sini. Kelompok ini mengilhami sejumlah grup rock Indonesia untuk mengusung aliran J-Rock.

Di Jepang, J-Pop menjadi bagian dari kebudayaan populer. Musik ini telah digunakan di mana-mana seperti film animasi, iklan, acara radio, televisi, vi-deo game, hingga soundtrack film. Bahkan beberapa acara berita di televisi menggunakan lagu J-Pop sebagai penutup acara.

Pengaruh J-Pop yang telah merambah ke beberapa negara inilah yang mem-bawa Pusat Kebudayaan Jepang, The Japan Foundation, Jakarta, meng-usung musik J-Pop ke Jakarta. ”Kebe-tulan Core of Soul sedang menanjak dan mulai go international,” kata Tsukamoto, Asisten Direktur Seksi Budaya The Japan Foundation.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus