Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

”Saya Jadi Ikan dalam Air”

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awalnya ia hanya tertarik pada halusnya tenunan sarung Bugis. Tapi ia lalu semakin kepincut. Ia mempelajari proses perkembangan masyarakat Bugis—sesuatu yang dilihatnya mendekati dampak modernisasi di kampungnya sendiri.

Prof Christian Pelras, antropolog kelahiran 1934 di Desa Goulien, Bretagne, Prancis, terpesona pada Bugis. Berikut petikan wawancara Tempo dengan pakar sejarah yang fasih berbahasa Indonesia itu. Saat itu ia berkunjung ke Jakarta untuk melanjutkan proses penerbitan terjemah-an bukunya, Manusia Bugis.

Mengapa Anda memilih Bugis sebagai obyek penelitian Anda?

Awalnya terjadi saat saya melakukan penelitian di Malaysia Barat. Saat tinggal di Batu Pahat, di barat daya Johor, saya diberi tahu oleh pengurus rumah tangga bahwa ada suatu tempat namanya Pulau Bugis yang memiliki tenun yang sangat berbeda cara pembuatannya dengan yang dilakukan di Johor. Lebih halus dari songket Melayu. Saya tertarik, tapi saya pikir saya mau ingin sekalian meneliti orang Bugis, karena pada saat itu memang hampir tidak ada penelitian tentang orang Bugis.

Bagaimana Anda melakukan penelitian di Bugis?

Saya menggunakan metodologi etnologi. Jangka panjang. Saya tidak akan memaksa orang untuk menjelaskan apa yang ingin saya ketahui. Untuk tahu saya ikut mere-ka menanam kentang. Ikut puasa, membantu upacara perkawinan, hingga dianggap orang setempat menjadi bagian dari mereka. Ketika saya di Malaysia saya sampai dianggap orang Arab, karena saya biasa mengguna-kan bahasa Melayu, mengenakan baju koko dan sarung sete-ngah tiang. Apalagi hidung saya mancung dan berjanggut. Dalam penelitian saya, saya tidak mencuri, saya menjadi ikan dalam air. Perlu banyak waktu. Saya tidak sekadar memfoto kondisi masyarakat, karena masyarakat berubah terus-menerus.

Bagaimana perubahan yang Anda rasakan selama meneliti Bugis?

Mula-mula saya tinggal di sebuah rumah yang disedia-kan oleh kepala daerah di rumah asisten bupati yang bujangan. Tapi setelah saya bawa istri dan anak saya, waktu itu usianya 3,5 tahun, saya lebih diterima. Saya bisa masuk ke belakang rumah yang biasanya hanya dimasuki oleh anggota keluarga atau para perempuan. Saya dianggap anggota keluarga. Ada satu-satunya keluarga yang memanggil saya dengan nama depan saya. Saya sempat dianggap gila karena meneliti Bugis. Ada yang menganggap orang Bugis kasar, suka membunuh, orang yang tidak berkebudayaan. Tapi saya bertemu orang-orang yang sa-ngat ramah. Anak saya dianakemaskan, waktu TK masuk ke rumah orang lain minta kue, susu, dan kopi diberikan.

Anda fasih berbahasa Bugis?

Tidak juga. Saya tak pernah betul-betul bisa bahasa Bugis, karena orang-orang Bugis yang saya temui lebih memilih bahasa Melayu saat dengan saya. Saya bisa sedikit tapi tidak lancar.

Apa saja kesulitan yang Anda temui selama melakukan penelitian ini ?

Saya terbiasa bahasa Melayu saat di Malaysia. Mereka juga biasa berbahasa Indonesia. Meski belum ada televisi, lagu-lagu Indonesia disukai mereka. Menurut saya orang Indonesia dan Malaysia seperti anak kembar yang di-pisahkan dalam suatu waktu. Masing-masing ingin hidup sendiri, tapi betul-betul seperti anak kembar. Bagi peneliti- dari Eropa Indonesia, Malaysia, dan Brunei adalah satu secara kebudayaan.

Apa sesungguhnya beda antara The Bugis dengan terjemahannya, Manusia Bugis ini?

Saya menambah dan memasukkan beberapa hal yang saya temui belakangan dalam terjemahannya. Saya juga mengoreksi beberapa hal, menambah banyak hal, serta memasukkan beberapa nama dan istilah Bugis. Intinya terjemahan bahasa Indonesia lebih baik dan lebih lengkap yang berbahasa Inggris. Saya sedang mempersiapkan edisi- keduanya.

Secara pribadi, pengaruh apa yang Anda dapat selama kurang lebih 40 tahun bergelut dengan masyarakat Bugis?

Hingga kini kami, istri saya, masih sering memasak masakan Bugis. Istri dan menantu perempuan saya juga terbiasa menyapu dengan sapu lidi. Saya sendiri dan anak saya fotografer yang banyak mengambil gambar selama- saya meneliti Bugis, kini dia sudah 42 tahun, terbiasa menggunakan sarung di rumah. Meski istri saya bukan peneliti, dia mau ikut saya sampai ke pedalaman.

Utami Widowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus