TANAH ladang itu gersang. Banyak pasirnya, sehingga sulit ditanami pohon yang berguna. Pohon pisang saja tak bisa berbuah dengan baik. Tapi itu dulu. Sebelum Pak Kurdi, 60, mengubah dan mengolahnya menjadi ladang yang menghasilkan. Penduduk Kampung Dasan Tembang, Desa Lenek, Kecamatan Aikmel, Lombok Timur, berterima kasih pada Papuk Kurdi - demikian penduduk setempat memanggil kakek yan punya cucu bernama Kurdi - yang telah menjadi suri teladan penghijauan dan kemakmuran kampungnya. Bermula pada kegemeran sang Papuk dalam hal mencoba-coba. Pada suatu hari, dia kedatangan seorang penjual benih ikan keliling. Pak Kurdi tertarik sekali pada uraian si tukang ikan mengenai mudahnya panen ikan, banjir uang, dan pemeliharaan ikan karper, Ikan yang ditawarkan. Dia kemudian mengubah lahan tegalannya yang cuma 16 are itu menjadi kolam ikan. Kebetulan air tak begitu sulit di kawasan itu. Setelah petak-petak digenangi air 10.000 benih ikan karper yang dibelinya Rp 50 ribu pun ditebarkan di situ. "Waktu itu hanya coba-coba saja," ujarnya, mengingat awal usahanya pada tahun 1983. Dia tak peduli berapa ratus ikan yang bisa bertahan hidup dan menjadi besar. Tapi yang jelas, 10 bulan dan saat benlh karper itu ditebarkan ratusan ikan pula yang dapat dijualnya ke pasar. Yang tersisa, 26 ekor ikan yang dianggapnya paling sehat untuk dijadikan pejantan (10 ekor) dan petelur (16 ekor). Berkat pengamatannya sendiri, kakek yang berkulit hitam, kurus tapi tekun itu berkesimpulan bahwa kolam penetasan harus dipisahkan dari kolam pembenihan. "Saya ngawur-ngawur saja," ujarnya, dan tidak mempunyai keinginan, entah mengapa, untuk bertanya ke Dinas Perikanan bagian penyuluhan yang ada di kotanya. Terrnasuk misalnya bagaimana cara memberi makanan ikan. Dinas Perikanan biasa memberi pellet (konsentrat dari bahan yang berprotein), makanan khusus untuk ternak ikan air tawar. Tapi menu ikan karper Pak Kurdi lain. Dalam sehari, dia memberi makan dua kali yang terdiri dari dedak (sekam padi yang halus) yang dicampur dengan daun pepaya dan batang pisang yang diiris halus, serta kotoran tahi sapi. Sesekali kalau dia menemukan bangkai ayam atau binatang lainnya, tak ayal lagi menjadi santapan ikan karpernya yang selalu lapar. Hasilnya, "Ikan berwarna merah ini lebih segar dan lebih gurih rasanya," kata Mamiq Iramawa, petani lain yang meniru resep makanan ikan Pak Kurdi. Ikan karper (Cyprinus carpio) adalah ikan air tawar dari keluarga Cyprinilae yang mempunyai tubuh langsing, mulutnya berkumis, dan bibir selalu menjulur ke depan seakan selalu mau menghisap apa saja yang ada di depan moncongnya. Siripnya hijau kebiru-biruan di belahan punggung dan putih di bagian perut. Ada beberapa ras yang digolongkan dari warna tubuhnya. Yang berwarna kuning biasa disebut ikan emas. Karper Majalaya ialah silangan antara karper Taiwan dan ikan emas. Karper punten yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah silangan antara karper Jerman dan Cina. Warnanya sedikit biru hijau. Tapi wong Jawa Tengah biasa menamakan jenis karper ini dengan sebutan iqeak tombro. Karper Papuk Kurdi diduga dari ras warna merah jingga. Jenis ini yang biasa disebut si Nyonya terkenal sebagai petelur yang produktif. Menurut Pak Kurdi, ikan baru bertelur setelah usianya mencapai 1,5 tahun, tiap dua bulan sekali. Telur ikan yang jumlahnya ribuan itu ditempatkan dalam kolam berukuran 2 x 1 meter yang diberi ijuk. Dari situ, kalau sudah menetas, kemudian dipindahkan lagi ke kolam pembenihan. Seekor petelur sanggup memproduksikan 200 ribu telur. "Saya tak tahu berapa yang mati, saya memang ngawur saja," ujar Kurdi. Tapi Dinas Perikanan setempat menduga, telur hanya menetas 50%-60%. Yang bisa hidup sampai usia 1 bulan sekitar 30%-60% saja. Dari ikan usia 30 hari itulah, Pak Kurdi kini hidup. Tiap bayi karper dijualnya satu rupiah saja. Dari bayi-bayi ini, rata-rata penghasilannya Rp 100 ribu. Belum lagi hasil karper peliharaannya yang bisa mencapai sampai 2.000 ekor. Rumahnya pun kini sudah berubah. Dari atap ilalang kini diganti genting, dinding dari gedek sudah dipoles tembok. Rumahnya pun selalu ramai. Selain 40 orang yang menjadi tanggungannya, rumah yang berukuran 7 x 14 m itu tak Pernah sepi oleh tamu. Bak markas besar, rumahnya kini banyak menggalakkan berbagai keterampilan. Menjahit, pertukangan dan, tak pernah lupa, setiap orang dianjurkannya beternak ikan karper untuk tambah penghasilan. Kakek yang berjiwa sosial ini tak ingin menikmati keberhasilannya sendiri. Karena itu, 16 ekor pejantan yang menghasilkan sekitar 3 juta bibit ikan tiap bulan, dibaginya empat. Seperempat untuk dijual, yang tiga perempat untuk dikembangkannya sendiri, untuk tetangga, dan untuk disebarkan di sungai-sungai agar bisa berkembang ke mana-mana. Ada pula tambahan penghasilan Pak Kurdi yang lain. Setiap 3-4 bulan, endapan lumpur yang ada di kolam ikan dinaikkannya ke pematang yang lebarnya sekitar 2 m. Beberapa hari kemudian, pematang yang mendapat pupuk itu ditanami jeruk, pisang, mangga, panili, kelapa, dan sebagainya. Kini sudah ada 700 batang mangga dan sekian ratus batang pohon jeruk buahnya dibagi-bagikan ke tetangga, asal tetangganya mau juga menanam jeruk dan pohon lainnya. Akibatnya, tetangga dan penduduk seputar yang melihat keberhasilan Pak Kurdi mulai berpikir untuk mengubah sistem pertaniannya. Ada yang masih ber-minapadi artinya menanam padi dan juga menebarkan ikan karper di sawahnya, seperti Amak Nurhayati, 45. Amak Rum, 50, bahkan beternak karper di antara kebun kangkungnya yang 9 are itu. Di beberapa desa - jumlahnya kini sudah empat desa - mengubah tanaman padinya ke empang ikan karper. Mamiq Imbasih, yang mempunyai sawah 2 ha misalnya, tak lagi mau menanam tanaman pangan. Penduduk Desa Bagik Payung ini kini beternak ikan karper. Dia bahkan menganggap beternak ikan cara Papuk Kurdi jauh lebih murah dan mudah dari cara BBI (Balai Benih Induk) Dinas Perikanan. Desa-desa di Lombok Timur kini mulai menghijau. Kemakmuran pun mulai terbayang. Tapi bagaimana kalau semua petani di kawasan ini serentak beternak ikan dan ogah menanam tanaman pangan? Ini yang dikhawatirkan pihak Perikanan NTB. "Ledakan produksi akan menjatuhkan harga," ujar Boedi Soesilo. Selain itu, berbeda dengan ikan laut, ikan air tawar harus dijual hidup. Kalau mati, demikian Soesilo, meski itu dipindang, tak enak lagi rasanya. Tapi barangkali ini bukan urusan Pak Kurdi. Kakek yang cara-cara beternak ikannya sebenarnya tidak baru itu, bagaimanapun, telah mengubah desa-desa di lingkungannya lebih makmur dari sebelumnya. Toeti Kakiailatu Laporan Biro Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini