DULU jamu, kini film. Oleh Malaysia kedua produk Indonesia itu tiba-tiba dimusuhi, padahal penduduk sana kabarnya sudah telanjur senang. Apa pasal? Selidik punya selidik, kisruh itu bersumber pada orang Malaysia jua adanya. Jamu yang diisukan mengandung racun itu ternyata hasil karya pribumi Semenanjung. Sedangkan film Indonesia tetap saja beredar di Malaysia, kendati Pakar (perhimpunan penulis, artis, dan produser nasional) sejak awal Mei menggebu-gebu protesnya. Pakar menuntut supaya film Indonesia dilarang beredar di Malaysia. Kalau tidak, film itu mesti dikenai kuota atau bea masuk yang tinggi. Ketua Pakar, Encik Zulkifli bin Haii Ahmad, menyampaikan gagasan ini kepada Menpen Datuk Rais Yatim, yang segera disambut baik. Entah bagaimana Datuk Yatim sampai pada kesimpulan yang sama: Pemerintah Malaysia sebaiknya mempertimbangkan laramgan beredauntuk film Indonesia. Mendengar ini, terjadilah kegemparan kecil di kalangan perfilman kedua negara. Jin Shamsuddin, ketua PPFM (Persatuan Pengeluar Film Malaysia) tidak sependapat dengan Zulkifli. "Sangat picik meminta pemerintah agar mengambil tindakan balasan terhadap film Indonesia," katanya dalam satu perbincangan dengan pembantU TEMPO di Malaysia. "Kita sendiri berpangku tangan tanpa melakukan hal-hal yang positif." Ia menambahkan, "Lagi pula, Malaysia menganut perdagangan bebas, hingga tak wajar menetapkan kuota atau bea masuk terhadap film impor." Tien Samatha tidak percaya adanya larangan beredar semacam itu. "Tidak mungkin," cetusnya. Pada pendapat pemilik PT Daya Isteri Film ini, berbagai masalah mesti dibicarakan dulu oleh Perhimpunan Film ASEAN. Kalaupun ada kisruh, ketua PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia) Bucuk Suharto menganjurkan agar "hal-hal sepele jangan menyebabkan hubungan kedua negara terputus". Karena itu, jika larangan beredar diberlakukan, Bucuk akan merasa kecewa sekali. Isu larangan belum benar-benar reda, ketika perundingan bilateral Malaysia-Indonesia yang mencakup bidang penerangan dan komunikasi berlangsung di Jakarta, Sabtu dan Senin lalu. Ketika ditanya pendapatnya, ketua delegasi Malaysia Tan Sri Datuk A. Samat Idris berucap, "Pada dasarnya, tidak ada persoalan apa-apa." Maksudnya? Karena terikat perjanjian tahun 1982, kedua pihak wajib mengedarkan 10 film negara sahabatnya di negeri masing-masing. Program ini dalam pelaksanaannya terhambat. Baru tiga film Indonesia dan empat film Malaysia dipertukarkan, bahkan dua film Malaysia: Dia IbMku dan Menjelang Hari Esok masih tertahan di Bea Cukai. Kalau tidak salah, kedua film Malaysia itulah yang dihebohkan Pakar. Tersimpan di gudang Bea Cukai Indonesia, film itu mubazir, sementara 46 film Indonesia - yang di luar program pertukaran - beredar di Malaysia (pada 1983: 71 film). Mengapa ketidakseimbangan itu bisa terjadi? Soalnya film Indonesia diekspor oleh pihak swasta ke Malaysia dan bebas dipasarkan - karena Malaysia menganut perdagangan bebas - sedangkan film Malaysia di luar yang 10 itu sengaja tidak diimpor oleh pihak Indonesia. Konon, mereka takut rugi karena penggemar film Malaysia hampir tak ada di negeri ini. Bisa dimengerti kalau pada akhirnya Menpen menunjuk Perfin untuk tugas mengedarkan film Malaysia, tapi ini pun ternyata macet. Kabarnya, Perfin tidak punya uang untuk "menebus" pada Bea Cukai, hingga terkatung-katunglah komoditi itu di sana. Keadaan seperti ini bukan tidak dipahami para pejabat Malaysia, tapi sayang sekali tidak sempat dipelajari oleh tokoh-tokoh Pakar. Tidak heran bila kemudian tercetus gagasan "larangan beredar film Indonesia" sebagai suatu siasat yang, menurut Datuk Samat, bisa juga ditafsirkan untuk mencari popularitas. Bahwa, di luar isu Pakar, hubungan perfilman Malaysia-Indonesia baik-baik saja terbukti dari perundingan pekan lalu. Tidak ada adu argumentasi, pembicaraan berjalan lancar. Program pertukaran film kedua negara yang tersendat-sendat juga dibahas, dan disepakati bahwa Finas (Malaysia) dan Perfin ditugasi bekerja sama untuk mengkaji kembali masalahnya. Hasil tahap lanjut akan ditinjau kembali sesudah Idulfitri. Di ambang bulan Ramadhan ini agaknya itulah hasil maksimal yang sementara bisa dicapai. Pihak Indonesia, seperti yang diungkapkan Haryono, bukan tidak memahami tuntutan Malaysia. Ketua Staf Ahli Perfin ini menjelaskan, yang menjadi sasaran Malaysia ialah kesempatan memperkenalkan film mereka di sini. "Ada atau tidak ada yang menyaksikan, mereka sudah senang kalau filmnya diputar," ujar Haryono. Konon, mereka tidak mengharapkan keuntungan sama sekali. Berbeda dengan film Indonesia. Untuk tiap judul film, kita memperoleh royalti US$ 20.000--30.000. Walaupun film Mandarin merajai bioskop di negeri itu, dengan porsi 60%, toh film Indonesia masih dapat tempat. Haryono malah bisa memastikan, film dari Jakarta sudah menjadi film nasional di Tanah Semenanjung. Bahwa film Malaysia kalah bersaing di negerinya sendiri, menurut Tien Samatha, haruslah diterima dengan lapang dada. Begitu pula pendapat Jins Shamsuddin. "Kalau film Indonesia lebih baik, kita tidak perlu dengki," ujarnya. Ini sikap positif yang perlu dipujikan. Dengan rata-rata produksi 10 judul per tahun, film Malaysia yang pernah jaya semasa P. Ramlee dulu--sekarang harus beringsut kembali dari bawah. Mereka bukan saja mesti bersaing dengan ratusan film impor, tapi juga harus bisa membayar pajak tontonan yang tinggi (25%). Kini porsi edar film Indonesia di Malaysia 5%, film tuan rumah cuma 1%. Apakah film Indonesia bisa dianggap sebagai ancaman? "Istilah itu terlalu berat," kata Mohd. Syarif Ahmad, direktur riset Finas. "Tapi kalau mengganggu ya ada juga." Dia benar. Dibandingkan film Mandarin dengan marketshare 60% dan film berbahasa Inggris 25%, film Indonesia tidaklah perlu ditakuti. Apalagi dilarang beredar, seperti yang diusulkan Pakar. Isma Sawitri Laporan Rudi Novrianto (Jakarta) & Ekram Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini