Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bank keluarga

25 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINGGU lalu TEMPO terbit dengan Pariwara tentang perbankan. Pada saat yang sama majalah Fortne terbit dengan sebuah artikel yang dikarang oleh Edward R. Telling, presiden Sears Roebuck & Co., berjudul The Case for Family Banks. Ternyata, di Amerika Serikat pun, masa depan sistem perbankan yang kini berlaku masih dipertanyakan. Tahun lalu di Amerika Serikat telah terjadi kebangkrutan yang menimpa 79 bank - angka tertinggi sejak Depresi Besar tahun 1930-an. Kasus-kasus yang terjadi tahun lalu itu tentu saja telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Kini, 922 bank terdaftar di pemerintah AS sebagai bank yang punya "masalah". Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah biro akuntan mengemukakan bahwa sepertiga dari institusi perbankan Amerika akan lenyap pada akhir abad ini. Seperti juga terjadi di Indonesia, kejadian seperti itu selalu membuat orang lalu berpikir ulang: Mungkinkah deregulasi yang salah? Lalu, perlukah menerapkan kembali kendali sentral terhadap kehidupan perbankan? Edward Teliing menulis, masalah yang dihadapi bank pada, masa klni bukanlah karena adanya aktivitas baru lembaga keuangan ini, tetapi karena ketidakmampuan bank mengejar kebutuhan konsumen yang senantiasa meningkat. Juga, tentu saja, ketidakmampuan bank mengelola lingkup usaha yang sedemikian besar. Karena itu, menurut Telling, kebangkitan kembali sistem perbankan yang sehat hanya bisa dimungkinkan oleh adanya gagasan baru, modal baru, dan kepedulian baru terhadap konsumen. "Itu tidak bisa dilakukan hanya dengan merombak yang telah ada, tetapi harus betul-betul memasukkan unsur yang baru ke dalam tubuhnya," tulis Telling. Telling memang punya gagasan baru. Sudah lama perusahaannya - juga beberapa perusahaan besar lain yang telah berdiversifikasi - ingin melakukan layanan bank yang bukan-bank untuk para konsumennya. Bank itu disebutnya bank konsumen, atau bank keluarga. Aneh, asas kekeluargaan rupanya bergaung juga di sana. Bank keluarga ini mirip dengan bank komersial lainnya, yaitu menerima deposito. Bedanya adalah bahwa bank keluarga hanya memberikan pinjaman kepada konsumen bukan pinjaman komersial kepada lembaga bisnis. Telling juga tidak lupa menyebutkan bahwa sebenarnya hampir separuh dari bank-bank yang ada di Amerika sudah berbentuk bank keluarga karena portepel kredit komersialnya tidak lebih dari 10%. Di Indonesia mungkin gagasannya itu jadi mirip dengan koperasi simpan pinjam. Tetapi, mungkin karena di sana tak ada Pancasila, konsep seperti ini memang baru sampai pada tahap konsep. Pemerintah belum memberi izin kepada pengusaha untukmembuka usaha bank keluarga ini. Salah satu kekhawatiran yang dikemukakan adalah bahwa pengusaha itu nanti akan memakai uang deposito dari konsumen untuk membiayai usahanya yang lain. Atau, bila bisnisnya yang lain itu menjadi goyah, maka nasabah diharuskan membeli barang atau jasa dari bisnisnya agar dapat stabil kembali. Telling sendiri menganggap bahwa kekhawatiran seperti itu tidak punya landasan. "Saya tidak menyarankan keadaan lepas kendali," tulisnya, "karena toh bisa dibuat berbagai ketentuan untuk menjamin keamanan deposito para konsumen itu." Ketentuan yang disarankannya itu adalah bahwa bank keluarga sama sekali dilarang memberikan kredit yang bersifat komersial. Pemberian kredit hanya dibatasi untuk keperluan pribadi atau keluarga, peternakan milik sendiri, perkebunan milik sendiri, atau bisnis kecil-kecilan milik sendiri. Singkatnya, bank keluarga ini hanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan keluarga agar setidak-tidaknya mencapai lapisan menengah. Sesuai dengan jenis usaha bank keluarga,maka bank ini tidak perlu menentukan jumlah minimum checking account yang harus tersedia dalam rekening korannya. Bank keluarga juga perlu memperhitungkan bunga atas setiap jumlah yang tersimpan dalam rekening koran seseorang setiap hari. Konsep yang menarik, terutama bagi masyarakat bawah dan menengah. Kita di Indonesia memang telah mengenal berbagai fasilitas kredit, seperti KIK/KMKP dan kredit profesi. Tetapi masih banyak lagi kebutuhan masyarakat akan kredit yang belum tercakup dalam scheme kredit yang ditawarkan oleh perbankan bagi jenis konsumen seperti ini. Seperti dikatakan oleh Robby Djohan, direktur utama Bank Niaga, perbankan perlu berpartisipasi dalam menumbuhkan golongan menengah yang kuat di Indonesia. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus