KULI Oleh. M.H. Szekely-Lulofs Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1985, 115 halaman KEBANYAKAN roman Hindia Belanda mengisahkan kehidupan orang-orang Belanda atau orang-orang Indo. Dapat disimpulkan, alasan utama dalam penulisan roman adalah menyampaikan kepada pembaca di Negeri Belanda pengalaman khas yang dijumpai penulis pada masa penjajahan itu. Yang khas, artinya yang aneh dan mencolok mata bagi mereka yang dibesarkan di tengah peradaban Belanda di Eropa. Dalam menggubah pengalaman ke bentuk cerita rekaan cenderung dikedepankan lingkungan dan situasi yang menarik perhatian itu, khususnya alam tropis yang dapat memesonakan karena kehebatannya, tapi juga dapat menjengkelkan karena melemahkan semangat hidup. Di tengah iklim yang menekan itu, digambarkan kehidupan kolonial Hindia Belanda dengan tingkah laku dan perbuatan khas zaman itu, yang bertalian erat dengan kebiasaan dan peri laku umum yang teradatkan. Dengan melihat kecenderungan kuat pada pelukisan cara hidup masyarakat itu, maka sebagian besar roman Hindia Belanda dapat digolongkan pada jenis novels of manners -- roman adat istiadat. Ada sekelompok kecil roman Hindia Belanda yang memusatkan perhatiannya kepada kehidupan orang Indonesia dan memberikan peranan utama kepada tokoh-tokoh pribumi. Yang terkenal di antaranya adalah Kli karangan M.H. Szekely-Lulofs, yang pertama kali terbit pada 1931. Menurut tendens dan suasananya, roman-roman ini tidak banyak bedanya dengan cerita-cerita pendek yang dtulis pada pertengahan abad kesembilan belas mengenai tokoh-tokoh Indonesia di dalam lingkungan hidupnya di desa. Contoh paling menonjol adalah kisah Saijah dan Adinda yang terangkum dalam roman besar Multatuli, Max Havlaar. Rupanya, di lingkungan masyarakat desa itu tokoh-tokoh Indonesia memperoleh gambaran pribadi yang lebih utuh sebagai manusia. Berbeda dengan cerita-cerita yang memusatkan perhatiannya kepada orang-orang Belanda atau Indo, di sini tokoh-tokoh Indonesia tidak tenggelam dalam acuan karikatur dari warga kelas rendahan yang hanya patut berperan sebagai jongos, sopir, dukun pilat, atau nyai. Kuli memalingkan perhatiannya kepada dunia kuli perkebunan di Deli. Dalam kisahnya kita dihadapkan dengan nasib buruk rakyat, yang dengan jalan muslihat telah dikerahkan oleh centeng-centeng di desa dan dipaksa bekerja, yang pada masa itu dikenal dengan istilah kena "werek Deli". Dalam roman ini dapat kita ikuti perlakuan kejam tuan-tuan besar Belanda dan mandor-mandor pribumi terhadap kuli-kuli pendatang yang harus membuka hutan dan rawa untuk dijadikan perkebunan karet. Gambaran palsu tentang tanah baru tempat bekerja telah mencabut Ruki dan teman-temannya dari kampungnya yang damai dan tenang di Jawa. Sejak hari pertama menginjak daerah di seberang itu mereka merasakan penderitaan hidup sebagai kuli kontrak. Saat yang menghibur tinggal bergaul dengan perempuan nakal dan main judi. Kenangan indah tentang kampung halaman mereka memang tetap mengimbau dan menimbulkan rindu. Tetapi setiap kali masa kontrak habis, mereka terpikat lagi oleh bujukan mandor-mandor untuk melanjutkan bekerja atau biaya pulang ke Jawa telah dihabiskan sendiri di papan judi. Ruki pada akhir roman ini membatalkan niatnya untuk kembali ke desanya dan lagi-lagi meneken kontrak setelah kalah berjudi. Seperti kuli-kuli lain yang telah menjadi tua, ia akanmenghabiskan masa hidupnya di perkebunan itu, yang pernah menjanjikan dia emas dan perempuan. Ia telah 28 tahun lebih menjadi kuli. Di balik kisah penderitaan kuli perkebunan yang diperlakukan tidak lebih dari budak belian itu, terbayang karangan Harriet Beecher Stowe, Pondok Paman Tom, yang oleh Multatuli diakui telah memberi ilham pada penulisan Max Havelaar. M.H. Szekely-Lulofs rupanya juga meminta perhatian pembaca pada nasib rakyat di perkebunan, rakyat berkulit berwarna dari peradaban lain daripada yang menjadi landasan hidup penulisnya sendiri. Berhasilkah Szekely-Lulofs menggugah rasa kemanusiaan pembaca menghadapi kesewenang-wenangan yang menimpa budak-budak bangsa terjajah itu? Penderitaan bertahun-tahun kuli-kuli kontrak itu telah teringkas dalam bentuk roman, yang dalam terjemahan panjangnya 115 halaman. Kisahnya terlalu singkat untuk menggambarkan sepenuhnya penderitaan yang hampir tidak ada jalan ke luar itu. Selesai membaca roman itu, timbul pertanyaan: Itukah saja pengalaman sedih yang menimpa kuli-kuli tersebut? Sekalipun beban hidup dan pedih siksa kerja di bawah kekerasan tindakan alat-alat kolonial, rupanya pengalaman yang menindas itu terlalu merata dan monoton, sedangkan kejadian-kejadian yang menonjol hanya akan berulang-ulang saja seperti daur hidup yang tidak berujung berpangkal. Paksaan meneken kontrak, sakit badan dalam membuka hutan belantara dan menyadap karet, perlawanan yang gagal, pencarian kenikmatan pada perempuan dan judi rupanya monotoni kehidupan itu tidak memungkinkan pengarang merentangkan ceritanya. Atau mungkin juga pengarang tidak sanggup mengajuk lebih menghunjam ke dalam nasib orang. Akibatnya, tidak keluar dari roman itu sosok manusia yang menderita. Alasan terakhir itu yang menyebabkan Kuli tidak berkembang menjadi roman yang besar. Memang, Szekely-Lulofs telah menunjukkan pengenalannya yang dekat dengan cara dan pandangan hidup rakyat Indonesia yang sederhana. Ia pun sanggup memahami sikap mereka yang mudah menyerahkan diri kepada nasib. Tetapi pengamatan peri laku rakyat demikian hanya sanggup mengemukakan adat istiadat khas di dalam masyarakat kolonial seperti kita jumpai di dalam kebanyakan roman Hindia Belanda. Penandaan peri laku demikian itu tidak cukup untuk mengungkapkan secara meyakinkan penderitaan lahir batm yang ditanggung manusia yang menjadi "kuli". Subagio Sastrowardoyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini