Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kaya alami di karaengta

Hutan suaka di karaengta, sulawesi selatan, dinilai terbaik di dunia oleh unesco/pbb. memancing banyak peneliti dari luar negeri. flora & faunanya sangat menarik. banyak satwa aneh. penjaga tanpa subsidi.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUTAN di Karaengta menyimpan sekitar 195 ragam tanaman. Diberi predikat terbaik di dunia oleh Unesco/PBB, hutan suaka di Sulawesi Selatan itu, mungkin, satu-satunya yang bersaingan dengan hutan yang ada di RRC. Hutan sekunder yang seribu hektar di dekat Ujungpandang ini kemudian memancing banyak peneliti. Misalnya dari Prancis, Amerika Serikat, dan Jepang. Sedangkan peneliti domestik yang ke sana, di antaranya, dari Universitas Indonesia dan Universitas Hasanuddin. Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) disana sering jadi rekanan dalam penyelidikan ilmiah itU. Karaengta memendam kekhasan alam Sulawesi yang belum ketemu duanya di dunia. Ini menurut kepala balai itu, Sutarto Kadilla, 44 tahun. Bahkan Lembaga Penelitian Hutan Bogor, yang sudah mengindentifikasi floranya, konon belum mampu mencatat seluruh kekayaan itu. Ada beberapa tanaman malah tak diketahui nama ilmiahnya. Misalnya jenis bambu yang antar-ruasnya menylmpan air Jernih. Di sana disebut Bambu Senang. Dinamai begitu karena setelah pencari kayu yang biasa minum airnya itu lalu merasa senang. Nama pohon yang sudah diketahui, misalnya Atoang atau Loribunda, Amara (Diespryses Celebica), Bangkala atau Maucles Orientalis. Selain flora, faunanya juga menarik. Di hutan ini hidup ratusan jenis kupu-kupu dan tentu saja banyak kolektor serangga yang memburunya. Ada pula binatang langka lain: monyet putih. Menurut Sutarto, peneliti dari AS pernah mengatakan, monyet yang ada di Sulawesi Selatan itu unik. Sebab, dalam satu pulau hidup 7 jenis monyet padahal familinya itu sama: Macaca. Anehnya lagi, di satu lokasi seperti di Maroangin, Kabupaten Engrekang, sekaligus hidup dua jenis monyet. Yaitu, Macaca maura dan Macaca tangkeana. Macaca suka berkoloni. Lazimnya sekitar 10 ekor. Biasanya, si jantan yang berbulu keputih-putihan ltu iadl ketuanya. Ini beda dengan kebanyakan kawanannya yang berbulu hitam. Monyet yang jadi ketua itu, karena umurnya tua, bulunya tentu memutih. Menurut Sutarto, monyet putih itu kini 5 sampai 8 ekor, dari 280 ekor populasi di Karaengta. Satu lagi yang termasuk aneh. Di cagar alam ini ada burung yang selalu mengikuti Macaca. Penduduk menyebutnya burung kera. Si burung bertubuh kecil, ekornya panjang, berbulu cokelat. Biasanya, satu-dua dari mereka senang bertengger dekat kera. Di sana selain terdapat beberapa perdu atau semak, juga ada jenis burung yang bernama Rangkong, khas Sulawesi. Sedangkan gua Salukan Kalang merupakan kekayaan yang paling indah, tetapi terpendam di Karaengta. Ini menurut seorang penehtl dan Prancis. Di dalam gua yang panjangnya 18 km itu ada sungai yang cukup dalam. Selain airnya jernih, ada pula air terjunnya. Di dasar sungai, dalam laporan peneliti itu, terdapat bebatuan mengkilap seperti permata. "Kalau sungai tersebut dangkal, mungkin batu-batu itu habis diambil orang untuk diolah jadi permata," begitu komentar Sutarto. Syahdan, adalah seorang pertapa. Dia memanfaatkan gua berhawa sejuk dan suasananya yang alami menakjubkan itu - di antara 40 gua yang ada di sana. Lalu masyarakat di seputar Karaengta yang tahu ada pertapa dl sana bahkan mengunjunginya mencari tuah padanya. Mula-mula ada yang minta disembuhkan penyakitnya. Lama-lama banyak pula yang datang minta berkah, kekayaan, dan jodoh. Eh, makbul. Maklum, karena yang sakit memang berobat, sedangkan yang minta kaya justru bekerja. Orang sakti yang tak ketahuan namanya itu lalu dipertuan dan diberi gelar Karaengta. Mungkin ini dari bahasa Makassar: karaeng adalah gelar untuk bangsawan atau raja, dan ta bermakna "kepunyaan bersama". Sahibul hikayat menyebutkan: Pertapa Karaengta lalu raib entah ke mana. Tapi nama julukannya terlekat pada hutan cagar alam yang mungkin terlengkap di dunia ini - hingga sekarang makin terkenal disebut. Bahkan, menurut riwayat, ketika masih di zaman prasejarah, wujud Karaengta itu lautan. Malah, percaya atau tidak, muasal Karaengta adalah selat yang kemudian membelah dua pulau yang dulu bernama Selebes itu. Dan barisan bukitnya yang kini indah, kata Sutarto, dulu terdiri atas batu dan karang laut. Berlokasi 264-302 meter di atas permukaan laut, kini hutan cagar alam nan elok ini selain semarak - agaknya terjamin dari siklus lingkungannya masing-masing. Dan itu tentu tak membuat pusing kepala yang 4 petugas saja menjaganya. Mereka juga memberi penerangan kepada masyarakat stempat tentang pentingnya hutan itu dilestarikan. Apalagi Karaengta sekarang untuk wisata. Namun, jika boleh disebut "keajaiban" lain di Karaengta: mereka itu tak dilimpahi subsidi dari pemerintah. Kecuali, kata Sutarto, "Pada tahun anggaran 1978/1979 mendapat Rp 900 000,00." Lalu uang itu dimanfaatkan membangun pondok tempat bekerja, 24 km dari Maros. Suhardjo Hs. (Jakarta), Sjahrir Makkurade, Erwin Patandjengi (Ujungpandang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus