Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Runtuhnya sebuah imperium

Pengarang : onghokham jakarta : gramedia, 1987 resensi oleh : taufik abdullah.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA Oleh: Onghokham Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1987 287 halaman PADA tanggal 27 Februari pukul 23.30, de Ruyter tenggelam dan Laksamana Karel Doorman tewas. Perang Laut Jawa yang hebat telah berakhir. Kapal-kapal Sekutu mulai menyingkir ke arah Australia. Sedangkan Panglima Angkatan Laut Hindia Belanda mendapat perintah untuk segera menyingkir ke Colombo, guna mendirikan markas baru. Ketika ia minta diri, Gubernur Jenderal Tjardra van Starkeborgh-Stachouwer hanya mengatakan, "Saat ini memang menyedihkan. Saya tinggal, semoga Anda berhasil." Maka, semboyan Ter Poorten "lebih baik mati daripada menyerah" pun tak henti-hentinya dikumandangkan. Tetapi semua sia-sia. Betapapun para pembesar Hindia Belanda memperlihatkan sikap yang tegar dan penuh harga diri penyerahan tak bersyarat pun harus ditandatangani di Kalijati. Pukul 07.45 pagi hari Senin tanggal 8 Maret 1942, tidak seperti biasanya, radio Nirom menutup acaranya. "Selamat tingal. Sampai hari yang lebih baik. Lang leve de Koningin." Hindia Belanda telah berakhir. Kejatuhan Hindia Belanda adalah kisah dari hancurnya berbagai mitos kolonial dan sekaligus merupakan pembenaran dari mitos tantangan (tentang Jayabaya). Dalam suasana ini dapat dibayangkan kekalutan yang terladi, tak hanya keamanan umum, tetapi lebih lagi suasana hati. Sebenarnya, pengetahuan tentang peristiwa kedatangan tentara Jepang tak terlalu asing, bahkan kisah-kisah anekdotal dari peristiwa ini cukup dikenal. Dan Onghokham, penulis buku ini, memang tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mencetuskan kenangannya tentang suasana "kejatuhan" yang melanda golongan elite kolonial di kota kelahirannya. Tetapi ini memang tak lebih dari sekadar suatu lintasan kenangan Onghokham sesungguhnya berusaha untuk mendakn rekonstruksi dari suatu peristiwa sejarah tentang berakhirnya suatu mpertum dan, sebagaimana proses sejarah kemudian memperlihatkannya, bermulanya suatu revolusi. Dalam usaha ini, Onghokham lebih dulu memperlihatkan peralihan corak hubungan politik dan ekonomi antara Jepang dan Hindia Belanda, yang bermula sebagai "kawan", kemudian sebaai musuh. Peningkatan sikap bermusuhan Jepang itu terutama diwujudkan dalam tuntutan-tuntutan konsesi ekonomi yang monopolistik. Ketika menghadapi "cobaan" yang datang dari luar ini, bagaimanakah situasi internal negara kolonial ini? Maka, Ong pun berkisah tentang berbagai aspek sosial-politik dari suatu "negara pejabat", yang bernama Hindia Belanda itu. Dalam suasana "negara pejabat" ini hubungan pemerintah dengan golongan pergerakan kebangsaan makin memburuk, meskipun tokoh-tokoh terkemuka pergerakan menunjukkan simpati mereka terhadap nasib Negeri Belanda, yang telah diduduki NaziTerman, dan antipati terhadap militerisme Jepang. Masalahnya, pemerintah menolak semua konsesi politik yang diperjuangkan golongan pergerakan. Akhirnya, terjadilah apa yang harus terjadi -- Hindia , Belanda ambruk dan para pemimpin pergerakan segera mencari kemungkinan baru bagi masa depan tanah air. Onghokham tidaklah sekadar mengisahkan peristiwa yang telah banyak ditulis ini. Ia berusaha melukiskan situasi sosial-psikologis dari periode yang menggetarkan ini. Dalam hal inilah ia memperlihatkan erudisinya yang luas dan kepekaannya yang tajam. Ia seakan-akan "bercanda" dengan ironi sejarah yang di-"reka"nya. Bahkan boleh dikatakan Onghokham sebenarnya hanya ingin berkisah tentang zaman lampau yang diketahuinya, bukan berilmiah-ilmiah. Namun, seandainya kita kurang yakin akan kisahnya, ia pun telah siap dengan segala pertanggungjawaban ilmiah. Karena Ong "hanya" berkisah, memang tak perlu diminta darinya keutuhan sistematika. Bukankah sistemasika menuntut ketertiban, yang jangan-jangan bisa mengurangi kenikmatan kisah? Mereka yang mementingkan ketertiban dan kelenturan bahasa mungkin merasa gaya bahasa yang dipakai Ong agak mengganggu. Soalnya, Ong enak saja mengatakan "Inggris kepada siapa Helfrich" atau sejenisnya. Gangguan akan makin terasa jika Onghokham, yang menguasai bahasa Belanda dengan sangat baik, mencoba menerjemahkan kutipan bahasa Belanda ke bahasa Indonesia seakan-akan ia hanya merangkai kata-kata yang didapatkan dari kamus. Buku ini berasal dari skripsi sarjana Onghokham (1968) tanpa perbaikan. Alangkah baiknya kalau sekiranya Ong sempat memperbaikinya, setidaknya mengoreksi huruf-huruf yang telah kabur. Akibatnya, sebagian besar kata asing yang memakai "n" atau "u" dipakai secara terbalik. Atau "aliansi" ditulis "alienasi" dan sebagainya. Tetapi sudahlah, buku ini bukan saja memperlihatkan ketinggian mutu skripsi Ong (apalagi jika dibanding dengan skripsi sarjana, bahkan pascasarjana sekarang), tetapi juga memperlihatkan bagaimana bentuk hasil dari suatu penelitian yang dikerjakan dengan teliti dan penuh kecintaan, serta didukung oleh pengetahuan latar belakang yang memadai. Hanya sayang, buku yang telah dilengkapi indeks ini tak melampirkan daftar bibliografi. Pokoknya, meskipun kadang-kadang buku ini agak kurang "enak dibaca", tetapi "perlu" bagi para peminat sejarah dan politik, dan mahasiswa semua jurusan. Taufik Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus