MUSLIM SOCIETY HIGHER EDUCATION AND DEVELOPMENT IN SOUTHEAST ASIA. Editor: Sharon Ahmat & Sharon Siddque Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 1987, 219 halaman. LEMBAGA Studi Asia Tenggara (Institute of Southeast Asian Studies = ISAS), Singapura dalam tahun 1980-an ini menyoroti masyarakat Muslim di Asia Tenggara melalui 3 bukunya: Readings on Islam ini Southeast Asia, Islam and Society in Southeast Asia dan Muslim Society, Higher Education and Development in Southeast Asia. Ketia buku itu merupakan refleksi adanya perluasan perhatian lembaga tersebut dalam bidang penelitian kemasyarakatan yang semula terbatas pada tema-tema kesukuan, urbanisasi, dan kependudukan ke tema agama. Proyek studi Islam ini akan dilanjutkan dengan studi masyarakat Budha dan Kristen di Asia Tenggara. Buku Masyarakat Muslim, Pendidikan Tinggi dan Pembangunan di Asia Tenggara berisi tujuh kumpulan makalah yang disajikan oleh sepuluk sarjana dalam seminar yang diselenggarakan oleh ISAS di Singapura pada tahun 1985. Seminar ini berusaha memahami kondisi masyarakat Muslim di Asia Tenggara, terutama dari sudut partisipasinya dalam pendidikan tinggi dan pembangunan ekonomi. Masyarakat Muslim di Asia Tenggara, menurut penyelenggara seminar, pada umumnya secara relatif "ketinggalan" dibandingkan dengan masyarakat non-Muslim dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Adakah prospek positif buat mereka di masa mendatang? Jawaban atas pertanyaan itu oleh peserta seminar hendak diperoleh dengan menganalisa sejauh mana masyarakat Muslim tersebut memperoleh porsi yang cuup dalam pendidikan tinggi. Logikanya: kemakmuran dan kemajuan ekonomi suatu kelompok masyarakat harus diukur dengan kecanggihan teknologi yang dimilikinya, yang hanya dapat diraih melalui pendidikan tingkat tinggi. Tampaknya, ada kesepakatan di antara kesepuluh penulis makalah bahwa masyarakat Muslim di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Muangthai telah berusaha berpartisipasi dalam pendidikan tinggi sejak tahun 1950-an. Ada yang dapat melaju dengan cepat seperti di Malaysia, baik kuantitas maupun kualitas, berkat kelihaian serta kemauannya yang keras untuk bersaing dengan kelompok non-Muslim yang telah menguasai sumber-sumber ekonomi dan kesempatan pendidikan sejak ratusan tahun sebelumnya. Statistik tahun 1983 yang disodorkan oleh penulis makalah menunjukkan bahwa mahasiswa kelompok Melayu di universitas-universitas Malaysia hampir mencapai 64% berbanding dengan makasiswa Cina sebesar 27,8%. Padahal, pada tahun 1970 perbandingannya masih lebih besar mahasiswa Cina, yaitu 40,2%:48,9%. Memang perbandingan antara mahasiswa Melayu dan Cina di luar negeri masih 22,2%:60%, tetapi perbandingan itu pada tahun 1987 telah jauh berbalik. Hal itu saya temukan sewaktu saya berkunjung ke AS tahun lalu - jumlah mahasiswa Melayu dari Malaysia telah mencapai sekitar 40.000 orang sementara mahasiswa Cina dari negeri itu masih sekitar 25.000 orang. Masyarakat Muslim di Indonesia, menurut dua penulis makalah dari Indonesia, Amien Rais dan Yahya Muhaimin, juga telah mencapai kemajuan yang pesat dalam bidang pendidikan tinggi. Tercatat 75,2% mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada tahun 1983, misalnya, beragama Islam. Sayang, dalam makalah tersebut tidak disebut bahwa pendidikan tinggi di Indonesia masih terbatas pada tingkat undergraduates (S1), yang kemampuan mengembangkan studi pascasarjananya (52, 53) masih sangat lemah. Memang disebutkan bahwa kemajuan yang dicapai tersebut baru bersifat kuantitatif dengan berbagai kelemahan sistem serta kelemahan bahasa Inggris, baik staf pengajarnya maupun mahasiswa. Akibatnya, kemampuan mereka untuk mengikuti perkembangan pengetahuan di luar negeri sangat lemah, aik melalui bacaan maupun untuk memasuki studi pascasariana di luar negeri. Kelompok Melayu Muslim di Singapura, sebagaimana ditulis oleh Sharon Siddique dan Yang Razali Kassim, menghadapi perjuangan yang sangat berat untuk dapat memperoleh porsi yang cukup dalam bidang pendidikan tinggi dan bagian hasil kemajuan ekonomi Singapura. Taraf ekonominya yang sangat rendah menyebabkan tingkat pendidikan mayoritas mereka terbatas pada lulusan SD. Masyarakat Melayu Muslim di Singapura merupakan 14,5% dari seluruh penduduk, tapi jumlah mahasiswa Melayu Muslim pada tahun 1983 baru sekitar 31/2%. Memang persentase ini sudah naik tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun 1970, suatu kemajuan yang cukup pesat. Mereka telah mengembangkan dan menghimpun dana-dana untuk membantu biaya pendidikan bagi anak-anak Melayu yang membutuhkannya. Nasib masyarakat Muslim di Filipina dan Muangthai di bidang pendidikan dan ekonomi jauh lebih menyedihkan. Mereka bukan hanya tidak mampu bersaing dengan kelompok-kelompok lain sebangsanya, tetapi juga terisolasi dari pusat-pusat kemajuan. Bukan hanya secara fisik geografis, tetapi juga dari budaya kelompok yang berkuasa. Memang pemerintah kedua negara tersebut telah melakukan usaha-usaha meningkatkan taraf ekonomi dan pendidikan masyarakat Muslim sebagai bagian dari upaya meningkatkan integrasi bangsa, tapi usaha-usaha tersebut tak cukup memadai sesuau dengan magnitude persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Muslim tersebut. Sebagai suatu studi taraf awal, saya kira buku ini berhasil menarik simpati pembacanya terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan masyarakat Muslim di berbagai negara di Asia Tenggara. Tak semua makalah ditulis dengan persiapan dan uraian yang cukup, memang, terutama masyarakat Muslim Indonesia yang jumlahnya hampir mencapai 150 juta. Dalam buku ini, meskipun disajikan oleh dua orang penulis, makalah tersebut hanya memperoleh porsi 33 halaman, atau sepertujuh dari seluruh isi buku. Zamakhsyari Dhofler
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini