Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kaya flora tapi miskin dana

Konperensi internasional kebun raya menghasilkan kerja sama riset dan keuangan antara kebun raya indonesia dan pelbagai pihak. tentang keanekaan hayati, dari sekarang kita harus waspada.

1 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONPERENSI internasional itu berlangsung selama empat hari sepanjang pekan lalu, dan ditutup Kamis silam. Diadakan untuk memperingati ulang tahun KebunRaya Bogor yang ke-175, konperensi ini dibuka oleh Presiden Soeharto, diikuti oleh 200 peserta, sebagian adalah pakar dari berbagai negara. Menurut Kepala Badan Pengembangan Kebun Raya Indonesia, Suhirman, topiknya tidak banyak yang baru. Contohnya, manajemen kebun raya. Sepintas, konperensiini lebih berperan sebagai ajang lobi untuk kerja sama. Dan dalam hal ini, Suhirman merasa acara ini berhasil. Menurut Suhirman, ahli-ahli dari Kebun RayaKew, Inggris, akan bekerja sama dengan para ahli Indonesia, untuk ekspedisi flora ke Irian Jaya, September depan. Juga ada tawaran kerja sama dari KebunRaya New York. Kerja sama lain adalah dalam pendidikan dan pembiayaan. Masalah biaya sejak dulu selalu mengganjal penelitian di empat kebun raya yang ada di Indonesia (Bogor, Cibodas, Purwodadi, Bedugul). Dana hampir takada. Ambil contoh Kebun Raya Bogor. Sampai usia ke-175, kebun ini belum mampu melakukan penelitian secara rutin. Memang ada suntikan dana dari Pemerintahsenilai lebih dari Rp 150 juta, tapi ini harus dibagi dua dengan Kebun Raya Cibodas. Padahal, untuk eksplorasi dan penelitian, Kebun Raya Bogor butuh Rp600-800 juta. Dengan keterbatasan itu, fungsi kebun raya untuk konservasi dan penelitian hampir tak terlaksana. Akhirnya, kebun raya lebih dikenal sebagai tempatrekreasi. Hambatan itu juga yang akan diterobos oleh Suhirman, sejak ia menjabat tiga tahun lalu. Karena swadaya dari penjualan karcis tak bisa diharapkan, ia menjalin kerja sama dengan pelbagai pihak. Bahkan dengan Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI), pihak yang agak bertentangan tujuan dengan mereka, karena anggota-anggotanya berpotensi melenyapkan sumber daya flora Indonesia. Agak menggembirakan bahwa dari MPI, didapat sumbangan Rp 1 milyar lalu disimpan dalam deposito. Bunga deposito ini antara lain dipakai oleh Ekspedisi Flora Nusantara untuk mengoleksi flora hidup Indonesia (lihat EkspedisiFlora). Kini, ada tawaran bantuan dari Mc Carter Foundation (Inggris) untuk ekspedisi ke Irian Jaya. Juga, Botanic Garden Conservation International akan mengucurkan dana, yang digunakan untuk ekspedisi flora internasional keSumatera, tahun depan. Walau bantuan itu amat menolong, kita tetap perlu waspada agar sumber flora Indonesia tak melayang ke luar negeri. Menurut Suhirman, selama ini ia tidaksembarangan memilih negara untuk bekerja sama. "Ini seperti memilih teman, harus yang terpercaya," katanya. Selama ini, Indonesia hanya bekerja sama untuk menyimpan duplikat koleksi kebun raya dengan Kebun Raya Kew (Inggris) dan Leiden (Belanda). Dengan registrasi yang baik, duplikat di sana adalah cadangan bila sumbernya di Indonesia sudah tak ada. Kekayaan tanaman Indonesia menurut Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan konperensi mencapai 25.000 jenis (10% dari kekayaan dunia) memang membikin peneliti asing ngiler. Hanya Brasil yang bisa mengalahkan kekayaan flora Indonesia. "Inggris, misalnya, hanya memiliki 1.500 jenis flora asli, dan Belanda hanya mempunyai 8 jenis anggrek," kata staf peneliti utama Puslitbang Biologi, Mien A. Rivai. Sedangkan Indonesia mempunyai 5.000 jenis anggrek dan masih ditemukan 300 anggrek jenis baru. Tak mengherankan bila banyak ahli asing melakukan penelitian di sini. Mereka tahu banyak hal tentang kekayaan flora kita. Adalah John Dransfield dari KebunRaya Kew yang memaparkan bahwa tanaman palem di Indonesia mencapai 500 jenis (dari 2.700 jenis di dunia) dan 80-90% kekayaan rotan dunia ada di Nusantaratercinta. Mereka jugalah yang tahu bahwa 300 jenis tanaman endemik terancam eksistensinya di Jawa. Harus diakui, banyak informasi penting yang kita dapat dari mereka. Tapi, seperti juga negaranegara berkembang yang lain, Indonesia tak dapat pasif terus-menerus. Setidaknya, keanekaan hayati kita, selain harus didata, juga harus dilindungi. Kekayaan flora Indonesia merupakan sumber penelitian ilmiah, terutama untuk keperluan farmasi. Penelitian itu, kelak, bisa menghasilkan laba yang luar biasa besarnya. Agar tidak sampai teperdaya, berbagai jenis tanaman milik kita harus dilindungi, agar tak jatuh ke tangan badan-badan paten milik negara maju. Amerika, misalnya, sudah membuat paten dari tomat liar asal Peru, yang menyumbang US$ 8 juta pada perolehan devisanya. Dan AS tidak membagi sepeserpun pada negara asal tanaman, yakni Peru. Isu semacam ini juga yang diangkat dalam KTT Bumi awal Juni lalu di Rio de Janeiro. Seperti yang banyak diberitakan, kendati sangat dipojokkan, Amerika tetap saja menolak untuk menandatangani Konvensi Keanekaragaman Hayati. Tak berlebihan kiranya bila Indonesia jauhjauh hari bersikap waspada, terutama menghadapi prakarsa dari luar Amerika dan Jepang yang ingin membangun Pusat Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Gagasan itu dilontarkan pekan lalu dan implementasinya konon sudah mulai dijajaki. Diah Purnomowati dan Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus