EKSPERIMEN yang dilakukannya sederhana, tapi Marzuki seorang pengusaha udang di Lampung telah membuktikan bahwa ia mampu melakukan apa yang tidak bisa dilakukan para ahli. Marzuki berhasil membesarkan satu jenis udang sering disebut udang karang yang secara alami tidak pernah bisa besar. Binatang ini kebanyakan mati di usia dini, ketika masih kecil. Yang menarik, jika udang karang sempat tumbuh besar, ia "dibaptis" dengan nama baru, yakni lobster. Nama ini terkenal di seantero jagat, bahkan bergengsi. Serentak dengan itu, harganya pun mahal. Namun, siapa pun tahu, tak mudah menernakkan lobster. Membesarkannya pun hanya sedikit yang tahu. Di sinilah mencuat kelebihan Marzuki. Sukses ini telah mengubah pola hidup Marzuki. Kini ia acap kali menerima tamu yang tidak dikenalnya secara pribadi, terutama pejabat dari Ditjen Perikanan dan Balai Budidaya Ikan Air Payau. Mereka datang karena ingin tahu resep Marzuki dalam membesarkan lobster. Seiring dengan lonjakan popularitasnya, Marzuki banyak meraih untung. Modal pertamanya sekadar cukup membeli udang karang kecil seharga Rp 12 ribu per kg. Tapi, setelah besar, harganya melonjak menjadi Rp 38.000 sampai Rp 52.000 per kilo. Namun, Marzuki memerlukan waktu. "Memang, membesarkan spiny lobster atau rock lobster tak mudah, karena hewan itu beberapa kali berganti kulit dan selama waktu tersebut tubuhnya lemah dan mudah diserang musuh," kata Mohammad Kasim Moosa, ahli peneliti utama biologi laut dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Di alam terbuka, musuh spiny lobster adalah gurita, kepiting, dan beberapa ikan pemangsa lain. Tapi, di kolam percobaan Marzuki, tak urung musuh mengintai juga. Mereka adalah rekan-rekan spiny lobster. Ancaman ini, syukurlah, bisa diatasi. Caranya? "Jangan sampai terlambat memberi mereka makan," kata Marzuki pada Kolam Pandia dari TEMPO. Kiat ini didapatnya setelah beberapa kali ujicoba. Spiny lobster tergolong binatang berkulit keras (crustacea) hanya bisa hidup di air laut yang jernih. Untuk itu, Marzuki mengangkut air laut ke enam kolam di pekarangan rumahnya di Bandar Lampung. Kolam tersebut harus bebas dari hujan dan sinar matahari. Maka, sebagai "perisai", dipasangnya atap asbes. Kemudian ia mengatur sirkulasi air. Menurut Marzuki, air tak perlu diganti-ganti. Supaya air tetap jernih, Marzuki membuat tiga kolam penyaringan bertingkat, dengan filter arang, karang, dan pasir. Lobster dibesarkan dalam kolam paling bawah. Dengan pompa listrik, air dalam kolam dinaikkan ke kolam penyaringan teratas. Kebiasaan udang yang hidup di bunga karang ditiru pula. Ia menaruh serpihan bunga karang di dasar kolam. Soal makanan, Marzuki mengatur menunya agar hewan itu mau makan terus. Biasanya, lobster diberi makan ikan teri atau ikan nilam yang dipotong kecil-kecil. Sesekali, diberinya keong emas yang mungkin dibutuhkan hewan itu kelak, untuk berganti kulit. Setelah beberapa kali ujicoba, sejak dua tahun lalu ia mulai memetik untung. Selama proses pembesaran yang makan waktu tujuh bulan, Marzuki memperkirakan butuh Rp 5.000 untuk tiap kilogram makanan. Sudah beberapa kali Marzuki mencatat panen besar. Bulan lalu, misalnya, ia panen sampai dua kuintal dari 600 ekor lobster. Pembelinya sudah ada yang kelak mengekspor lobster ke Hong Kong dan Taiwan. Usahanya mungkin dapat ditiru pengusaha lain, apalagi Kasim Moosa sudah mengingatkan, ada enam jenis lobster yang banyak tersebar di perairan Indonesia. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini