KEBUN binatang rupanya perlu juga dimusyawarahkan. Setidaknya
bagi para pengasuhnya yang tergabung dalam Perkumpulan Kebun
Binatang se-Indonesia (PKBSI). Karena itu pekan lalu di Bandung
berlangsung Musyawarah Besar PKBSI ke-3 yang selain memilih
pengurus baru, tentu juga menelaah berbagai masalah yang dialami
kebun-kebun binatang di Indonesia.
Sebab, ternyata tak mudah mengelola 21 buah KB di Indonesia.
Penyakit rutin tentu saja kekurangan dana dan tenaga. Tapi
keluhan baru juga muncul: pajak tontonan semakin berat, lokasi
yang makin terdesak oleh perkembangan kota--dan bahkan
"menghilangnya" beberapa KB.
Kota Palembang misalnya di tahun 60-an masih punya KB dengan
ratusan satwa di Kambang Ikan Besar. Tahun 70-an KB itu
dipindahkan ke Bukit Besar di tepi kota. Selain satwanya banyak
yang mati, pengunjungnya pun tak ada. Dan ketika dipindahkan
lagi ke Taman Syailendra, sekitar 6 km di luar kota, dua bulan
kemudian KB itu tak ada kabar berita lagi sampai sekarang.
Menurutdrh.Soemarmo, yang.dalam musyawarah itu terpilih sebagai
sekjen (dan Harsono R.M. tetap sebagai ketua), hilangnya KB itu
akibat ketiadaan pengelola yang berdedikasi. Tapi ia juga
mengungkapkan ada pengelola KB yang tidak dibayar tapi KB-nya
tetap hidup. Contohnya di Yogya, Sum-Bar dan Ja-Tim yang
dikelola oleh perkumpulan pengusaha swasta "Yang penting
idealime, bukan komersialisme," ujar Soemarmo tegas. Agaknya
Soemarmo hendak menyindir kebijaksanaan beberapa Pemda yang
membebani KB setempat dengan pajak tontonan.
Lewat APBD
"Kalau kebun binatang sudah ditUgasi mencari masukan kas untuk
Pemda setempat, berarti.binatang telah dieksploatasikan untuk
mencari keuntungan," ujar Drs. Ismoe Soetanto Soewelo dari PPA
yang menjadi Ketua Panitia Musyarawah Besar ke-3 itu. "Itu
salah," lanjutnya. Ia berpendapat seharusnya Pemda justru
membantu KB, meskipun ada unsur rekreasinya.
Seperti KB Bandung, meski mendapat bantuan dana dari APBD Kodya
Bandung, tetap saja merana tak bisa berkembang. Soalnya beban
pajak tontonan cukup berat, lebih besar ketimbang anggaran yang
diberikan Pemda. "Kami selalu mendapat penghasilan melebihi
target yang ditentukan Pemda, " ujar Endang Suwenda, Kepala KB
Bandung itu. "Tapi Pemda mengembalikannya sedikit sekali."
Tahun anggaran 1981-82, Pemda Kodya Bandung hanya menyediakan Rp
14 juta untuk KB itu, sementara pemasukan dari pajak tontonan
ditetapkan Rp 18 juta. Target ini telah dipenuhi, meski tahun
anggaran baru berjalan tujuh bulan. Hasil pajak tontonan selam
sisa waktu lima bulan lagi--memperkiraan Endang sekitar Rp 5
juta masih harus disetor lagi ke kas Pemda. Endang yang sudah
11 tahun memimpin, pil KB Bandung itu, mengenang masa
pemerintahan Walikota Otje Djundjunand (1969-75) Waktu itu,
kalau pemas pajak tontonan besar, bulan berikut sebesar
setoran itu pula yang diberikan Pemda.
KB Ragunan, Jakarta, praktis bebas dari pajak tontonan. "Secara
resmi kami laporkan jumlah pajak itu, tapi kemudian bisa
dimanfaatkan untuk pengelolaan kebun binatang," ujar drh.
Sutarman dari KB Ragunan. Meski begitu tetap sulit mengembangkan
kegiatannya. "Pendapatan kami hanya pas-pasan untuk pengelolaan
saja," ujar Soemarmo, juga dari Ragunan, seusai pertemuan di
Bandung. Karena itu, "kami tidak dapat menambah bangunan, cuma
bisa memperbaiki kecil-kecilan."
Berbeda dengan KB di Bandung atau daerah lain, KB Ragunan
merupakan Unit Pelaksana dalam urutan administratif Pemda DKI
Jaya. Akibatnya, melalui proses Dupda dan DIP, anggaran
mendirikan bangunan baru terjamin. "Juga perbaikan yang melebihi
Rp 5 juta," tambah Sutarman.
Adanya pajak tontonan itu agaknya wajar mengingat unsur rekreasi
yang menonjol dalam peranan KB. Tapi KB juga merupakan tempat
penelitian ilmiah, pendidikan serta kawasan konservasi
satwa--lebih luas lagi kawasan konservasi dan pelestarian alam.
"Kebun binatang juga berfungsi sebagai paru-paru kota," ujar
Drs. Ismoe.
Tapi agaknya fungsi terakhir ini juga sulit dipertahankan.
Hampir separuh dari 21 kebun binatang di Indonesia lokasinya
dinilai tak sesuai lagi dengan tata kota setempat. Yaitu sulit
dikembangkan atau diperluas dan tempat yang "kosong" di tengah
kota banyak diincar usaha komersial. Problem serupa ini dihadapi
KB di Surabaya, Solo, Malang atau Bandung.
Banyak pihak yang menghendaki KB itu dipindahkan ke luar kota
saja. "Itu baik saja," ujar Ismoe, "tapi lokasi baru itu harus
merupakan bagian dari kota, walau di pinggir." Dan yang penting,
bekas KB itu kemudian tidak dijadikan "kebun beton", tapi harus
diubah menjadi taman dengan penghijauan.
Kekurangan Lokasi
Karena itu Soemarmo berpendapat "tak perlu dipindahkan kalau
akan merusak lingkungan kota. Kalau dipindahkan, manusia kota
akan kehilangan sumber udara segar." KB Ragunan Jakarta dinilai
sebagai contoh yang baik karena hijau dan tetap menjadi bagian
kota.
Beberapa waktu yang lalu, KB Surabaya pernah didesak agar pindah
ke luar kota. "Kami menolak tegas pemindahan KB Surabaya di
Wonokromo itu," ujar Ismoe seusai serangkaian pertemuan
musyawarah di Bandung itu. Ismoe melihat ada kepentingan
komersial dalam desakan itu. Yang sudah nyata ada pihak yang
ingin mendirikan toko-toko dalam KB itu, menghilangkan sebagian
flora dan fauna.
Juga KB di Bandung pernah dihadapi desakan serupa. "Tapi itu
dulu," ujar Endang Suwenda, "sekarang tidak lagi." Meski begitu
KB itu tak lepas dari kesulitan. Kawasan KB Bandung seluas 13,5
ha, membentang sepanjang tebing Kali Cikapundung, dekat kampus
ITB. Tapi itu tak lagi cukup menampung semua satwa yang kini
berjumlah 1174 ekor. Meski sudah 75% areal taman dimanfaatkan
buat lokasi kandang, satwa peliharaan itu tetap berdesakan dalam
kandang sempit. "Kami sangat kekurangan lokasi," ujar Endang
mengeluh.
Dulu memang kawasannya lebih luas, meliputi 16 ha. Tapi sejak
tahun 60-an, sekitar 2,5 ha dipakai untuk Pusat Reaktor Atom
Bandung yang kawasannya kini hanya terpisah oleh pagar kawat
dengan kawasan KB.
Keinginan untuk pindah sebetulnya bukan tidak ada, apalagi
karena di tempat sekarang tidak ada kemungkinan dimekarkan.
"Tapi tempat yang baru tak ada," ujar Endang. Kawasan KB Bandung
yang sekarang penuh ditumbuhi pohon palem, ada yang berusia
puluhan tahun. Bahkan ada pula pohon Ki Hujan, sejenis beringin
yang hanya ada di Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini