Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Permintaan Akan Bulu Domba

Proyek percontohan pemintalan bulu domba di desa Mekarjati (kec. Haurgeulis), Indramayu dikelola oleh ditjen cipta karya dpu kerja sama dengan Belanda, penyediaan bakunya (bulu domba) mulai seret.

14 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH karpet dinding bergelantungan, menghiasi beberapa ruangan Erasmus Huis, gedung kebudayaan Belanda di Jakarta. Warna motif dan struktur anyamannya dalam pameran pekan lalu berpadu indah dengan tata ruang modern gedung baru itu. Namun karpet yang terbuat dari bahan wol itu bukan hasil seniman negeri kincir angin, melainkan produksi terbaru dari Proyek Percobaan Bulu Domba Indramayu, Jawa Barat. Proyek itu (TEMPO 18 Oktober 1980) dikelola Ditjen Cipta Karya DPU, sebagai bagian dari Proyek Pengembangan Area Indramayu, yang mendapat, bantuan pemerintah Belanda. Di daerah itu, bulu domba setiap tahun diperkirakan mencapai 60 ton, yang dulu dibuang saja atau paling banyak dipakai penduduk sebagai pupuk di ladang. Kini Pusat Latihan Pemintalan di Desa Mekarjati (Kecamatan Haurgeulis) yang berusia satu tahun lebih memanfaatkannya. Dra. Tetty Rochayati, Penanggungjawab Proyek Pemintalan itu, mengatakan "Seorang kini bisa menghasilkan 400 gram benang sehari." Konon ia pernah merasa pesimistis atas produksi 30 anak asuhannya. Target produksi harian 250 gram seorang masih sukar dicapai tahun lalu. Saat ini belasan gadis mendapat premi sebesar Rp 200 setiap 100 gram wol yang mereka pintal. Setiap hari paling sedikit mereka menghasilkan 2 kg benang wol dan premi untuk itu mereka bagi rata. "Lumayan untuk menambah uang saku," ujar Ade Watini. Gadis Indramayu itu kini berstatus instruktur dan giat di proyek itu sejak semula. Bagi Ade sebutan instruktur itu hampir tak berarti. "Kenyataannya saya tetap bekerja dan mendapat uang saku sama seperti rekan lainnya," katanya. Uang saku itu, ketika proyek itu baru dimulai, berjumlah Rp 750 sehari, tapi sejak awal tahun ini berkurang, disesuaikan dengan benang yang mereka hasilkan setiap hari. Sebelum bisa dipintal menjadi benang, bulu itu terlebih dahulu harus di lepas dari dombanya, dengan gunting khusus. Pekerjaannya memerlukan ketrampilan tersendiri. Untuk itu di pusat latihan dididik empat tenaga pencukur. Pernah juga didatangkan ahli pencukur bulu domba dari Australia untuk melatih mereka. Seninya ialah mencukur domba yang meronta-ronta itu sedekat mungkin dengan permukaan kulitnya, tanpa menyakiti hewan itu ataupun merusak bulunya. Bulu itu kemudian diseleksi dan di timbang menurut warna dan ukuran. Dan harganya yang berlaku untuk setiap kilogram dibayarkan kepada pemilik domba itu, sesuai dengan kualitasnya. Panjang bulu yang ideal ialah 5 cm ke atas. Semula warna putih lebih mahal tapi saat ini justru bulu warna hitam lebih mahal, bisa mencapai Rp 500 per kg. Bulu yang kotor itu lantas direndam dalam air bersih, dan keesokan harinya dicuci dengan menggunakan teepol (bahan pencuci cair). Setelah dibilas, bulu itu masih direndam beberapa waktu dalam larutan karbol wangi, melenyapkan bau maupun kuman yang maslh sisa. Baru bulu itu ditaruh atas rak dan dianginkan sampai kering. Sekarang tinggal proses penyisiran (carding). Bulu yang masih melekat satu dengan lain, diurai dengan menggunakan dua lempeng papan mirip sikat kawat, hanya ujung kawat itu ditekuk. Dalam proses itu juga bulu yang terlalu pendek tersisihkan. Belakangan ada beberapa alat sisir yang bisa diputar dengan tangan hingga mempercepat proses itu. Hasilnya yang mirip kapas itu kemudian bisa dipintal. Setelah itu benangnya masih diplintir lagi hingga menjadi satu utas benang wol yang kuat. Ini dinamakan twinning, yang bukan bahasa Indramayu. Seluruh proses pembuatan benang wol memerlukan waktu tiga haridan untuk 1 kg dibutuhkan 5 kg bahan baku. Sebelum benang itu terbentuk menjadi barang pakai, diusahakan kerjasama dengan Departemen Senirupa ITB, Bandung. Antara lain pelukis Mochtar Apin dan Yusuf Affendi turun menangani pengembangan hasil bulu domba itu, agar menjadi industri kerajinan rumah tangga. Bahkan sejak September lalu tenaga yang semula hanya memintal dilatih pula menenun. Sebagian gadis Indramayu itu selama 4 bulan di ITB mempelajari desain dan menenun. Ada pula yang dilatih di Dinas Perindustrian Indramayu. Kini berdampingan hasil tenunan orang Indramayu dengan hasil seniman ITB. Drs. Bernard J. Miedema, Kepala Proyek Pengembangan Area Indramayu dari pihak Belanda, kagum atas hasil mereka itu. Bikinan orang Indramayu itu lebih polos, lebih bagus, kata Miedema, bekas dosen Ilmu Pembangunan Desa di Universitas Satyawacana, Salatiga. Amat Mahal Tapi para seniman ITB yakin akan keunggulan desain mereka yang serba modern. "Dengan memperlakukan wol ini sebagai karya seni, nilainya bisa jauh ditingkatkan," ujar Fifin Safrina, sarjana senirupa ITB yang barusan diwisuda. Dalam pameran ini ia menampilkan sekat ruang yang ia tenun dengan wol berwarna asli--motif dan struktur diusahakannya dengan cara menenun yang khas. Harganya juga khas: Rp 150.000 dan tak boleh ditiru! Sketsel macam ini bisa dibuat dengan separuh harga, menurut Miedema. Dengan menggunakan tenaga dari ITB itu, "harga barang produksi jadi amat mahal," ujarnya. "Saya mengutamakan penghasilan gadis-gadis miskin itu." Ia memikirkan kemungkihan pembentukan koperasi, supaya "mereka akhirnya harus bisa berdikari." Pertenunan di Haurgeulis mendapat 3 mesin ATBM, sedang di Indramayu (kota) 12 buah, termasuk yang dari RS Immanuel, Bandung. Rumah sakit ini sejak tahun 1961 merintis pengolahan dan penenunan bulu domba sebagai terapi bagi pasien. Tapi kini kegiatan itu sudah berakhir, karena kesulitan bahan bakunya. Penyediaan bahan baku di Indramayu agaknya juga mulai seret. Sejak 3 bulan terakhir bulu domba yang berhasil di, kumpulkan makin berkurang. Sebelumnya bisa terkumpul sampai 400 kg setiap bulan, tapi sejak Agustus lalu 300 kg. Tak banyak pemilik domba yang dengan sukarela mencukurkan dombanya. Pertama, karena imbalannya sudah jauh berkurang. Kedua, karena domba yang dicukur tampak kurus--susah laku kalau dijual.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus