SEJUMLAH karpet dinding bergelantungan, menghiasi beberapa
ruangan Erasmus Huis, gedung kebudayaan Belanda di Jakarta.
Warna motif dan struktur anyamannya dalam pameran pekan lalu
berpadu indah dengan tata ruang modern gedung baru itu. Namun
karpet yang terbuat dari bahan wol itu bukan hasil seniman
negeri kincir angin, melainkan produksi terbaru dari Proyek
Percobaan Bulu Domba Indramayu, Jawa Barat.
Proyek itu (TEMPO 18 Oktober 1980) dikelola Ditjen Cipta Karya
DPU, sebagai bagian dari Proyek Pengembangan Area Indramayu,
yang mendapat, bantuan pemerintah Belanda. Di daerah itu, bulu
domba setiap tahun diperkirakan mencapai 60 ton, yang dulu
dibuang saja atau paling banyak dipakai penduduk sebagai pupuk
di ladang. Kini Pusat Latihan Pemintalan di Desa Mekarjati
(Kecamatan Haurgeulis) yang berusia satu tahun lebih
memanfaatkannya.
Dra. Tetty Rochayati, Penanggungjawab Proyek Pemintalan itu,
mengatakan "Seorang kini bisa menghasilkan 400 gram benang
sehari." Konon ia pernah merasa pesimistis atas produksi 30 anak
asuhannya. Target produksi harian 250 gram seorang masih sukar
dicapai tahun lalu.
Saat ini belasan gadis mendapat premi sebesar Rp 200 setiap 100
gram wol yang mereka pintal. Setiap hari paling sedikit mereka
menghasilkan 2 kg benang wol dan premi untuk itu mereka bagi
rata. "Lumayan untuk menambah uang saku," ujar Ade Watini.
Gadis Indramayu itu kini berstatus instruktur dan giat di proyek
itu sejak semula.
Bagi Ade sebutan instruktur itu hampir tak berarti.
"Kenyataannya saya tetap bekerja dan mendapat uang saku sama
seperti rekan lainnya," katanya. Uang saku itu, ketika proyek
itu baru dimulai, berjumlah Rp 750 sehari, tapi sejak awal tahun
ini berkurang, disesuaikan dengan benang yang mereka hasilkan
setiap hari.
Sebelum bisa dipintal menjadi benang, bulu itu terlebih dahulu
harus di lepas dari dombanya, dengan gunting khusus.
Pekerjaannya memerlukan ketrampilan tersendiri. Untuk itu di
pusat latihan dididik empat tenaga pencukur. Pernah juga
didatangkan ahli pencukur bulu domba dari Australia untuk
melatih mereka. Seninya ialah mencukur domba yang meronta-ronta
itu sedekat mungkin dengan permukaan kulitnya, tanpa menyakiti
hewan itu ataupun merusak bulunya.
Bulu itu kemudian diseleksi dan di timbang menurut warna dan
ukuran. Dan harganya yang berlaku untuk setiap kilogram
dibayarkan kepada pemilik domba itu, sesuai dengan kualitasnya.
Panjang bulu yang ideal ialah 5 cm ke atas. Semula warna putih
lebih mahal tapi saat ini justru bulu warna hitam lebih mahal,
bisa mencapai Rp 500 per kg.
Bulu yang kotor itu lantas direndam dalam air bersih, dan
keesokan harinya dicuci dengan menggunakan teepol (bahan pencuci
cair). Setelah dibilas, bulu itu masih direndam beberapa waktu
dalam larutan karbol wangi, melenyapkan bau maupun kuman yang
maslh sisa. Baru bulu itu ditaruh atas rak dan dianginkan sampai
kering.
Sekarang tinggal proses penyisiran (carding). Bulu yang masih
melekat satu dengan lain, diurai dengan menggunakan dua lempeng
papan mirip sikat kawat, hanya ujung kawat itu ditekuk. Dalam
proses itu juga bulu yang terlalu pendek tersisihkan. Belakangan
ada beberapa alat sisir yang bisa diputar dengan tangan hingga
mempercepat proses itu. Hasilnya yang mirip kapas itu kemudian
bisa dipintal. Setelah itu benangnya masih diplintir lagi hingga
menjadi satu utas benang wol yang kuat. Ini dinamakan twinning,
yang bukan bahasa Indramayu. Seluruh proses pembuatan benang wol
memerlukan waktu tiga haridan untuk 1 kg dibutuhkan 5 kg bahan
baku.
Sebelum benang itu terbentuk menjadi barang pakai, diusahakan
kerjasama dengan Departemen Senirupa ITB, Bandung. Antara lain
pelukis Mochtar Apin dan Yusuf Affendi turun menangani
pengembangan hasil bulu domba itu, agar menjadi industri
kerajinan rumah tangga. Bahkan sejak September lalu tenaga yang
semula hanya memintal dilatih pula menenun.
Sebagian gadis Indramayu itu selama 4 bulan di ITB mempelajari
desain dan menenun. Ada pula yang dilatih di Dinas Perindustrian
Indramayu.
Kini berdampingan hasil tenunan orang Indramayu dengan hasil
seniman ITB. Drs. Bernard J. Miedema, Kepala Proyek Pengembangan
Area Indramayu dari pihak Belanda, kagum atas hasil mereka itu.
Bikinan orang Indramayu itu lebih polos, lebih bagus, kata
Miedema, bekas dosen Ilmu Pembangunan Desa di Universitas
Satyawacana, Salatiga.
Amat Mahal
Tapi para seniman ITB yakin akan keunggulan desain mereka yang
serba modern. "Dengan memperlakukan wol ini sebagai karya seni,
nilainya bisa jauh ditingkatkan," ujar Fifin Safrina, sarjana
senirupa ITB yang barusan diwisuda. Dalam pameran ini ia
menampilkan sekat ruang yang ia tenun dengan wol berwarna
asli--motif dan struktur diusahakannya dengan cara menenun yang
khas. Harganya juga khas: Rp 150.000 dan tak boleh ditiru!
Sketsel macam ini bisa dibuat dengan separuh harga, menurut
Miedema. Dengan menggunakan tenaga dari ITB itu, "harga barang
produksi jadi amat mahal," ujarnya. "Saya mengutamakan
penghasilan gadis-gadis miskin itu." Ia memikirkan kemungkihan
pembentukan koperasi, supaya "mereka akhirnya harus bisa
berdikari."
Pertenunan di Haurgeulis mendapat 3 mesin ATBM, sedang di
Indramayu (kota) 12 buah, termasuk yang dari RS Immanuel,
Bandung. Rumah sakit ini sejak tahun 1961 merintis pengolahan
dan penenunan bulu domba sebagai terapi bagi pasien. Tapi kini
kegiatan itu sudah berakhir, karena kesulitan bahan bakunya.
Penyediaan bahan baku di Indramayu agaknya juga mulai seret.
Sejak 3 bulan terakhir bulu domba yang berhasil di, kumpulkan
makin berkurang. Sebelumnya bisa terkumpul sampai 400 kg setiap
bulan, tapi sejak Agustus lalu 300 kg.
Tak banyak pemilik domba yang dengan sukarela mencukurkan
dombanya. Pertama, karena imbalannya sudah jauh berkurang.
Kedua, karena domba yang dicukur tampak kurus--susah laku kalau
dijual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini