PADI gadu Hardjo Utomo kali ini puso lagi. Wereng cokelat telah menjarah setengah hektar tanaman padi Cisadane miliknya. Padahal, petani setengah baya dari Desa Kalitirto, Kabupaten Sleman, Yogya, lni telah mencoba membinasakan hama cokelat itu dengan semprotan insektisida. Generasi baru wereng cokelat tampaknya telah tiba. Varietas Cisadane, yang enam tahun lalu dijagokan mampu menahan serbuan wereng cokelat biotipe II, kini terbukti tak berdaya. Primadona lain, varietas Krueng Aceh, ternyata, juga babak belur menghadapi musuh yang sama. Enam kabupaten di Ja-Teng dan dua di DIY telah dijangkiti hama "jenis baru" ini. Dua tahun lalu, serangga ganas itu telah muncul di Bantul, DIY, dalam skala kecil. Akhir tahun lalu, serangga ini juga muncul di Kabupaten Pemalang, Ja-Teng. Namun, Oktober tahun ini, dalam skala nasional, wereng cokelat ini telah menjamah areal seluas 50,909 ha. Ini angka yang dilaporkan, tapi, menurut sebuah sumber, daerah yang terserang jauh lebih luas. Dibanding proyeksi luas panen nasional yang 9,7 juta ha, angka ini memang kecil. Juga lebih kecil dibanding serangan pada 1975/1976 yang menjangkiti 500 ribu ha sawah. Tapi dikhawatirkan serangan hama cokelat ini akan cepat meluas. Sebab, di Jawa Barat, umpamanya, saat ini hampir seluruh areal ditanami padi varietas yang rentan terhadap hama ini. Pemunculan wereng cokelat kali ini menarik perhatian lantaran penampilannya yang makin sakti. Serangga yang panjangnya antara 3 dan 4 mm ini diduga sudah cukup kebal terhadap 57 jenis insektisida yang beredar di pasaran. Belum ada kepastian bahwa wereng baru ini boleh disebut biotipe III. Tapi Ir. Suyitno, Kepala Balai Proteksi Tanaman Pangan Ja-Teng dan DIY, menyebutnya biotipe II plus. "Lebih ganas dibanding biotipe I," ujarnya. Penelitian Dr. Ir. Kasumbogo Untung, Ketua Jurusan Hama Tanaman Fakultas Pertanian UGM, pada pertengahan 1986, mengungkapkan bahwa rumpun-rumpun tanaman padi yang disemprot beberapa jenis insektisida justru dihuni wereng cokelat dalam jumlah yang lebih banyak. Pada rumpun yang disemprot secara teratur dengan Diazinon, ditemukan 80 ekor wereng cokelat. Yang diguyur dengan Azodrin dihuni 50 ekor. Dan pada rumpun di petak lain yang dilindungi semprotan Lebacyd justru ditongkrongi 100 ekor wereng. Anehnya, pada petak yang tak diberi insektisida, populasi werengnya hanya 20 ekor per rumpun. "Sungguh tepat pemerintah menyetop peredaran 57 jenis pestisida itu," ujar Kasumbogo, doktor ilmu-serangga lulusan Universitas Michigan, 1978, ini. Namun, Kasumbogo belum memastikan wereng-wereng bandel itu sebagai biotipe III. Kelahiran biotipe baru, seandainya ini telah terjadi, merupakan reaksi alam atas praktek budi daya yang salah. Penanaman padi terus-menerus sepanjang tahun, dengan varietas yang sama, dan penggunaan pestisida yang sangat intensif, adalah proses seleksi yang akan menampilkan individu-individu wereng yang lebih sakti. Ini dimungkinkan, karena, seperti dituturkan Prof. Soemartono Sosromarsono, populasi wereng cokelat (Nilaparvata lugens. Stal.) memiliki variasi genetik yang luas. "Sebagian kecil dari populasi itu bisa tahan terhadap tekanan lingkungannya, berhasil hidup dan berkembang biak dengan mewariskan potensi genetiknya," ujar guru besar ilmu serangga IPB ini. Populasi serangga ini makin menjadi-jadi lantaran insektisida yang sering digunakan ternyata juga mematikan pemangsanya. Maka, guru besar ini mengajak kita kembali ke alam. "Marilah kita kendalikan hama itu dengan memanfaatkan faktor-faktor yang ada di alam," katanya. Artinya, pengendalian hama dengan memanfaatkan musuh-musuh alamiahnya. Menurut catatan Prof. Soemartono, di Indonesia terdapat tak kurang 79 jenis musuh wereng cokelat. Separuh di antaranya bertindak sebagai predator, separuh lainnya parasit. Maka, keputusan pemerintah -- yang pekan laiu disampaikan sendiri oleh Presiden Soeharto kepada sejumlah menteri, gubernur, dan pejabat pertanian daerah -- patut disambut embira. Terutama pembatasan penggunaan insektisida yang belakangan ini terasa sangat berlebihan tapi dibiarkan saja oleh Dep. Pertanian sampai nyaris telat. Bagi Baktius, melaksanakan keputusan pemerintah ini bukan perkara mudah. Bagi petani dari Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang, Sum-Ut, ini, debit air irigasi ke desanya tak memungkinkan dia dan tetangganya melakukan penanaman serentak. Air tak cukup. Sedangkan untuk melakukan rotasi padi-palawija dirasa tak cukup aman di atas sawahnya yang setengah hektar itu. Tanaman kacang tanahnya lebih sering diganyang tikus. Apa boleh buat, "Saya terpaksa tanam padi terus. Kalau tidak, dari mana dapat biaya sekolah untuk anak-anak?" Putut Tri Husodo, Laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini