Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Paku dan serdadu

Setelah as gagal di vietnam, pertengahan 1970-an memaksa untuk mundur dari asia. washington menyerukan sekutu as lebih berperan dalam menjaga stabilitas asia-pasifik. pilihan jatuh antara cina atau jepang

15 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK pertengahan 1970-an, akibat kegagalannya di Vietnam, Amerika terpaksa mundur selangkah dari Asia. "Sekutu-sekutu Amerika mesti berperan lebih besar dalam menjaga stabilisasi di Asia dan Pasifik," demikian kira-kira seruan Washington kemudian. Juga jangan dilupakan bahwa Amerika dan Uni Soviet jelas lebih mementingkan posisi strategis mereka di Eropa dan Timur Tengah. Dengan sendirinya, jawaban teradap imbauan Washington itu jatuh kepada pilihan antara Cina dan Jepang. Prof. Johan Galtung, pendiri dan perintis studi perdamaian (peace studies) di Universitas Oslo dan sekarang menjadi profesor tamu di Princeton, baru-baru ini mengemukakan pendapat yang relevan dengan soal tersebut. Berbicara di muka Seminar Perdamaian Pasifik (Pacific Peace Seminar), yang berlangsung di Universitas Hawaii, Juli lalu, Galtung mengajukan argumentasi bahwa Cina merupakan calon tunggal untuk menduduki posisi menentukan sebagai pemelihara keamanan dan perdamaian di Asia Pasifik. Dibandingkan dengan Jepang, kata Galtung, Cina tak akan menggunakan otot militer, dan karena itu ia cocok dengan kedudukan tersebut. Galtung mencari akarnya dari faktor-faktor sosiologis dan sejarah. Dalam sistem pelapisan masyarakat Cina, kata profesor terkenal itu golongan bing (militer) berada di bawah shi (literati), nong (petani), gong (buruh), dan shang (pedagang). Ini berlawanan dengan sistem kemasyarakatan Jepang, yang golongan kesatrianya, yang dikenal dengan sebutan samurai, selalu berperan penting dalam segala bidang. Disimak seketika pendapat di atas tampak ada benarnya. Kebesaran dan pengaruh Cina di masa lalu disegani di seluruh Asia, dan itu lebih didasarkan pada faktor-faktor kultural ketimbang militer. Ditambah dengan kenyataan bahwa sccara tradisional kebudayaan Cina selalu memandang rendah profesi militer. Ada sebuah pepatah kuno yang berbunyi: Hao tie bu dang ding, hao zi bung dang bing (Baja yang baik tak akan dijadikan paku, anak yang baik takkan jadi serdadu). Kalau kita tengok ke sejarah Cina, dari zaman kuno sampai sekarang, jelas bahwa golongan militer sangat banyak menentukan corak politiknya. Jatuh bangunnya dinasti di masa kuno selalu diwarnai dengan pemberontakan bersenjata. Sun Yat-sen berhasil mendirikan Republik Cina pada 1911 karena dukungan kekuatan senjata. Chiang Kai-shek adalah seorang jenderal. Mao berhasil mengusir Kuomintang dari Daratan Cina lantaran Tentara Pembebasan Rakyat. Ingat saja slogannya yang paling terkenal: "Kekuasaan politik keluar dari laras bedil". Mao juga tak akan mungkin bisa melancarkan Revolusi Kebudayaan pada 1966 tanpa dukungan tentara, yang waktu itu di bawah Marsekal Lin Biao. Sebaliknya, berkat Tentara Pembebasan Rakyat dan Lin Biao, ia berhasil menghentikan aksi massa Pengawal Merah ketika Revolusi Kebudayaan berkembang ke arah tindakan-tindakan anarki. Deng Xiaoping takkan bisa selamat dari dua sabetan Mao tanpa ada guanxi (koneksi) dengan tentara. Deng juga tak mungkin berkuasa seperti sekarang tanpa dukungan hopeng-hopengnya di kalangan militer. Tentara adalah faktor yang paling dominan dalam menentukan hitam-putih politik Cina. Demikian kurang lebih teori yang diajukan David Moingo pada salah satu karangan dalam State and Society in Contemporary China. Yang menarik dari acuan historis, Galtung mengatakan bahwa dengan "beberapa kekecualian", Cina tak pernah dengan sengaja mengembangkan kekuasaan dan pengaruhnya ke wilayah sekelilingnya. Galtung sekali lagi mengambil perbandingan dengan Jepang. Jepang selalu merasa dirinya "bangsa terpilih" untuk menyelamatkan Asia dari kehancuran. Keagresifan Jepang semuanya berakar dari militerisme dan tugas sejarah seperti di atas. Sebaliknya, pengaruh dan kekuasaan Cina meluas dengan sendirinya karena ia sudah besar. Apabila sekali kita lihat sejarah hubungan Cina dengan Asia, kita akan mendapat kesan lain. Pandangan dunia tradisional Cina membagi bumi atas beberapa lapisan. Yang utama adalah Cina sebagai pusat dunia atau zhongguo (negeri di pusat jagat). Dari sanalah segala hal yang agung dipancarkan ke seluruh dunia. Penghuni di luar wilayah Cina merupakan umat yang harus "dihaluskan" (refined) dan dibudayakan dengan cara sinifikasi. Makin jauh dari pusat dunia makin tak berkebudayaanlah mereka dan mendapat julukan Yi (orang barbar). Konsep bangsa Jepang yang mengaku dirinya sebagai bangsa terpilih, tinggal di negeri tempat matahari terbit (Nippon atau Riben dalam bahasa Mandarin) juga melihat bangsa lain berdasarkan derajat (ranking) -- identik dengan konsep zhongguo dalam kebudayaan Cina. Tapi perlu juga dicatat bahwa dominasi kebudayaan dan militer Cina di Asia berlangsung dari zaman kuno sampai pertengahan abad ke-19. Itu baru berakhir karena kedatangan imperialisme Barat dan kebangkitan Jepang. Para penganjur Cina sebagai stabilisator umumnya meremehkan ganjalan utama, yakni ketidakpopuleran negara itu di Asia. Apakah itu disebabkan oleh faktor ideologi (antikomunisme), chauvinisme kebudayaannya, atau kesejarahan, yang dalam hal ini tak bisa diperdebatkan. Kenyataannya di Asia, Cina tidak populer. Politik luar negeri Cina setelah rezim Deng Xiaoping naik didasarkan pada prinsip "bersahabat dengan semua orang". Walau demikian, tak berarti bahwa kecurigaan terhadap Cina sudah menurun. Kekhawatiran bertambah sejak Beijing "memberi pelajaran" kepada Vietnam di akhir 1970-an. Apakah itu didasarkan pada perhitungan ofensif atau defensif -- yang selalu menjadi perdebatan di kalangan ahli Cina di Barat -- tidaklah menjadi masalah buat negara-negara Asia. Terutama negara-negara Asia Tenggara menganggap bahwa Cina telah berani mengambil risiko dengan langkah militer sebagai jalan keluar dari konflik politik. Itu juga dianggap kemenangan golongan militer atas golongan sipil dalam menentukan kebijaksanaan politik luar negeri. Patut juga dipertimbangkan bahwa untuk menjadi stabilisator wilayah, terlebih dahulu RRC harus menunjukkan kemantapan keamanan dan stabilisasi dalam negerinya. Sejak negara itu berdiri pada 1949, pendulum politiknya selalu berayun dari ekstrem kiri ke ekstrem kanan. Baru akhir 1970-an pendulum tersebut tampak berada di tengah. Tapi politik pragmatis yang sekarang dianut masih harus menghadapi tantangan berat karena pada dasarnya itu merupakan one man show Deng Xiaoping. Jelas, tema "RRC sebagai stabilisator" wilayah itu banyak hambatannya. Karena itu, kawasan Asia-Pasifik masih harus menoleh kepada Amerika atau Soviet. Mungkinkah konsep netralisasi Asia Tenggara, sekalipun akhir-akhir ini jarang disebut, bisa diterapkan ke wilayah Asia-Pasifik? Jawaban, akhirnya, terpulang kepada negara-negara besar juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus