ZONA Ekonomi Eksklusif (ZEE), yakni perairan 12-200 mil wilayah pinggiran Indonesia, mulai tahun ini sudah menghasilkan uang. Sejak Maret sampai sekarang, tercatat 62 kapal Taiwan ukuran 200-300 ton, 4 kapal Muangthai ukuran 90-100 ton, dan 3 kapal AS ukuran 1.000 ton yang menjala ikan di sana. Dirjen Perikanan R. Soeprapto mengungkapkan kepada TEMPO, dari izin yang dikeluarkan untuk 69 kapal itu, pemerintah memetik lebih dari satu juta dolar. Jumlah tersebut diperhitungkan menurut ketentuan SK Menteri Pertanian yang dikeluarkan Juli lalu. Kapal yang menggunakan long line dikenai pungutan US$ 69 per m3 palka ikan, pole & line dipungut US$ 82 per m3, purse seine US$ 85, dan yang menggunakan pukat dipungut US$ 145. Sedangkan yang menggunakan alat lain, kecuali trawl dipungut US$ 44 per m3 palka ikan. Selain itu, kapal-kapal itu membayar biaya pendaftaran untuk mendapatkan izin satu tahun sebesar US$ 5 per ton bobot kapal, sedang untuk perubahan surat izin dipungut pula US$ 100. Menurut sumber TEMPO, sejauh ini, kebanyakan kapal itu sudah melunasi kewajibannya, tinggal 9 kapal Taiwan dan 3 kapal AS yang belum. Hanya pungutan itu tadi saja yang bisa diharapkan. Sebab, kata Sekretaris Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan & Perikanan, Rustam Effendy, hasil tangkapan diangkut semua ke negeri mereka. Memang, ada ikan yang dijual ke perusahaan pengolahan ikan di sini, PT Bali Raya, tapi kemudian harus diekspor. Ada untungnya juga bagi PT Bali Raya. Sebab, ikan tuna yang mereka beli dari kapal-kapal tadi dengan harga US$ 600 per ton itu kemudian dijual ke luar dengan harga US$ 1.000 per ton. Dan, satu hal lagi, nilai tambah di tempat pengolahan ikan di situ tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah merangsang ekspor. Lagi pula, bila dijual di dalam negeri, dlkhawatirkan bisa mengancam pendapatan nelayan dalam negeri. Negara juga tak merasa dirugikan. Sebab, menurut Rustam Effendy, besarnya pungutan itu juga disamakan atas kapal-kapal ikan milik perusahaan patungan modal asing juga hampir sama dengan pungutan yang berlaku di Australia. Yang jelas, kapal-kapal itu masih bisa untung. Berita dari Bangkok mengatakan bahwa sekarang ini ada sekitar 60 kapal lagi yang tengah mengajukan izin untuk beroperasi di ZEE. Di sana, menurut Rustam, bisa ditampung sekitar 600 kapal ikan ukuran 300 ton bobot mati. KEBANYAKAN hasil tangkapan itu diekspor ke Jepang untuk dijadikan sashimi atau dikalengkan. Sejauh ini belum ada kapal Jepang yang beroperasi di ZEE, kendati banyak kapal Jepang sudah sejak dasawarsa lalu beroperasi di sekitar Laut Banda. Soalnya, harga ikan tuna sekarang ini lagi jatuh, separuh dari harga sepuluh tahun lalu. Murahnya harga kapal sekarang ini, dibandingkan dengan dulu, sebenarnya, merangsang pengusaha perikanan Jepang masuk ke ZEE. Tapi, menurut sumber TEMPO, pemerintah Jepang menginginkan pungutan bagi kapal-kapal Jepang diperingan -- seperti perjanjian di Laut Banda tempo hari. Dulu, karena pemerintah Jepang cukup banyak memberikan grant, izin dan pungutan bagi kapal-kapal ikan swasta Jepang di Laut Banda berlaku per tiga tahun. "Karena kini kita sudah tahu bahwa usaha kapal-kapal itu sangat menguntungkan, izin dan pungutan berlaku per satu tahun," ujar pejabat yang menjadi sumber tadi. Tapi mengapa bukan pemodal nasional yang harus jadi penjala di perairan sendiri? Tentu bukan untuk memperbesar pabrik pengolahan ikan di Muangthai sana yang, dari tahun ke tahun, ekspornya ke segala penjuru dunia makin meningkat. Hanya, orang Thai memang hebat karena menutup pabriknya, sampai-sampai diajak kerja sama membukanya di sini mereka ogah. M.W. Laporan Yusroni H. (Jakarta) & Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini