SEPINTAS, mereka tampak seperti lamtoro yang biasa. Namun, kepada enam klon lamtoro ini, Balai Penelitian Perkebunan (BPP) Bogor memberikan gelar khusus: lamtoro antihama kutu loncat. Gelar itu mereka raih setelah melalui masa seleksi dan pengujian selama hampir tiga tahun. Kini mereka telah siap diterjunkan ke lapangan, sebagai pohon pelindung atau tanaman produksi, tanpa harus dicemaskan akan diteror oleh barisan kutu loncat. Keenam klon lamtoro itu -- masing-masing disebut sebagai nomor seleksi PG-62, PG-63, PG-64, PG-65, PG-66, dan PG-79 -- telah lolos dari proses seleksi yang ketat. Tak sekadar antikutu loncat (Heteropsylla cubana), mereka pun dinilai memiliki sifat-sifat agronomis yang memenuhi syarat untuk diangkat sebagai pohon pelindung. Salah satu sifat agronomis mereka yang menguntungkan, menurut Ir. Dedy Suhendi, salah seorang peneliti lamtoro di BPP Bogor, adalah tajuknya yang tak terlalu rapat, tapi tidak pula terlalu terbuka. Dengan begitu, mereka bisa menaungi kopi atau cokelat, tanpa harus memborong sinar matahari. Mereka sanggup terus bertahan kendati ranting dan cabangnya sesekali harus dipangkas, ketika tajuknya telah terlalu gondrong. Pemangkasan ini mesti dilakukan agar sinar matahari bisa menerobos, untuk mencapai daun-daun tanaman budi daya di sekitarnya. Akar-akar mereka menjulur jauh ke dalam tanah. Memang akar macam itu yang diinginkan. Sebab, jika akar-akar itu hanya bisa menggeliat di dekat permukaan, "Mereka akan berebut makanan dengan tanaman yang dinaunginya," ujar Dedy. Keunggulan agronomis lain pada ke-6 nomor seleksi itu adalah produksi biji buahnya yang tak terlalu banyak. Jika produksi biji terlalu besar, berarti tanaman pelindung itu punya potensi itu menyebar benihnya dalam skala yang lebih luas. Kondisi semacam itu memerlukan tenaga ekstra untuk mengontrol populasinya. Keenam klon unggul itu terpilih dari 411 klon yang dikoleksi di Kebun Percobaan Pondok Gedeh, Sukabumi, milik BPP Bogor. Bermacam klon lamtoro (Leucaena sp.) yang dikoleksi BPP Bogor itu sebagian berasal dari luar negeri, sebagian lainnya diperoleh dari perburuan lokal. Ke-411 klon tadi terdiri dari 8 spesies. Koleksi BPP Bogor itu terhitung besar, mengingat di dunia hanya ada 13 spesies lamtoro. Dalam proses seleksi itu, mula-mula dicari klon yang memiliki sifat-sifat agronomis yang diinginkan -- pada tajuk, perakaran, dan potensi reproduksinya. Dengan pengamatan sebatang demi sebatang, bisa diperoleh sejumlah klon yang unggul sifat-sifat fisiknya. Lantas, dimulailah babak penentuan sejumlah sampel lamtoro yang lolos pada seleksi babak pertama dikumpulkan, disebar acak dalam ruang isolasi, lalu kutu loncat dilepaskan di situ. Bak kuman dalam adonan agar, populasi kutu loncat itu cepat berbiak, dan menyebar merata, mengerubuti tanaman sampel itu. Lantas, secara periodik dilakukan penilaian terhadap klon-klon yang diuji itu. Penilaian "prestasi" daya tahan itu diukur, antara lain, dengan cara menghitung populasi telur-telur, larva, dan kutu dewasa pada tiap klon. Ada sembilan grade yang dihasilkan dari populasi kutu loncat dan anak-anaknya itu. Grade 0 diberikan kepada klon yang sama sekali bebas dari kutu, dan grade 9 untuk klon yang paling babak belur. Klon yang dianggap resisten harus memenuhi grade 0-3, dan ternyata ada 6 klon. Kelompok yang resisten itu memang tak 100 persen bisa bebas dari gangguan kutu loncat. Klon ini bisa bertahan karena pucuk tunas mereka tetap tumbuh kendati digayuti kutu loncat. Rombongan kutu itu memang tak betah berlama-lama bermukim pada keenam klon unggul itu. Lebih dari itu, telur-telur kutu yang ada pada klon pilihan itu sebagian besar gagal menetas. Padahal, tiga tahun lalu, ledakan hama serangga berukuran 1,5-2,2 mm itu sepertinya tak bisa dibendung. Mula-mula hama ini muncul di sekitar Jakarta-Bogor. Dalam tempo beberapa bulan saja, mereka telah menyebar hampir ke semua provinsi di Indonesia. Kendati berukuran kecil, kutu loncat ini terbukti rakus. Mulutnya yang lancip menembus jaringan lunak di pucuk lamtoro, lalu menguras cairan di dalamnya. Lamtoro muda, yang berumur 1-2 tahun, biasanya tak tahan oleh situasi buruk ini, lalu mati. Kerugian akibat amukan kutu loncat itu konon mencapai angka ratusan milyar rupiah. Sebab, serangan atas lamtoro itu sempat pula mengguncang produksi kopi, cengkeh, vanili, dan cokelat. Belum lagi kerugian akibat digasaknya lamtoro penghijauan dan makanan ternak. Setahun setelah bencana itu, pemerintah melepaskan kumbang Curinus coeruleus ke tempat-tempat rawan. Kumbang hijau, yang sering disebut Ladybird ini, diimpor dari Hawaii, dan telah teruji ampuh memerangi kutu loncat. Namun, bahaya kutu loncat telah lewat ketika kumbang sebesar butir kacang hijau itu dilepas ke lapangan. Namun, siapa berani menjamin ancaman kutu loncat itu tak akan terulang. Maka, untuk menjaga segala kemungkinan, klon-klon antikutu loncat juga akan disebar ke lapangan. Klon-klon unggul itu, menurut penelitian BPP Bogor, mengandung senyawa saponin lebih besar dibanding klon lamtoro lainnya. Diduga, kandungan saponin yang tinggi itu yang membuat sang kutu mati kutu. Meskipun demikian, diakui oleh Dr. Didik Sudarmadji, ahli serangga dari BPP Bogor, ke-6 klon unggul itu hanya direkomendasikan sebagai tanaman pelindung. BPP Bogor, belum menyeleksi lamtoro antikutu loncat yang cocok untuk tanaman penghijauan atau makanan ternak. Untuk kebutuhan itu, menurut Didiek, "Diperlukan sifat agronomis yang berbeda." PTH, Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini