PENONTON yang memenuhi gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bagaikan tersihir. Mereka diam terpaku. Satu-satunya suara yang terdengar adalah gesekan Didier Lockwood pada biola Carolus Henry buatan 1824. Untuk sesaat, ia mematikan Rexer Wireless System-nya. Maka, yang terdengar adalah suara akustik yang syahdu dengan melodi manis. Tiny Twins memang lagu manis. Komposisi yang ditulis Lockwood, 33 tahun, untuk sepasang putri kembarnya ini terdengar penuh sayang. Tapi tak cuma itu, Lockwood, yang menggelar musiknya pada Kamis dan Jumat pekan lalu di TIM, juga bisa ramai dan warna-warni. Cowboy yang mengawali konser, misalnya, langsung membawa nuansa ke musik Gipsy yang riang, mengajak orang menari. Disambung dengan Panama yang kental dengan beat jazz-rock. Dari sini, penonton dibawa ke tema blues lewat B-Train Blues. Ada pula irama samba lewat Brazilia. Belum lagi warna klasik yang menghiasi improvisasi di ujung Tiny Twins yang manis tadi. Bukan kebetulan. Didier Lockwood memang sengaja berwarna-warni. Kata Lockwood, "Jazz tak punya batas jenis musik." Maka, dari dia kita bisa mendengar macam-macam. Di komposisi berjudul Format, bahkan muncul nuansa Heavy Metal Rock yang penuh lengking. Lockwood juga bermain-main, menyelipkan suara orang terkekeh-kekeh saat memulai improvisasi di nomor Elephant Blue. Itulah kesaktian lain Didier Lockwood. Tak cuma warna musik yang kaya raya, ia juga melimpah ruah dengan pilihan warna bunyi. Saat membawakan Le Solo yang dimainkannya sendirian, ia menghadirkan suara burung laut di tengah gemuruh ombak. Tentu, tak cuma kehebatan menggesek. Ia perlu bantuan teknologi canggih. Selain biola berusia seratus enam puluh lima tahun tadi, Lockwood masih dibantu pula oleh Roland D-20, Yamaha Proteus Synthesizer TX 802, dan seabrek lainnya. Di antaranya: Kawai Q-80, Octaver. Ia juga memainkan biola listrik Zeta dan saksofon listrik Yamaha WX-7. Dalam Le Solo, Lockwood menghadirkan warna musik klasik secara piawai -- musik yang pertama kali dipelajarinya. Penonton pun seolah mendengar sebuah konser musik gesek yang sangat indah. Tapi cuma sebentar, lalu balik lagi dengan mainannya: berbagai suara sampai mirip lengkingan dalam film-film horor. Lockwood memulai hidupnya dengan biola, saat ia masih berusia enam tahun. Gurunya yang pertama adalah ayahnya sendiri, seorang pemain biola klasik yang penggemar berat jazz. Dan sejak itu, ia seperti sudah memutuskan untuk hidup dari musik. Maka, ia pun bersekolah di konservatorium Paris. Jelas, yang diperdalamnya adalah biola. "Saya sangat cinta biola, suaranya indah sangat ekspresif," katanya. Di usia 16 tahun, Lockwood sudah mengambil keputusan bulat: menjadi seorang profesional dalam musik. Keputusan drastis lainnya, ia banting setir, tak lagi menggesek nada-nada klasik, melainkan memilih jazz yang tak banyak aturan. "Di jazz, kita bisa apa saja, ia adalah The Freedom of Music," Lockwood beralasan. Pelan-pelan, ia terus menanjak. Sampai akhirnya berhasil terpilih sebagai pewaris biola Warlop. Biola Warlop ini punya cerita panjang sebagai simbol pemain biola jazz yang dianggap paling berbakat di Prancis. Michel Warlop, pemiliknya yang pertama, adalah pemain biola jazz pertama di Prancis. Dari dia, biola itu diwariskan ke Stephane Grappeli yang menghibahkannya ke Jean Luc Ponty, pemain biola jazz yang juga populer di Indonesia. Dari Ponty inilah, Lockwood mendapatkan warisan biola Warlop yang dipegangnya sampai sekarang. Kebetulan Lockwood juga pengagum Ponty. "Ponty adalah orang pertama yang mengubah nuansa suara biola sehingga cocok untuk jazz," kata Lockwood. Selain mewarisi biola Warlop, puncak prestasi lain dari Lockwood adalah ketika ia tampil di Olympia Hall Paris, panggung yang paling bergengsi di sana, Mei 1986. Musisi jazz terakhir yang bisa naik ke panggung itu adalah Sidney Bechet, 20 tahun sebelum Lockwood manggung. Rekaman pertunjukannya di Olympia Hall bersama kelompok Uzeb dari Kanada berjudul Absolutely Live -- sampai juga kemari, dan cukup populer. Maka, penggemar jazz di sini seperti terobati rindunya ketika Lockwood memainkan tiga nomor dari album Absolutely Live dalam konsernya di Bandung, Yogya, Denpasar, Surabaya, dengan puncak di Jakarta, pekan lalu. Kali ini ia tidak dengan Uzeb, melainkan bersama Laurent Verney, 24 tahun Jean-Marie Ecay, 27 tahun dan Loic Pountieux, 22 tahun. Bagaimanapun, kelompok yang baru dibentuk pada awal tahun ini boleh dibilang cukup menyatu dengan Lockwood yang sekelas di atas teman-temannya. "Mereka punya latar belakang musik yang lengkap, jadi enak saja main macam-macam," komentar Ireng Maulana, gitaris jazz di sini. Keistimewaan lain kelompok ini adalah tak adanya pemain keyboard yang cukup vital untuk musik fusion seperti ini. Terpaksa, Lockwood dan Jean-Marie Ecay bergotong-royong mengisi kekosongan latar belakang. Gitar Ecay pun tak cuma gitar saja, ada Micro GK2 Roland tertempel di sana. Pun itu masih dibantu dengan Expander GRSO Roland dan Proteus Emulator. Maka, sementara Lockwood menggesek biolanya, dari Ecay bisa muncul latar belakang paduan suara yang agung, seperti pada intro Cowboy. Atau akord piano listrik yang manis di ujung Elephant Blue. Di sinilah terlihat, teknologi dan musik sekarang semakin akrab. Didier Lockwood dan kelompoknya berhasil menguasai keduanya. Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini