Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Banyak gerak, banyak masalah

Olah raga berlebihan (overtraining) bisa mengakibatkan depresi. tapi ada juga yang overtraining, justru karena dilanda depresi. bisa menyebabkan perubahan metabolisme, hormonal, dan kardiovaskular.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN '80-an dikenal sebagai dekade kebugaran. Fitness center tumbuh menjamur di kota-kota. Bintang film Jane Fonda mengeruk untung besar dari bukunya -- tentang kebugaran -- yang berkali-kali dicetak ulang serta diterjemahkan ke banyak bahasa. Namun, masa emas kebugaran tampaknya mulai pudar -- paling tidak di negeri asalnya, Amerika Serikat. Di sini, berdasarkan sebuah studi pemasaran, sebagian besar fitness center ternyata tidak terpakai lagi. Bahkan hanya 10 persen orang dewasa, yang kini masih ngotot melakukan senam kebugaran. Ada apa? Olah raga berat, ternyata, tidak merupakan jaminan bahwa orang lebih sehat dan berumur lebih panjang. Belakangan malah terbukti bahwa gerak badan yang porsinya sedang-sedang saja bisa memperpanjang usia dua tahun. Sementara itu, porsi olah raga berlebihan bisa membuat orang kecanduan, bahkan sampai mengalami gangguan jiwa. Menurut Michael Mahoney, banyak orang melakukan olah raga berlebihan alias overtraining, karena merasa dirinya kurang bugar. Di samping itu, ada juga yang merasa bentuk tubuhnya jauh dari ideal. "Mereka dirasuki pikiran tentang adanya kelainan pada berat badan dan lemak tubuhnya," kata Mahoney, pakar psikologi dari University of California, AS. Untuk itu mereka bersenam, lari, atau bermain tenis -- tapi yang porsinya berlebihan hingga melampaui batas kemampuan fisik. Dr. Richard M. Suinn, Kepala Departemen Psikologi di Colorado State University, AS, melihat bahwa kecanduan olah raga ini sudah terkategori gangguan jiwa. "Mereka cenderung meningkatkan porsi latihannya. Mereka berolah raga bukan untuk kebugaran, tapi untuk mencapai suatu tujuan yang sebenarnya tak akan pernah terjangkau," kata Suinn. Buat penderita "ketergantungan berolah raga" ini, mengurangi porsi latihan berarti suatu kegagalan. Mereka khawatir, porsi olah raga yang moderat dapat memerosotkan prestasi dan penampilan yang sudah ada selama ini. Maka, mereka paksakan terus berolah raga karena mereka begitu yakin, kalau tak "memeras keringat", bentuk tubuh yang ideal tak mungkin tercapai. Untuk itu, mereka tak keberatan bila sendi dan otot-otot terasa nyeri. Mereka berkutat melakukan maraton, lari lintas alam, ataupun angkat berat, karena yakin benar bahwa sehabis nyeri timbullah sehat. Dengan demikian, mereka percaya, jantung akan lebih kuat, tidur tambah nyenyak, energi dan kemampuan seksual makin bertambah. Mitos inilah yang membuat mereka terperangkap dalam olah raga yang berlebihan. Di samping mengejar kebugaran, ada juga yang habis-habisan berolah raga semata-mata sebagai pelarian. Kasus seperti ini sering dijumpai oleh Suya Colorado, direktur sebuah klub aerobik di San Francisco. "Mereka punya problem keluarga atau masalah sosial lainnya," katanya. Orang seperti ini memang butuh pelarian dari kenyataan yang harus dihadapi. Tekanan jiwa yang setingkat dengan depresi membuat mereka asyik tenggelam dalam overtraining. Dan ini memperburuk keadaan. Tapi hasil studi Dr. William P. Morgan dari University of Wisconsin-Madison Sports Psychology Laboratory justru menunjukkan ada korelasi terbalik. "Overtraining malah menjadi penyebab timbulnya depresi," kata Morgan. Kesimpulan ini diambil Morgan ketika ia meneliti anggota tim renang dari universitasnya. Mereka dipaksa overtraining. Teknik ini memang sering dilakukan untuk menghadapi kompetisi renang antaruniversitas di AS. Setelah berlatih ekstrakeras barulah mereka beristirahat total sambil menunggu hari pertandingan. Overtraiing ini bertujuan agar atlet semakin kuat dan lebih cepat. Morgan melihat, bagaimana para atlet justru menderita lahir batin. Sebagian besar bahkan layak mendapat perawatan dari psikiater. Dan 80% menunjukkan gejala klinis depresi, seperti kelelahan yang kronis, sulit tidur (insomnia), tak mampu menguasai emosi, dan gairah seks yang menurun. Lebih dari itu, overtraining juga menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme, hormonal, dan kardiovaskular. Dalam studinya itu, Morgan pernah menjumpai seorang atlet berusia 20 tahun yang terkena serangan jantung tatkala sedang overtraining. Dampak overtraining ini memang mengerikan. Pada wanita, kadar estrogen menurun dan siklus menstruasi terganggu. Lebih dari itu, ada yang tingkat kesuburannya juga menurun. Pada pria, overtraining menyebabkan kadar testosteronnya susut sampai 17% dan jumlah spermanya berkurang sampai 29%. Semua gangguan itu bisa pulih hanya dengan mengurangi aktivitas olah raga mereka. Karena itu, banyak pakar kesehatan dan psikolog wanti-wanti menasihatkan, agar berolah raga tidak sembarangan. Yang juga patut dijaga ialah agar tidak terperangkap dalam overtraining. Lalu, bagaimana mengukur cukup atau tidaknya porsi olah raga buat seseorang? Jawabnya terpulang pada diri masing-masing. Jika pada saat berolah raga Anda terus-menerus mengalami rasa sakit di tungkai kanan, atau gara-gara olah raga Anda sampai menelantarkan pekerjaan dan keluarga, tibalah saatnya untuk berhenti. Jangan-jangan ada yang tak beres dengan kondisi kejiwaan Anda. American College of Sports Medicine punya kiat untuk berolah raga dengan sehat. Caranya dengan melakukan gerak aerobik selama 15-60 menit, tiga atau lima kali dalam seminggu. Upayakan agar denyut nadi mencapai 60%-90% dari maksimun detak jantung. Ini tak jauh berbeda dengan hasil studi mutakhir yang paling komprehensif tentang kebugaran, yang dipaparkan pada The Journal of the American Medicul Association edisi awal November 1989. Di situ disebutkan, jalan kaki lebih dari 30 menit selama lima kali dalam seminggu sudah cukup membuat badan Anda sehat. Ahmed K. Soeriawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus