Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kisah Si Gunung Gamping

Simposium di gedung Manggala Wana Bakti membahas dampak negatif kerusakan lingkungan batu gamping yang terus-terusan dipakai bahan baku semen, akan mengancam kehidupan sekitarnya.(ling)

13 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMANDANGAN itu tandus. Pohon terserak bergerombol di sana-sini, kalah oleh kilau putih batu-batu gamping. Udara panas. Sebuah pemandangan pegunungan gamping, kawasan yang dinilai sebagai gersang, tak banyak bermanfaat. Itu sebabnya, ketika pabrik semen di Indonesia mulai menanjak produksinya, di akhir 1970-an, orang pun bersyukur. Batu gamping adalah bahan baku semen, material yang penting dalam pembangunan. Kawasan tandus itu ternyata memberi pula manfaat. Tapi dua pekan lalu, 28 dan 29 Juni, di Gedung Manggala Wana Bakti, Jakarta, sejumlah ahli berbagai disiplin ilmu - antara lain ahli geologi, perairan, kehutanan, pertanian, kehutanan - bersimposium, memprihatinkan kawasan tandus ini. Apa pasalnya? Pemanfaatan pegunungan gamping yang berlebihan pada gilirannya justru akan membawa berbagai kerugian, kata Otto Soemarwoto, direktur Pusat Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Pajajaran, Bandung, yang ikut bicara dalam pertemuan ini. Memang, berapa besar sebenarnya pegunungan gamping digempur, diambil batunya untuk bahan baku semen, untuk bahan pupuk, belum jelas. Juga belum terdengar kerusakan satu kawasan pegunungan gamping yang drastis. Tapi justru kebelumjelasan itu yang mengkhawatirkan. Kita tak punya data lengkap kawasan batu gamping mana yang boleh dirusakkan, dan mana yang perlu dilindungi, kata Robby Ko King Tjoen, 47, dokter yang punya hobi meneliti gua-gua. Dalam simposium inilah tak kurang dari 21 ahli berbagai bidang yang bersangkutan dengan lingkungan batu gamping berbicara. Mereka membeberkan fungsi pegunungan gamping dengan gua-guanya, yang selama ini rupanya tak diperhatikan. Pegunungan gamping, kata Soewarno Darsoprajitno, 52, direktur Museum Geologi, Bandung, adalah penghimpun dan pengawet air tanah yang abadi. Boleh dibilang, kawasan itu menjadi "tangki alam raksasa," katanya. Sebab, akibat proses kimiawi batuan gamping banyak bercelah. Karena itu, air hujan mudah meresap, tersimpan aman di bawah gua-gua gamping. Menurut Purbo Hadiwidjoyo, 62, geolog alumnus ITB, peresapan bisa mencapai sekitar 80%. Itu sebabnya, di kawasan pegunungan gamping biasanya mengalir sungal di bawah gua. Salah satu contoh "tangki gunung gamping" sangat berarti adalah di daerah Juwangi, sekitar 50 km tenggara Semarang, Jawa Tengah. Di kaki gunung gamping Watujungkur, di kawasan itu, sebuah mata air tak pernah kering. Di musim kemarau mata air ini sangat berarti bagi penduduk sekitarnya. Maka, rencana pembikinan bendungan Kedung Ombo di kawasan itu, yang akan menggunakan urukan batu gamping, kini direncanakan dengan teliti oleh pihak Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan Departemen PU agar tak mengganggu sumber mata air Juwangi ltu. Adalah Otto Soemarwoto, ahli lingkungan hidup itu, yang membahas panjang lebar arti dan fungsi pegunungan beserta gua-gua gampingnya. Gua-gua itu, katanya, merupakan tempat hidup sejumlah hewan tertentu: kelelawar, burung walet, kecoak, kumbang, dan lain-lain. Di lingkungan gua itulah terjadi suatu komunitas hidup yang bergantung satu sama lain. Kelelawar berkembang biak di dalam gua-gua. Ada kelelawar yang hanya makan serangga yang ada di dalam gua, ada yang makan madu dan serbuk sari bunga-bunga. Sementara itu, kotoran kelelawar dan burung walet jadi makanan kecoak dan kumbang tertentu. Bangkai walet dan kelelawar pun jadi makanan bagi lalat atau jenis bakteri dan jamur tertentu. Bila salah satu anggota komunitas ini berkurang, apalagi lenyap, keseimbangan komunitas ini akan terganggu. Musnahnya kumbang, misalnya, akan menyebabkan kelelawar pemakan serangga bisa kelaparan, dan akhirnya punah. Tapi dampak terbesar bagi komunitas itu adalah rusaknya gua itu sendiri. Dan gua gamping mudah lenyap apabila pegunungan gamping yang jadi pelindung rusak. Kelelawar kehilangan tempat tinggal. Dan tak cuma kerusakan lokal yang kemudian terjadi. Sebab, kemudian pohon-pohon durian, petai, dan bunga-bunga tertentu akan menurun produksinya. Sobat mereka, para kelelawar - yang menolong terjadinya penyerbukan tanaman-tanaman itu dengan imbalan madu bunga - tak lagi datang. Serangga yang bisa merugikan dunia flora pun akan berkembang biak dengan pesat karena kelelawar pemakan serangga ikut pergi. Bahkan, kata Otto, bakau jenis tertentu akan menipis jumlahnya karena pengembangbiakannya ada pula yang bergantung pada bantuan penyerbukan dari kelelawar. Menipisnya hutan bakau, kawasan tempat ikan, dan udang bertelur mengganggu pula populasi binatang laut itu. Bisa pula terjadi pengikisan pantai. Dan nelayan pun akan terganggu, dan seterusnya. Tapi membiarkan saja kawasan pegunungan kapur juga berbahaya. Kawasan gundul akan mudah terkikis air hujan. Sisanya akan mengalir, dan makin menipiskan lapisan atas pegunungan. Otto menyarankan, pegunungan gamping sebaiknya ditanami Jenis tanaman yang punya akar sangat dalam, agar kawasan ini tidak longsor. Simposium yang diselenggarakan Himpunan Kegiatan Speologi (ilmu perguaan) ini tentunya jadi peringatan pertama untuk Indonesia, yang sekitar 19.000 km2, atau seperseratus daratannya, terdiri dari pegunungan gamping.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus