PEKAN lalu, tepatnya 8 Juli 1985, Fitriyanto genap berusia empat tahun. Anak bungsu dari tiga bersaudara yang bertubuh agak gemuk itu memang istimewa: ia tidak bisa tenang tanpa rokok. "Dalam sehari, sebungkus rokok habis diisapnya," ujar Sugiyanto, ayah Fitri, penduduk Karanganyar, Semarang. Kebiasaan Fitri sudah berlangsung sejak ia berusia dua tahun. Ketika itu ia hendak disapih ibunya, Suminem. Tapi Fitri kecil rupanya tidak begitu suka susu botol. Ia menangis sepanjang hari. Yang menarik perhatian Fitri justru kepulan asap rokok yang sering diisap ayahnya. Saat sang ayah meleng, Fitri mengambil sebatang rokok. Ia lalu memain-mainkan dan mencoba mengisapnya. Hari-hari berikutnya, anak itu makin gemar memainkan rokok, dan tangannya selalu meraih rokok yang sudah disulut. Kemudian, eh, ia sudah pandai menyulut sendiri, dan belajar menggigit atau meniup-niup filternya. Akhirnya, ia pun fasih merokok - meski tak bisa mengisapnya dalam-dalam. Oleh Sugiyanto, semuanya itu didiamkan saja. "Soalnya, kalau dilarang, ia menangis," katanya. Suminem, yang bersama suaminya berdagang udang, menduga bahwa anaknya itu kesambet - diganggu setan. "Masa anak kecil sudah doyan rokok. 'Kan tidak sewajarnya?" ujarnya. Untuk menyembuhkannya, Fitri dibawa ke dukun. Sayangnya, meski sudah lima dukun didatangi, kebiasaan Fitri tidak berubah. Dan bikirnya pun kini tampak kehitaman. "Mungkin, dia sudah mencandu sejak bayi karena tetek ibunya suka bau rokok," begitu kelakar Sugiyanto, akhirnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini