Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tahun 2000, Bandung Kering?

Menurut Dr. Rimmer dari Jerman, dalam waktu 10 th 20 sumur PDAM (perusakan daerah air minum) di Bandung Utara akan kering bila penyedotan lebih dari 600 l perdetik, diperkuat Gatot Hari Priowirjanto. (ling)

13 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM tahun 2000, Bandung mungkin kering. Menurut perhitungan Prof. Dr. Rimmer, ahli dari Jerman yang membantu merencanakan 20 sumur PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Bandung, dengan penyedotan 450 liter per detik, dalam waktu 10 tahun 20 sumur PDAM di kawasan Bandung Utara itu akan kering. Kecuali, kantung-kantung air tanah di situ mendapat suplai, dan banyaknya air yang disedot tak naik. Bila penyedotan lebih dari 600 l perdetik, ada atau tak ada pengisian kembali air tanah, menurut profesor ahli pengairan itu kekeringan itu tak bisa dihindarkan lagi. Kini, untuk mencukupi kebutuhan 42% dari 1,5 juta penduduk Bandung, pihak PDAM telah meningkatkan penyedotan 20 sumurnya menjadi total 600 l per detik. Kapasitas 20 sumur itu sendiri kini sekitar 1.500 I per detik. Dan dalam Pelita IV ini, sudah ditargetkan pelayanan air minum akan ditingkatkan untuk 75% dari seluruh penduduk. Hal ini, tak bisa lain, menyebabkan eksploatasi air tanah akan lebih meningkat. Adakah perhitungan si orang Jerman dianggap sepi? Tidak, sedikitnya oleh Gatot Hari Priowirjanto, 34, dosen Jurusan Tambang ITB. Orang ini pada 1977-1980 ikut aktif dalam pengeboran air tanah untuk PDAM Bandung. Dengan membayangkan bahwa kebutuhan air minum penduduk Bandung akan meningkat dari tahun ke tahun, Gatot ingin tahu efek penyedotan air tanah ini. Ia pun melakukan pengamatan sampai dengan 1983. Berbagai macam cara pengukuran turunnya air tanah ia lakukan: berdasarkan kecenderungan dari waktu ke waktu, berdasarkan analisa silang, dan lain-lain. Hasil pengamatan ia tuangkan dalam sebuah disertasi yang diajukannya di sekolah tinggi teknik di Aachen, Jerman Barat, beberapa bulan lalu. Dan kini Gatot berhak menyandang gelar doktor berkat disertasinya yang berjudul Penyelidikan Hidrogeologi dan Pemanfaatan Air Tanah di Daerah Dataran Bandung dan Prognose Penurunan Muka Air Tanah Berdasarkan Model Perbedaan Terbatas. Ketika Gatot mengadakan penelitian, produksi PDAM Bandung baru 15 juta m3 per tahun. Lalu ia mengandaikan produksi dinaikkan menjadi 20 juta m3 per tahun. Hasilnya, terjadi penurunan air tanah 12 m-27 m selama dua tahun. Itu untuk air tanah dalam. Untuk air tanah dangkal, penurunan permukaan mencapai 4 m. Akibatnya, di beberapa tempat ada kebocoran air tanah dangkal mengalir ke air tanah dalam. Di daerah ini sumur penduduk akan kering. Akibat jangka panjangnya, karena permukaan air tanah turun, terjadilah rongga-rongga yang kemungkinan besar akan menyebabkan tanah turun. Ini, tak sulit dipikirkan, tentu akan mempengaruhi bangunan-bangunan yang berdiri pada tanah yang turun itu. Di Indonesia dampak penurunan air tanah belum diselidiki benar, kata Gatot. Juga, sedikit catatan adanya perembesan air laut ke darat di Jakarta. Tapi, di Jerman Barat, tercatat hilangnya beberapa jenis flora dan fauna akibat turunnya air tanah. Yang mendebarkan yakni kenyataan bahwa produksi PDAM kini ternyata jauh melebihi dugaan Gatot. Eddy Kurniadi, 40, direktur utama PDAM Bandung, seperti telah disebutkan, mengatakan bahwa kini penyedotan air di 20 sumur PDAM mencapai 600 1 per detik. Itu berarti, hampir 34 juta m3 per tahun. Toh, Eddy belum was-was. Sebab katanya, pemilihan wilayah Bandung Utara untuk pengeboran air tanah PDAM sudah diperhitungkan. Di daerah ini daya serap tanah masih besar hingga pengisian kantung-kantung air berjalan lancar. Yang lebih mengkhawatirkan barangkali penyedotan sumur-sumur buat industri. Baik Eddy maupun Sudaryono - staf Asisten Menteri I Kependudukan dan Lingkungan Hidup - sumur-sumur itu tak terkontrol. Memang, ada peraturan yang menyebutkan bahwa pengeboran air tanah harus seizin gubernur misalnya di DKI Jakarta. Tapi karena berbelitnya izin dan kurangnya kontrol, Sudaryono yakin bahwa sumur-sumur air tanah lebih banyak jumlahnya daripada yang tercatat di pemda. Untuk sementara Gatot, doktor baru itu, mengusulkan digunakannya air Sungai Citarum. Hambatannya, kadar polusi di sungai ini tinggi. Itu sebabnya Eddy Kurniadi cuma tersenyum. Menurut dia, biaya untuk mensterilkan air Citarum bisa lebih mahal. Ada alternatif lain, kata Eddy, yaitu menawarkan air laut, atau mengambil air dari daerah Saguling, 60 km dari Bandung. "Tapi langganan air akan menjadi Rp 1.000 per meter kubik. Apa kita mampu?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus