Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kota-Kota Keracunan

Penelitian para ahli geografi Universitas Kebangsaan Malaysia, lima kota besar di Asia Tenggara : Jakarta, Singapura, Manila, Bangkok dan Kuala Lumpur terancam pencemaran berat (gas beracun). (ling)

24 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANAS, gerah, kotor, jauh dari apa yang bisa disebut nyaman. Hal-hal serba tak sedap itu melekat erat pada beberapa kota besar di Asia Tenggara. Manila, Bangkok, Jakarta, Singapura, dan Kuala Lumpur tampaknya hampir tak mungkin terbebaskan dari beberapa "aib lingkungan". Pertama-tama, semua kota itu membesar di luar batas-batas penataan dan estetika yang baik. Dalam hal ini, urbanisasi dituding sebagai penyebab utama. Tapi adalah gas-gas beracun yang kemudian muncul sebagai ancaman paling dahsyat untuk kesehatan dan kelangsungan hidup di sana. Hal itu sudah disinyalir Dr. Sham Sani Ph. D., sejak tahun 1970. Maka tergeraklah hati ahli geografi Universiti Kebangsaan Malaysia ini untuk meneliti lima kota terbesar di Asia Tenggara. Hasilnya? "Kota-kota tropis semakin panas saja rasanya," ucap pengamat lingkungan itu kepada TEMPO di Kuala Lumpur pekan silam. Pada tahun 1950, Shanghai tercatat sebagai kota terpadat di Asia dengan lima juta penduduk. Tapi menjelang tahun 2000, 45 kota lain serempak muncul menandingi Shanghai dalam segala kepadatan dan keburukannya. Bukan hanya penataan kota yang dianggap tidak memenuhi syarat, tapi pencemaran udaranya justru paling mengkhawatirkan. Ternyata, gedung-gedung pencakar langit yang menjamur di lima kota terbesar itu teah menyebabkan air potentials, atau daya yang dikandung udara untuk menyebarkan bahan-bahan pencemaran, semakin besar. Karena itu pula, Sham Sani tidak setuju pada pendapat yang menyatakan bahwa pencemaran di Asia Tenggara masih berada di bawah titik kritis. Pencemaran, kata peneliti ahli itu, berasal dari beberapa sumber, tapi sumber paling besar adalah kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak. Di Manila, pencemaran oleh kendaraan bermotor meliputi 75% dari seluruh pencemaran. Di Kuala Lumpur, 92% pencemaran juga berasal dari asap knalpot. Untuk mengetahui betapa bahayanya asap knalpot mobil bagi manusia, Jerman Barat pernah melakukan percobaan dengan gas knalpot mobil yang dihembus dan disalurkan ke dalam balon raksasa bergaris tengah 10 m. Setelah 15 jam, ternyata balon itu mengandung 523.000 liter gas racun, sebagian besar adalah karbonmonoksida dan nitrogenoksida. Zat racun yang bisa menurunkan kecerdasan anak-anak karena masuk dalam darah dan dengan mudahnya merusak jaringan otak manusia ialah kadar timbel (Pb). Semprotan knalpot jenis ini di Kuala Lumpur mencatat 0,84 gr/liter. Ini tanda bahaya. Buangan zat racun lain dari knalpot ialah SO2 (sulfur dioksida). Menurut Dr. R.T.M. Sutamihardja, Asisten I Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH), kawasan perdagangan Blok M mencatat SO2 tertinggi di Jakarta, yakni 0,654 ppm/jam. Tim interdepartemental (Kesehatan, Perindustrian, dan KLH) pada tahun 1982 telah mencatat kawasan elite Menteng, jangan kaget, sebagai wilayah permukiman dengan kadar SO2 paling berat, sebesar 0,731 ppm/jam. Sementara itu, kawasan industri Pulogadung baru 0,5606 ppm/jam. Mengapa? "Karena arus lalu lintas di Menteng cukup padat," kata Sutamihardja. Sedangkan kota-kota lain di Indonesia yang SO2-nya di atas 0,5 ppm/jam ialah kawasan Cicaheum di Bandung dan Gombel di Semarang. SO2 yang cukup tinggi bisa membawa efek berantai. Dia menurunkan daya penglihatan manusia, membuat logam cepat berkarat (korosif), dan menyebabkan cat lebih cepat luntur. SO2 juga dapat merusakkan klorofil (zat hijau daun) pada tanaman. Dan kalau konsentrasi SO2 lebih tinggi, daun-daun bisa rontok. Di Bangkok, semburan knalpot mobil ini terutama berasal dari bis dan truk yang menggunakan minyak solar. Dr. Vorawit Wattana, Kepala Bagian Kesehatan Lingkungan Bangkok, melakukan penelitian terhadap polisi lalu lintas di kotanya. Kepada TEMPO di Bangkok, Wattana menyatakan bahwa polisi lalu lintas telah menjadi mangsa pencemaran udara yang paling empuk. Petugas hukum ini bisa menderita sakit pusing-pusing, nausea, bronkitis, bahkan impotensi! Tidak terkecuali para sopir bemo yang kendaraannya pendek dan kecil. "Sayangnya," kata Wattana, "kami belum mempunyai fasilitas khusus untuk menangani korban-korban polusi udara." Tapi bukan hanya pencemaran udara yang menjadi calon "pembunuh misterius". Suhu yang bertambah panas serta rasa sesak dan gerah telah serta merta pula menghapus kenyamanan hidup. Ini dikarenakan model gedung-gedung di Asia Tenggara cenderung meniru kota-kota besar negara maju dengan pencakar langitnya yang tersohor itu. Gedung beton menjulang tinggi, jalan sempit, dan arus lalu lintas yang hiruk pihuk telah membelenggu peredaran udara. Panas pun semakin memuncak karena udara, yang seharusnya bisa berhembus, terhalang. Akibatnya, bukan saja air potentials semakin merenggut kesehatan, tapi sepoi angin harus diganti dengan alat pendingin. Artinya, beban biaya listrik bertambah. Coba ingat musim kemarau tahun lalu. Bulan Juni-Agustus, suhu di Jakarta pernah mencapai di atas 36C. Bandung dan Bogor yang dulu sejuk, kini penghuninya mengeluh kegerahan. Lebih celaka lagi, semakin meningkat pada siang hari, ketika manusia bekerja. Sebaliknya, pada malam hari, kawasan khatulistiwa yang seharusnya mendapat hembusan angin laut, terhalang. Angin bertiup kurang kuat, udara agak stabil, dan destilasi (kelajuan angin dan aliran udara) juga berkurang. Padahal, udara dan angin adalah penghantar polusi yang terbaik. "Meski intensitasnya berbeda," kata Sham Sani kepada TEMPO, "semuanya telah menunjukkan gejala bahaya." Hal ini menjadikan awan tebal menggantung tenang di atas kota. Kalau awan menitik menjadi hujan, itu pun sering diiringi petir yang sambar menyambar, begitu hasil penelitian Sham Sani. Akibatnya manusia bisa terkena penyakit jantung, serangan otak yang melumpuhkan, atau gangguan peredaran darah. Lalu bagaimana mencegahnya? KLH Jakarta menyarankan suatu masterplan kota Jakarta untuk tahun 2000, dengan pengembangan kota dari sebelah barat dan timur, sedangkan sebelah selatan untuk jalur hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota. "Payahnya," demikian Sutamihardja, "jalur hijau kini banyak dijadikan kawasan permukiman." Sedangkan di Singapura, syukurlah, jalur hijau ya tetap jalur hijau, dan disiplin pembagian lingkungan tetap dipegang. Untuk mengurangi tingkat polusi udara yang tinggi di daerah khatulistiwa ini, Sham Sani menganjurkan penghijauan. Saran lain, udara bersih dari luar kota harus bisa dialirkan dengan cepat ke dalam kota, dengan mengatur jalur lalu lintas yang sesuai. Untuk itu, gedung-gedung yang didirikan hendaknya tidak sampai menghalangi tiupan udara dari laut ke kota. Sebaiknya, dibuat pula danau-danau buatan, supaya daerah permukiman terjamin tetap hljau. Tambahan lain, standar emisi harus dilakukan untuk mengurangi pencemaran. Kini memang ada alat penyaring gas yang bisa dipasang di ujung knalpot. Di Malaysia sejak 1978 sudah berlaku Environmental Quality Act. "KLH kini baru menggodok UU Pengaturan Kualitas Udara," kata Suta. Di tanah semenanjung itu bahkan sudah ada pengadilan khusus untuk lingkungan. Lembaga Padi Negara (LPN) milik pemerintah Malaysia pernah didenda M$ 200 karena sembarangan membakar jerami. Menurut Direktur Jenderal Lingkungan Hidup Malaysia, S.T. Sundram, beberapa perusahaan swasta didenda sampai M$ 1.500 karena menebang pohon dan membakarnya. Kuala Lumpur yang berpenduduk sekitar satu juta saja, telah mencatat 5.000 sumber pencemaran udara. Bagaimana dengan KLH Indonesia? Sutamihardja terus terang berkata, "Pencemaran baru dalam tahap peringatan saja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus