Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Ahli polusi udara dari Institut Teknologi Bandung Puji Lestari mengatakan tingkat polusi udara di Jakarta belakangan ini memang agak tinggi. Menurut dia, ada beberapa faktor penyebabnya, seperti kondisi alam serta emisi atau gas buang dari sektor transportasi serta industri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kenapa pada akhir-akhir ini naik, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan selain dari sumber pencemarnya,” kata Puji, Jumat 11 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi alam, menurut Puji, berpengaruh besar. Pada musim hujan, polutan bisa luruh sehingga udara menjadi bersih. Namun sebaliknya, terlebih muncul El Nino yang bisa membuat kemarau bertambah kering dan panjang.
Situasi itu mengakibatkan polutan menjadi terakumulasi di angkasa. Kondisi atmosfer yang stabil dan kecepatan angin yang rendah juga membuat polutan tidak menyebar. L
“Terlepas dari kondisi alam kita juga harus tahu sebenarnya darimana sumber utama polusi udara yang ada di Jakarta,” kata Puji.
Puji dan timnya melakukan riset terbaru soal emisi dan distribusi pencemaran udara di Jakarta pada 2019 yang hasilnya dipublikasi pada 2022. Mereka menghitung tingkat polusi di tiga titik, yaitu di Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Polutan partikulat atau debu halus yang dinamakan PM2,5 menurut Puji, utamanya berasal dari transportasi dan industri.
“Dari transportasi bisa 46 persen, dari industri 43 persen,” ujar guru besar Teknik Lingkungan ITB itu.
Kendaraan bermesin diesel yang berbahan solar tergolong banyak menghasilkan polusi udara. Bahan bakar Biodiesel 30 persen diakuinya bisa mengurangi polusi.
"Tapi itu baru 30 persen, belum bisa berkurang secara penuh,” kata Puji.
Moda transportasi lain yang disoroti, yaitu kendaraan berat serta kondisi lalu lintas di Jakarta dengan tingkat kemacetan tinggi.
Sementara dari jenis polutannya, sumbernya bisa diketahui. Gas CO atau karbon monoksida lebih banyak dari transportasi. Sedangkan NOx atau nitrogen oksida berasal dari pembangkit listrik. Sedangkan SO2 alias sulfur dioksida biasanya banyak dari industri.
"Itu sumber-sumber polusi yang utama di Jakarta,” ujar Puji.
Pada 8-9 Agustus 2023 misalnya, kualitas udara di Jakarta tergolong yang terburuk di dunia. Melansir laman IQAir, perusahaan teknologi asal Swiss yang berfokus pada pengukuran kualitas udara, indeks kualitas udara Jakarta pada dua hari itu adalah 160 hingga 164. Salah satu konsentrasi yang menjadi polutan utama, yaitu PM2.5 sebanyak 72 mikrogram per meter kubik.
Secara harian, menurut Puji, tingkat polusi di Jakarta berfluktuasi. Dari hasil pengukuran kadang bisa di bawah angka baku mutu atau sebaliknya.
“Tapi kalau dilihat secara tahunan kita lihat data rata-rata tahunan itu yang paling bahaya,” kata Puji.
Organisasi kesehatan dunia atau WHO menetapkan baku mutu rata-rata tahunan 15 mikrogram per meter kubik. Sementara pemerintah Indonesia sejak 2021 menetapkan baku mutunya 55 mikrogram per meter kubik.
"Kalau menurunkan lebih ketat lagi lebih bagus sebenarnya tapi banyak konsekuensinya,” kata Puji.
Konsekuensinya seperti menerapkan pengendalian polusi, aturan dalam Undang-undang dan memperketat standar emisi kendaraan dan industri.