PENDUDUK Dusun Bagan Luar, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, sejak empat tahun lalu terancam tenggelam disapu ombak pasang perbani. Ancaman itu kini semakin nyata. Bila dulu, empat tahun lalu itu, jarak dusun dengan pantai muara 25 m, pada Desember tahun ini jarak itu tinggal 4 m. Dan yang gawat, jarak itu niscaya terus meyempit, sementara ombak pasang besar selalu datang dua kali sebulan ke pantai 175 km dari Medan itu. Yang diganyang si perbani ternyata bukan hanya Dusun Bagan Luar yang memang berada di barisan depan pantai Batubara. Tetapi juga Desa Masjid Lama dan kota Kecamatan Tanjung Tiram juga berpesta air. Padahal lima tahun lalu, pantai di situ terkenal keindahannya. Ada pasir putih yang menggunung dengan latar belakang pepohonan pantai, seperti bakau, api-api, dan barombang, yang tumbuh subur. Perpaduan akar pohon bakau yang bagaikan cakar burung elang itu dengan gunung pasir putih yang merupakan benteng alam itu kini sudah raib. Pantai indah yang pernah dijadikan lokasi pembuatan film Nelayan dari Pantai Seberang di tahun 1963 itu kini tinggal kenangan. Pasir putih itulah, yang dalam dunia industri disebut pasir kuarsa, yang menjadi pangkal bencana. Bukan pasirnya benar, memang, tapi karena ulah manusia juga. Sejak 1981 pasir itu dikeruk. Bukit putih yang dulu setinggi 2-3 m sepanjang 2 km, kini rata, berlubang-lubang sedalam 1-2 m. Mengerikan. Akibatnya, lapisan tanah yang tertinggal sedikit demi sedikit dikikis ombak. Sebab, hilangnya bukit juga berarti lenyapnya pepohonan pantai, yang tadinya berfungsi sebagai cerocok alam. Maka air laut semakin menjorok ke perut Pulau Sumatera. "Dulu, pantai ada di tunggul itu," tuding Rajali S., 45, penduduk Bagan Luar. Berkata begitu sambil menuding tunggul kayu yang ada di tengah laut, sejauh 240 m. Itu juga berarti perembesan air laut ke daratan makin ganas. Di Masjid Lama sekitar 160 ha kebun kelapa penduduk tak lagi mau berbuah. Beberapa pohon tampak daunnya menguning. "Keracunan asinnya air laut," tukas Mahyudin, yang jadi kepala desa Masjid Lama. Selain itu puluhan hektar tambak udang juga porak-peranda. "Padahal, tambak milik rakyat ini mendapat kredit dari BRI," ujar Drs. Raharja Sinulingga, pimpinan Yasika, badan swasta yang mengadakan penelitian tentang dampak pengerukan pasir ini. Siapa punya ulah? Penduduk menuding si pengeruk pasir. PT Jati Suma Indah Keramika Surabaya Ltd. yang beralamat Surabaya yang mengantungi izin Dirjen Pertambangan Umum sejak 1981. Menurut Yasika, PT Jati mendapat kuasa untuk menambang pasir kuarsa di situ selama 15 tahun dan hak menjualnya selama 10 tahun. Penggaliannya sendiri dilakukan dalam jangka waktu 2-3 bulan sekali. Sebuah ponton di tengah laut yang menjadi alat tampung pasir dan sebuah titian papan menjorok ke darat ratusan meter panjangnya. Titian ini makin lama makin panjang. Kini sudah menjulur sejauh 240 m. Syahdan dalam waktu empat tahun, menurut perhitungan Yasika, 480.000 m3 pasir kuarsa telah diangkut oleh PT Jati. "Ini telah melampaui batas yang diizinkan pemerintah," ujar Kamaludin Lubis. Akibatnya, Dusun Bagan Luar, yang tadinya berjarak 300 m dari lokasi pengerukan pasir, kini tinggal 60 m saja. Desa Masjid Lama, yang tadinya berjarak 3 km dari lokasi pengerukan, kini tinggal 100 m saja. Juga kota Kecamatan Tanjung Tiram yang berpenduduk 3.186 jiwa. Dulu berjarak sekitar 400 m dari pengerukan pasir, tapi kini tinggal 100 m. Konon, Bupati Asahan, Zulfirman Siregar, sudah memberhentikan pengerukan tersebut. Menurut Kamaludin Lubis, Direktur LBH cabang Medan, "PT Jati harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum." PT Jati sendiri tak mempunyai perwakilan di Asahan atau Medan. Pelaksananya, yang bernama Subandi, hanya datang ke Tanjung Tiram kalau ada pengerukan. Begitu pengerukan selesai, usai pula ratusan pekerja pengerukan. Subandi bersama pasir kuarsa, konon, pulang menuju Surabaya. Di Surabaya, memang ada PT tersebut. Tetapi ketika TEMPO ingin tahu lebih banyak, direkturnya, Hadi Joyowisastro, menolak memberi keterangan apa pun. "Hubungi saja project officer-nya di sana," ujar Hadi, sambil menegaskan bahwa dia dan PT-nya tak tahu-menahu tentang hal ini. Dari Dirjen Pertambangan Umum Drs. Soetaryo Sigit, belum diperoleh keterangan apa pun. Sementara itu, paling sedikit 400 jiwa penduduk Dusun Bagan Luar - belum lagi penduduk Desa Masjid Lama dan kota Kecamatan Tanjung Tiram, selalu cemas. Bila mungkin, tentu mereka telah meninggalkan kampung halamannya. Tapi ke mana? Sebab, itu juga berarti, setidaknya, mendapatkan tanah baru, rumah baru, dan lapangan pekerjaan baru. Dan itu, siapa pun tahu, tidak mudah. Toeti Kakialiatu Laporan biro Medan & Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini