Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perang Lopa Yang Baru

Baharuddin lopa menyidik kasus pelelangan kapal m.v. jiang loong milik lai lien teng. ia mencurigai ada kasus suap di belakangnya. bermula dari gugatan gaji para awaknya ke pengadilan. (hk)

28 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHARUDDIN Lopa lagi. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan itu, seakan-akan, tidak melewatkan sehari pun dari masa dinasnya untuk memberantas korupsi. Pekan-pekan ini, misalnya, ia sibuk dengan proyek barunya: menyidik pejabat-pejabat pengadilan dan Kantor Lelang Negara di Ujungpandang, yang diduganya melakukan penyelewengan dalam pelelangan kapal berbendera Panama, M. V. Jiang Loong. Lopa belum bersedia mengungkapkan hasil pengusutannya. "Sebab, kasus itu masih dalam tahap penyidikan," katanya kepada TEMPO. M.V. Jiang Loong, awal 1983, disandera oleh sekitar 20-an awaknya di pelabuhan Makassar dalam perjalanan dari Pulau Buton ke Bengkulu. Para awak kapal yang terdiri dari berbagai bangsa, di antaranya Indonesia, Taiwan, Bangladesh, Pakistan, dan India, memprotes keterlambatan pembayaran gaji mereka sejak beberapa bulan sebelumnya. Lai Lien Teng, Presiden Direktur Jiang Loong Maritime S.A. di Taiwan yang datang ke Indonesia, menemukan kapalnya di pelabuhan Makassar telah di preteli peralatannya oleh awak kapal yang mogok. Sebab itu, ia melapor ke polisi, dan menuduh awak kapalnya melakukan pencurian. Akibatnya, 11 awak kapal Jiang Loong dihukum 3 bulan penjara dalam masa percobaan 6 bulan. Belakangan, di Jakarta, Lai ditahan pihak imigrasi karena masa berlaku paspornya sudah habis. Sementara itu, para awak kapal yang dipecat menggugatnya bersama nakoda kapal, Felly Dalawir, ke Pengadilan Negeri Ujungpandang. Para penggugat menuntut ganti rugi berupa 13 bulan gaji, uang lembur, bonus, uang makan, ganti rugi karena ditahan polisi selama 37 hari, dan akibat divonis hukuman yang seluruhnya berjumlah Rp 170 juta lebih. Gugatan itu diproses oleh pengadilan, tanpa sekali pun dihadiri oleh pihak tergugat. "Sebab, Lai tidak pernah menerima surat panggilan pengadilan," ujar Sudarnie Djalle, penerjemah, yang kemudian menjadi kuasa pemilik kapal. Dalam gugatan dan surat panggilan, kata Sudarnie, dicantumkan alamat Lai di M. V. Jiang Loong. "Padahal, semua penggugat tahu benar bahwa alamat pemilik kapal di tempat tahanan imigrasi di Jakarta," ujar Sudarnie lagi. Hakim Said Harahap, yang memeriksa perkara itu, berhasil mendamaikan pihak penggugat dan tergugat - pihak tergugat hanya dihadiri nakoda kapal. Dalam akta perdamaian, 24 Mei 1984, disebutkan bahwa penggugat mencabut kembali perkara itu, sementara pihak pemilik kapal setuju membayar tuntutan para penggugat. Bahkan, pihak tergugat setuju kapal Jiang Loong dikenai sita jaminan dan sita eksekusi. Berdasarkan akta perdamaian itu, panitera kepala di pengadilan Ujungpandang, Muhammad Yunus, mengumumkan pelaksanaan lelang melalui koran-koran setempat. "Bayangkan, pemilik kapal tidak menerima pemberitahuan penetapan lelang itu," ujar Sudarnie. Lai mengetahui rencana kapalnya akan dilelang melalui temannya. Buru-buru ia mengirimkan surat bantahan ke pengadilan. Karena itu, ia mendapat panggilan untuk menghadap ke pengadilan, 25 Juli. Tapi, cerita Sudarnie, ketika Lai sampai Ujungpandang, 23 Juli, ia mendapat informasi bahwa kapalnya akan dilelang hari itu. Bersama Sudarnie dan seorang pengacara, Lai segera menghadap Serang, dan meminta lelang ditunda karena surat panggilannya tertanggal 25 Juli. Tapi Serang bersikeras melaksanakan lelang hari itu juga. Lai kemudian hanya minta diberi prioritas menjadi pemenang lelang. "Boleh saja asal Anda menyetor Rp 5 juta," kata Sudarnie, menirukan ucapan Serang waktu itu. Lai segera meminta izin kembali ke hotel untuk mengambil uangnya. Sesampainya di hotel, Lai kaget, karena sudah ditunggu polisi yang menuduhnya melarikan diri dari tahanan imigrasi. Setelah urusan dengan polisi beres, barulah ia ke tempat lelang di Kantor Perhubungan Laut. Tapi bagai, "lebai malang", lagi-lagi ia kecele: kapalnya sudah dilelang dengan harga Rp 77 juta. Seorang pedagang besi tua dari Surabaya memenangkan lelang itu di hadapan Panitera Yunus, Juru Lelang Bambang Soetrisno, dan Syahbandar Willian. Belakangan Sudarnie mendapat inforrnasi bahwa uang yang dibayarkan pemenang sebesar Rp 150 juta. Itu pun, kata Sudarnie, masih sangat murah, mengingat kapal 7.760 DWT itu jika dijual sebagai besi tua saja bisa laku dengan harga Rp 400 juta. "Sebab itu, setelah selesai lelang, pemenang bisa menjual kapal itu dengan harga Rp 200 juta kepada seorang pedagang besi tua dari Madura," ujar Sudarnie, yang belakangan melaporkan kecurigaannya itu kepada Lopa. Baharuddin Lopa, yang mengaku sudah mengusut empat orang peserta lelang, syahbandar, dan juru lelang, membenarkan bahwa ia mendapat indikasi kuat lelang itu dilatarbelakangi soal suap. Tapi, sampai pekan lalu, Lopa menolak menjelaskan siapa-siapa yang terlibat dalam "permainan" itu. Serang tidak banyak komentar atas pengusutan Lopa itu. "Prosesnya, setelah hakim memutuskan gugatan, saya membuat putusan lelang eksekusi. Pelaksanaannya dilakukan panitera, hasilnya kemudian dilaporkan kepada saya, dan saya serahkan kepada yang berhak, yaitu penggugat, para awak kapal," kata Serang. Bagaimana Pak Lopa?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus