KASIR Apotek Jakarta di Jakarta, Irawan Hadisurya, kendati terbukti keliru memberikan obat yang seharusnya untuk orang dewasa kepada seorang bayi, ternyata dibebaskan hakim dari tuduhan menyebabkan matinya bayi itu. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diketuai Oemar Sanusi, Selasa pekan lalu berkesimpulan bahwa kematian bayi Eric Wong bukan karena keracunan obat, melainkan akibat infeksi virus yang dideritanya. Mendiang Eric Wong, 11 Februari 1983, itu memang sakit batuk pilek. Ayahnya, Wong Ing Hwa, membawanya ke dr. Indrajana Soediono, di Jalan Batuceper Jakarta. Kembali dari dokter Wong membeli obat untuk anaknya ke Apotek Jakarta. Di situlah kekeliruannya. Irawan, yang bertugas malam itu, memberi nomor resep Eric 168. Setelah itu nomor yang sama diberikan pula kepada pasien lain, orang dewasa. Sampai di rumah, tanpa curiga, Wong dan istrinya membuka kapsul obat yang barusan ditebus dari apotek. Kemudian, setelah mengaduk isinya dengan air, mereka meminumkan obat itu kepada Eric. Tidak lama setelah itu, wajah Eric, yang baru berusia enam bulan itu, membiru. Bayi itu segera dilarikan Wong kembali ke dr. Indrajana. Dokter itulah yang memastikan Eric keracunan akibat salah obat. Dan, berdasarkan pengantar Indrajana, bayi itu dirawat di rumah sakit. Tapi, malang, 16 hari kemudian Eric meninggal dunia. Di sidang pengadilan, Irawan terbukti melakukan kelalaian. Ia sebenarnya tidak berhak mengurusi soal obat, karena statusnya hanya kasir. Kecuali itu, ia keliru menuliskan nomor obat pasien, sehingga obat untuk orang dewasa terminum seorang bayi. Padahal, obat itu, menurut pemeriksaan laboratorium Mabak, berisi paracetamol (pengurang rasa nyeri), mentalium (penenang), artane (obat kejang), dan stemetil (antimuntah). Toh, Jaksa Basrief Arief sendiri yang menuntut kasir itu dibebaskan. Sebab, dari keterangan saksi-saksi, terbukti bahwa kematian Eric bukan karena salah obat, melainkan akibat infeksi virus. Keterangan saksi ahli itu diperkuat visum yang dikeluarkan dr. Agus Purwodianto. Majelis hakim bukan saja mengabulkan tuntutan jaksa, tapi juga memenuhi permintaan Pembela O.C. Kaligis, berupa rehabilitasi nama baik Irawan. "Ia memang lalai, tapi obat itu tidak mempunyai efek mematikan. Jadi, tidak ada korelasi yuridis antara mati dan salah obat " ujar Oemar Sanusi kepada TEMPO. Indrajana tetap merasa aneh mendengar visum dan vonis itu. Sebab, menurut dokter itu, untuk membuktikan bahwa bayi itu meninggal akibat infeksi virus, diperlukan alat berupa mikroskop elektron. "Kita hanya punya sebuah di Bandung, itu pun sudah rusak." Untuk membuktikan itu, katanya hanya bisa dilakukan di luar negeri. Yang pasti, menurut Indrajana, salah satu obat yang termakan oleh Eric bisa menimbulkan kekejangan otot, selanjutnya mengganggu pernapasan, sehingga tubuh menjadi biru. Gangguan pernapasan untuk waktu lama, katanya, bisa menimbulkan radang otak. "Kalau sampai ke situ, pasien akan mati," ujar Indrajana. Benar atau tidak pendapat lndrajana, memang, tidak ada yang membuktikannya. Tapi, anehnya, seminggu sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan justru memvonis Bidan Siti Aisyah, yang terbukti menyuntik pasiennya sehingga meninggal, dengan hukuman 5 bulan penjara. Padahal, visum yang dikeluarkan LK UI tidak memastikan pasien itu meninggal akibat salah suntik. Dan dua orang saksi ahli yang didatangkan mengatakan bahwa tindakan bidan itu tidak menyalahi aturan. Hanya saja di sidang terbukti, sebagai bidan, Aisyah tidak diperkenankan menyuntik tanpa izin seorang dokter. Tapi itulah, lain hakim, lain vonisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini