Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sampah botol air minum berbahan polietilena tereftalat (PET) bisa didaur ulang menjadi botol minum baru.
Pelaku usaha daur ulang makin banyak.
Bahan baku daur ulang sampah plastik masih sedikit karena sampah tidak terpilah dengan baik.
BERDIRI di Kampung Cangkorah, Desa Cangkorah, Kecamatan Batujajar, Padalarang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, PT Namasindo Plas menjadi pionir industri daur ulang sampah plastik berupa botol air minum berbahan polietilena tereftalat (PET). Betsi Pelangi, Corporate Service PT Namasindo Plas, bercerita, perusahaannya terjun ke bisnis daur ulang botol plastik ketika pemilik perusahaan mendapat tawaran mesin pembuat botol setengah jadi alias preform dari pemasok.
“Pak Yanto Widodo waktu itu berpikir, kalau mencetak (preform) ini, nanti diubah menjadi botol, terus sampahnya ke mana?” kata Betsi saat ditemui di kantor PT Namasindo Plas, Kamis, 4 Agustus lalu. “Akhirnya diputuskan, oke, sebelum membeli mesin ini, saya bikin dulu fasilitas untuk mengolah sampahnya,” tutur Betsi menirukan ucapan Yanto Widodo, pemilik dan Presiden Direktur PT Namasindo Plas, kala itu.
PT Namasindo, yang berdiri pada 2001, awalnya memproduksi kemasan makanan. Selain di Kabupaten Bandung, PT Namasindo memiliki dua pabrik masing-masing di Solo, Jawa Tengah; dan di Medan, Sumatera Utara. Pabrik Solo dan Medan memproduksi kemasan untuk makanan, sementara di Padalarang ini satu-satunya yang memiliki fasilitas daur ulang botol PET menjadi PET daur ulang (RPET).
Santi Suryati, Corporate Quality Assurance Manager PT Namasindo Plas, mengaku mengikuti proses pengembangan fasilitas pengolahan sampah plastik PET itu sejak awal. “Konsep RPET PT Namasindo dari awal adalah untuk membuat dari botol bekas menjadi botol baru,” ucapnya, Kamis, 4 Agustus lalu. “Jadi, konsepnya sudah dari awal, sebelum ramai isu lingkungan terkait dengan sampah plastik.”
Santi mengatakan perusahaannya membutuhkan waktu cukup lama untuk memutuskan fokus memproduksi RPET yang aman untuk makanan. Empat tahun setelah fasilitas daur ulang sampah plastik beroperasi, atau pada 2012, perusahaan menambah mesin solid-state polycondensation (SSP) dalam lini daur ulang limbah plastik PET. “Mesin SSP ini berfungsi menyerap bahan organik berbahaya atau residu-residu yang mungkin tertinggal dari tahap penanganan sampah,” ujar Santi.
Sembari mengembangkan fasilitas daur ulang sampah plastik, kata Betsi, perusahaan menyiapkan lini pasokan botol bekas sebagai bahan baku. PT Namasindo memilih mitra yang disebut collection center sebagai pemasok bahan baku. Saat ini ada tiga collection center terbesar, yakni di Bali-Lombok; Bandung; dan Tangerang, Banten. “Ini yang besar-besar. Yang kecil-kecil menyuplai ke collection center,” tuturnya.
Collection center, Santi menjelaskan, menyuplai bahan baku berupa serpihan botol plastik yang telah melewati proses penyortiran, penggilingan, serta pencucian tanpa bahan kimia. Pemilihan bahan baku berwujud serpihan itu, Santi menambahkan, bertujuan menjaga ekosistem pabrik terutama dari aspek kebersihan karena mengejar standar food grade. “Benar-benar harus botol minuman. Kalau pernah diisi oli bekas, misalnya, sudah tidak bisa digunakan,” ucapnya.
Proses daur ulang di Namasindo, kata Santi, melewati sejumlah tahap. Di antaranya pencucian, pembuatan pellet, dan proses SSP untuk menjadikan resin daur ulang aman dipakai kembali sebagai botol minuman. “RPET sama amannya dengan plastik murni (VPET) yang diproduksi dari olahan minyak bumi. Pembuatan botol plastik itu bisa dari bahan VPET saja, campuran VPET dan RPET, atau RPET saja,” ujarnya.
Danone-Aqua, produsen air minum dalam kemasan merek Aqua, misalnya, berani merilis botol minuman berbahan 100 persen RPET pada 2019. Minuman dalam kemasan 100 persen RPET itu diluncurkan perdana di Denpasar, Bali. Menurut Betsi Pelangi, bisnis inti Namasindo saat ini memproduksi kemasan plastik minuman seperti botol dan galon. “Khusus untuk RPET, sebagian besar produksinya untuk memasok botol Danone-Aqua,” ucapnya.
Betsi mengklaim RPET produksi perusahaannya telah diakui negara lain. “PT Namasindo sempat ekspor. Permintaan luar negeri banyak, tapi suplai kami belum dapat memenuhi,” tuturnya. Selain itu, produsen daur ulang plastik dari Jepang pernah menawari Namasindo mengolah sampah plastiknya. “Bos saya bilang, kenapa kita mengimpor sampah? Kita kan mau menyelesaikan masalah sampah Indonesia. Jadi kami tolak,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumpukan galon air mineral baru berbahan sampah botol minuman kemasan plastik di pabrik pengolahan daur ulang plastik PT Namasindoplas di Batujajar, Bandung Barat, Jawa Barat, April 2021/TEMPO/Prima Mulia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mesin daur ulang produksi RPET PT Namasindo saat ini, Betsi melanjutkan, memiliki kapasitas produksi 1.200-1.300 ton per bulan. Kapasitas maksimal tersebut pernah tercapai pada awal berdirinya fasilitas daur ulang sampah karena belum ada pesaing. “Di awal-awal iya, karena pesaing tidak ada. Sekarang pesaing banyak,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Christine Halim mengatakan jumlah pelaku usaha daur ulang berkembang pesat karena makin banyak yang melihat peluang ekonomi dari bisnis ini. Menurut Christine, saat ini anggota ADUPI yang tercatat saja lebih dari 600 perusahaan. “Anggota kami tidak hanya dari industri, tapi juga bank sampah, pemulung, pelapak, akademikus, dan peneliti serta lembaga swadaya masyarakat,” ucapnya.
Christine memberi contoh, dia bergabung ke asosiasi karena merupakan pengusaha daur ulang sampah. Ia memiliki pabrik PT Bumi Indus Padma Jaya. Pabriknya mendaur ulang botol PET menjadi pellet yang dapat dibuat menjadi barang-barang non-makanan, seperti serat poliester. Pada November nanti, kata Christine, perusahaannya akan meluncurkan usaha daur ulang botol PET menjadi botol minum kembali.
Tak hanya mengolah botol PET, Christine menjelaskan, ada anggota asosiasi yang mendaur ulang kantong plastik sekali pakai yang konon dianggap tidak bisa didaur ulang. “Ada ratusan perusahaan yang menjadi anggota kami yang melakukan daur ulang kantong kresekitu. Termasuk Wakil Ketua Umum ADUPI Pak Justin Wiganda,” ujar Christine. Kantong-kantong sekali pakai, ucap Christine, dipungut dari tempat pemrosesan akhir, lalu diolah menjadi kantong kresek kembali dan kantong sampah.
Adapun kemasan plastik multilayer seperti saset, menurut Christine, memang sulit didaur ulang. “Saset itu berlapis-lapis dan jenis lapisannya berbeda. Karena menempel dan ukurannya kecil, sulit dipisahkan,” tuturnya. Meski begitu, kata dia, ada anggota asosiasinya yang mendaur ulang plastik itu menjadi bahan bangunan pengganti batako. “Ini yang butuh dorongan regulasi agar industri seperti ini bisa survived. Kalau di Korea Selatan, produk itu wajib dibeli oleh kontraktor yang mendapat proyek pemerintah,” ujarnya.
Ihwal bahan baku daur ulang untuk pabriknya, Christine mengaku tidak mengalami kesulitan karena sudah memiliki pemasok reguler. “Saya sebelum membangun pabrik berangkat dari lapak, jadi tahu di mana bahan baku ini,” katanya. “Tapi banyak juga investor yang datang ke Indonesia mengira bahan baku melimpah, ternyata tidak ada karena sudah diambil oleh pabrik-pabrik lokal,” tuturnya. “Akhirnya, karena sudah kadung investasi, mereka meminta izin impor plastik dari luar negeri.”
Sementara itu, di PT Namasindo Plas, menurut Betsi Pelangi, pasokan bahan baku agak terganggu akibat persaingan dalam mendapatkan sampah plastik bekas minuman. Penyebabnya, kata Betsi, bahan baku sampah menurun akibat pandemi Covid-19. “Hampir semua aktivitas masyarakat berada di rumah sehingga terjadi penurunan jumlah sampah botol minuman.” Santi Suryati menambahkan, kendati situasi sudah normal, pasokan sampah belum pulih. “Kapasitas yang terserap 50-60 persen,” ucapnya.
Betsi mengatakan jumlah sampah di Indonesia besar, tapi pengolahannya tidak tepat sehingga berakhir menjadi sampah belaka. “Sampah banyak, tapi bahan baku daur ulang susah, karena sampah tidak terpilah dengan baik,” ujarnya. Christine mengamini kondisi tersebut. “Ini juga membutuhkan regulasi. Kalau masyarakat kita diharuskan memilah sampah plastik seperti di Jepang, akan sangat memudahkan,” tuturnya. “Peran kami juga mengedukasi masyarakat untuk memilah sampahnya.”
DODY HIDAYAT, AHMAD FIKRI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo