Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peta jalan pengurangan sampah oleh produsen 2020-2029 dianggap belum cukup agresif untuk mengatasi timbulan sampah di hilir.
Pengurangan sampah baru menyentuh hilir dan tak ada kewajiban bagi produsen untuk mengurangi penggunaan kemasan plastik sekali pakai.
Menyisakan persoalan di hulu.
SUDAH dua tahun lewat sejak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengesahkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Peraturan yang disahkan pada 5 Desember 2019 ini meminta produsen yang menggunakan kemasan plastik atau kemasan lain yang sulit didaur ulang mengurangi penggunaannya untuk mengurangi sampah plastik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara spesifik, peraturan ini menyasar produsen di sektor manufaktur, seperti makanan dan minuman, barang konsumsi, serta kosmetik dan perawatan tubuh, juga produsen di sektor jasa makanan dan minuman. Industri retail seperti pusat belanja dan pasar rakyat tradisional juga tak luput dari peraturan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga Mei lalu, KLHK mencatat sudah ada 33 produsen yang mengirimkan dokumen peta jalan mereka. Mayoritas adalah produsen kakap di industri manufaktur, seperti PT Tirta Investama (Danone-Aqua), PT Unilever, dan PT Procter & Gamble Home Products Indonesia. Sementara itu, produsen di sektor retail yang telah mengirim dokumen adalah PT Matahari Department Store Tbk dan PT Lion Super Indo.
Dalam peta jalan Danone-Aqua, pendekatan yang diambil adalah model bisnis ekonomi sirkular. Aqua juga akan terus mempertahankan bisnis dengan kemasan galon guna ulang yang diklaim memiliki porsi 70 persen dari keseluruhan bisnis Danone-Aqua. Aqua mengklaim telah mengumpulkan 13 ribu ton kemasan plastik, mengedukasi 19 juta orang mengenai pengelolaan sampah, dan berinovasi dengan menggunakan botol yang 100 persen berasal dari daur ulang botol bekas berbahan polietilena tereftalat (PET).
Menurut Aliansi Zero Waste Indonesia, jumlah produsen yang membuat peta jalan ini sangat jauh dari cita-cita pengurangan timbulan sampah. Aliansi merujuk pada data Kementerian Perindustrian yang menyebutkan jumlah perusahaan manufaktur skala besar dan menengah besar di Indonesia hingga 2021 sebanyak 29 ribu. Sementara itu, angka konsumsi minuman ringan dalam kemasan menurut laporan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives pada 2021 mencapai 20,23 liter per orang per tahun, meningkat 15 persen dalam 20 tahun terakhir.
Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Daru Setyorini mengatakan jumlah konsumsi itu mengindikasikan adanya peningkatan pula dalam pemakaian kemasan plastik di industri tersebut. "Dari sekian juta kemasan yang diproduksi, yang limbahnya dapat didaur ulang oleh industri daur ulang di Indonesia masih di angka 14-15 persen," katanya. Pada 2019, menurut Daru, Kementerian Perindustrian mencatat Indonesia membutuhkan 7,2 juta ton bahan baku plastik murni, sementara industri domestik baru mampu memenuhi 2,3 juta ton.
Daru mengatakan posisi ini menempatkan Indonesia dalam kondisi darurat. Selain harus mengimpor bahan baku plastik—meningkatkan pemakaian minyak bumi untuk memproduksi bahan baku plastik murni—Indonesia mesti mengelola sampah plastik yang timbul setelah habis dikonsumsi masyarakat. "Itulah urgensi mengurangi pemakaian kemasan plastik yang akan berakhir menjadi limbah sejak dari hulu, sejak awal proses produksi," ucapnya.
Anggota aliansi yang lain, Fajri Fadhillah dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan aturan peta jalan yang dibuat KLHK masih menyisakan banyak celah. Salah satunya peraturan ini tidak bersifat mandatory atau wajib. "Ini masih bersifat voluntary atau sukarela. Tak ada paksaan yang mengikat industri untuk segera merancang peta jalan pengurangan sampahnya dengan serius,” ujarnya. “Juga tak ada sanksi yang diterapkan dan tidak jelas berapa produksi kemasan plastik yang akan diturunkan produsen karena tak ada transparansi.”
Aktvis lingkungan membawa poster dan instalasi ular dari sampah plastik saset saat pawai bebas plastik di Kawasan Sudirman, Jakarta, 24 Juli 2022./TEMPO/M Taufan Rengganis
Peta jalan yang termaktub dalam peraturan menteri itu menyebutkan pengurangan sampah dilakukan terhadap kemasan jenis plastik, kaleng aluminium, kaca, dan kertas. Sementara itu, opsi yang diberikan ada tiga. Pertama, pembatasan timbulan sampah dengan menggunakan produk yang mudah diurai oleh proses alam atau tidak menggunakan sama sekali. Kedua, pendaurulangan menggunakan kemasan yang dapat didaur ulang atau bahan baku produksi hasil daur ulang. Ketiga, pemanfaatan kembali sampah menggunakan bahan baku produksi yang dapat digunakan ulang.
Menurut Fajri, adanya opsi-opsi ini menjadi tantangan sendiri bagi upaya pengurangan sampah plastik. "Dalam implementasinya baru mengatasi limbah yang di hilir, belum mengatasi dari hulu," katanya. Padahal, dia menambahkan, aturan ini adalah bentuk konkret pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam penjelasan undang-undang itu disebutkan ihwal pengurangan limbah sejak dari hulu, sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah. "Namun ini berjalan sangat lambat dan belum ada upaya serius untuk ke sana," tuturnya.
Padahal Indonesia memiliki beban target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) atau pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional yang memadai. Target itu antara lain berasal dari sektor limbah plastik yang sarat dengan emisi gas rumah kaca dalam keseluruhan daur hidupnya. Dalam komitmen NDC yang diperbarui pada 2021, Indonesia menargetkan penurunan emisi di sektor limbah sebesar 0,38-1 persen dengan tingkat emisi yang ditargetkan pada 2030 sebesar 296 ton setara karbon dioksida (CO2e).
Dalam dokumen disebutkan tingkat emisi gas rumah kaca di sektor limbah pada 2010 yang menjadi dasar sebesar 88 ton CO2e. Namun tak disebutkan secara spesifik besaran emisi dari limbah plastik yang akan diturunkan. Padahal, menurut catatan Center for International Environmental Law (CIEL) pada 2019, yang dikutip dari laporan Greenpeace, proses ekstraksi minyak, transportasi, dan pemurnian produksi plastik bertanggung jawab atas emisi sekitar 108 juta ton CO2e di seluruh dunia dengan ekstraksi gas alam dan transportasi untuk produksi plastik di Amerika Serikat saja menyumbang 9,5-10,5 juta ton CO2e per tahun.
Sementara itu, total emisi sektor ini pada 2050 bisa menelan 10-13 persen dari seluruh anggaran karbon dan meningkat menjadi 25 persen atau lebih pada 2100. Menurut Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, pemerintah Indonesia masih gagal melihat daur hidup plastik sebagai salah satu penyumbang emisi yang besar. "Padahal, jika serius, pemerintah bisa saja mewajibkan produsen memilih opsi refill atau reuse," ucapnya.
Ia juga menyinggung komitmen Indonesia terhadap resolusi plastik global yang dikeluarkan dalam Sidang Ke-5 Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNEA). Perjanjian ini bertujuan mengakhiri polusi plastik pada 2050 yang mengikat secara hukum dan mencakup seluruh siklus hidup plastik. Menurut Atta, resolusi UNEA ini adalah pintu masuk Indonesia untuk memiliki posisi yang tegas terhadap solusi semu seperti pembakaran serta pengolahan sampah menjadi energi dan mulai serius melihat siklus hidup plastik secara utuh. "Resolusi UNEA di Nairobi, Kenya merupakan capaian penting setelah Perjanjian Paris," tuturnya.
Adapun menurut Fajri, resolusi yang dikeluarkan Majelis Lingkungan PBB tersebut tak bisa serta-merta dilaksanakan dengan membuat aturan baru. Ia mengatakan Indonesia hanya perlu sedikit tegas melaksanakan seperangkat aturan yang telah ada, seperti Undang-Undang Pengelolaan Sampah. "Ketatkan saja aturan yang ada seperti peta jalan ini dengan meningkatkan transparansinya sehingga publik dapat ikut mengawasi.”
•••
SUDAH lebih dari tiga bulan sejak Prigi Arisandi—salah satu pendiri Ecoton—menyusuri Sungai Ciliwung dan menjelajahi belasan provinsi. "Plastik yang banyak ditemukan yang menjadi sumber polutan utama di sungai-sungai adalah kemasan plastik," ucapnya, Selasa, 2 Agustus lalu. Menurut Prigi, sampah plastik tak hanya akan mengganggu kehidupan biota dasar sungai sebagai tempat menempelnya telur ikan, tapi juga menjadi sumber penyebar patogen baru oleh bakteri-bakteri yang menempel pada senyawa pembentuk plastik yang terlepas ke air sungai.
Selain itu, Prigi menambahkan, sampah plastik di dasar sungai akan terfragmentasi menjadi mikroplastik yang bakal mengikat polutan di air, seperti logam berat, detergen, dan pestisida. Padahal mikroplastik tergolong senyawa pengganggu hormon. Prigi mengatakan sampah yang paling banyak ia temukan selama menjalani ekspedisi sungai di Nusantara adalah saset atau kemasan multilayer yang biasa digunakan produsen untuk mengemas produk perawatan pribadi seperti sampo dan sabun, juga pembungkus makanan.
Ia menyebutkan produk-produk kemasan saset dari Unilever adalah pencemar terbesar. Dalam audit merek yang dilakukan ketika menjelajahi Sungai Siak, Riau, ia menemukan sampah produk Unilever menempati urutan pertama sebagai merek yang paling mencemari sungai tersebut. Demikian pula ketika ia menyusuri Sungai Musi, Sumatera Selatan. Unilever tak menyanggupi permintaan wawancara yang Tempo ajukan untuk mengkonfirmasi temuan ini dan menjelaskan peta jalan perusahaan dalam mengurangi sampah.
Menurut Muharram Atha Rasyadi, dari hitungan badan perdagangan Plastics Europe, pada 2020 angka produksi plastik global mencapai 367 juta ton, naik dari 359 juta ton pada 2018. Jika bisnis seperti biasa berlanjut, diperkirakan produksi plastik berlipat ganda pada 2030-2035 dan meningkat hingga tiga kali lipat pada 2050 dibanding pada 2015. "Emisi global dari siklus hidup plastik akan meningkat lebih dari 50 persen pada 2030 menjadi 1,34 miliar ton CO2e per tahun, jika dibandingkan dengan 2019.”
Atha menambahkan, produsen-produsen besar lima polimer plastik sekali pakai berencana meningkatkan kapasitas produksi mereka dengan tambahan sebesar 70 juta ton sampai 2025. Ia menyebutkan Exxon, Shell, Saudi Aramco, Formosa, dan Borealis telah menambah kapasitas produksi polimer murni sebagai bahan baku pembuatan plastik. Shell, dia menerangkan, secara khusus meningkatkan kapasitas produksi polimer murni sebesar 145 persen dengan wilayah utama ekspansi di Asia Tenggara, Timur Tengah, Cina, dan India. "Trennya saat ini produsen minyak bumi mulai menggenjot produksi mereka untuk kebutuhan produksi plastik industri," ujarnya.
Sementara itu, salah satu implementasi strategi NDC Indonesia adalah meningkatkan penerapan unit penangkap metana (LFG) dari 2010 hingga 2030 dalam pengelolaan tempat pemrosesan akhir. Pemerintah juga menargetkan peningkatan persentase pembangkit listrik tenaga sampah atau bahan jumputan padat (RDF) dibandingkan dengan total timbulan sampah. Menurut Daru Setyorini dari Ecoton, ini salah satu solusi semu karena tak benar-benar membereskan persoalan emisi dari seluruh siklus hidup plastik.
Daru mengatakan Indonesia dapat mencontoh Belanda yang sedang menyiapkan pengalihan distribusi kemasan plastik dengan sistem isi ulang. Adapun Sri Lanka telah membuat aturan pelarangan distribusi dengan produk dalam kemasan saset. "Kebijakan dan aturan seperti itu yang harus diterapkan di Indonesia dengan tegas," tuturnya.
Hingga saat ini, kata Daru, belum ada satu pun produsen di Indonesia yang berkomitmen menghentikan penggunaan kemasan saset untuk mengurangi sampah plastik karena pertimbangan ongkos produksi dan kebijakan yang tak mengatur pelarangan saset sekali pakai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo