Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Saset atau kemasan plastik sekali pakai mendominasi 79,7 persen dari sampah plastik yang terkumpul dalam audit merek oleh gerakan Pawai Bebas Plastik sepanjang Juni lalu.
Saset sulit terurai dan susah didaur ulang.
Produsen hendaknya menggunakan bahan produksi yang menghasilkan sampah sesedikit mungkin, bisa diguna ulang, dapat didaur ulang, dan mudah diurai oleh alam.
TANAH, sungai, dan laut Indonesia tak putus dirundung sampah plastik sekali pakai. Upaya mengurangi sampah plastik dari hulu sampai hilir masih terbatas sebagai kampanye pencinta lingkungan. Kebijakan pemerintah untuk mengurangi, memakai kembali, dan mendaur ulang plastik tak berjalan konsisten. Tanggung jawab produsen plastik pun teramat payah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajar saja bila pegiat lingkungan kembali turun ke jalan untuk mengingatkan lagi bahaya sampah plastik. Pada hari bebas kendaraan bermotor, Ahad, 24 Juli lalu, aktivis dari delapan lembaga swadaya masyarakat menggelar Pawai Bebas Plastik di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Mereka mengarak “monster ular” sepanjang 16,5 meter berkulit sampah plastik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kulit ular-ularan itu dikumpulkan dalam aksi susur pantai di 10 provinsi, dari Banda Aceh hingga Ambon, sepanjang Juni lalu. Kala itu, para aktivis lingkungan membersihkan pantai sekaligus “mengaudit” merek sampah plastik yang berserak. Hasilnya, saset atau kemasan plastik sekali pakai mencapai 79,7 persen dari sampah yang terkumpul. Memiliki banyak lapisan—tiap lapisan terbuat dari jenis plastik berbeda—saset plastik sulit terurai oleh alam dan susah didaur ulang.
Temuan para aktivis lingkungan itu mengkonfirmasi sejumlah laporan yang mengungkap betapa seriusnya problem sampah plastik di negeri ini. Laporan Bank Dunia pada 2021, misalnya, menyebutkan Indonesia menghasilkan 7,8 juta ton sampah plastik dalam setahun. Dari angka itu, hanya sekitar 37 persen yang bisa dikelola dan didaur ulang. Sisanya tercecer di mana-mana. Bahkan sekitar 346 ribu ton plastik dari daratan hanyut ke lautan. Maka Indonesia pun menjadi negara kedua yang paling banyak membuang sampah plastik ke lautan—satu level di bawah Cina.
Sejak 2008, Undang-Undang Pengelolaan Sampah telah mendorong produsen mengurangi sampah—termasuk sampah plastik. Produsen juga harus memakai bahan baku yang bisa diguna ulang, didaur ulang, dan mudah diurai oleh alam. Tujuannya untuk mengurangi timbulan sampah sebesar 30 persen pada 2029. Untuk mencapai target itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mewajibkan produsen membuat peta jalan pengurangan sampah 2020-2029.
Masalahnya, aturan sebagus apa pun tak ada gunanya bila tidak ditegakkan. Kementerian Lingkungan, misalnya, tak pernah membuka kepada publik peta jalan pengurangan sampah yang disetorkan 33 perusahaan. Padahal keterbukaan sangat penting untuk mengetahui seberapa serius upaya produsen mengurangi sampah. Masyarakat juga berhak tahu sanksi apa yang dijatuhkan Kementerian Lingkungan bagi perusahaan yang mengingkari peta jalan yang mereka buat sendiri.
Pemerintah tak sepantasnya memanjakan produsen sampah dengan mengorbankan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Ingat pula, sejak Maret lalu, Indonesia bersama 174 negara lain telah mengadopsi Resolusi Akhiri Polusi Plastik dari Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jangan sampai negara kita menjadi olok-olok dunia karena hanya rajin mengadopsi resolusi tapi malas menjalankannya.
Bila pemerintah tak kunjung tegas, masyarakat sebagai konsumen punya kekuatan pamungkas: boikot produk berkemasan plastik sekali pakai yang tak ramah lingkungan.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo