Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

KHDPK: Meluruskan Rasionalitas Konsep Pengelolaan Hutan

Secara teori, konsep kebijakan KHDPK rasional. Bisakah implementasinya efektif?

6 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERING ada anggapan semua kebijakan pemerintah itu baik. Jika fakta di lapangan buruk, itu karena peraturan tidak dilaksanakan dengan benar. Tolok ukur keberhasilan sebuah kebijakan pun disederhanakan dengan checklist peraturan. Apa yang terjadi jika kebijakan keliru diimplementasikan dengan benar? Pasti konsisten keliru. Itu sebabnya penting ada uji materi. Itu sebabnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) memantik reaksi pro dan kontra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum menolak atau mendukung, mari kita bedah latar belakang dan konsep kebijakan KHDPK secara teoretis. KHDPK adalah kebijakan akibat Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah hendak mengambil alih 1,1 juta hektare atau hampir 50 persen lahan hutan Jawa yang selama ini dikelola Perusahaan Umum Perhutani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut pemerintah, kebijakan KHDPK terbit karena pengelolaan hutan Jawa oleh Perhutani kurang efektif. Produktivitasnya sangat rendah, rata-rata per hektare hanya Rp 1,6 juta atau Rp 3,2 juta di hutan produksi. Pada 2020, Perhutani membukukan revenue Rp 3,8 triliun. Dari angka ini, produktivitas tenaga kerja Rp 211 juta per orang per tahun karena jumlah tenaga kerja Perhutani 18 ribu orang. Jika dibagi 2,4 juta hektare luas lahan hutan yang dikelola Perhutani, produktivitas per orang menjadi Rp 88 per hektare per tahun. Kurang dari seratus rupiah!

Walaupun sangat rendah, membandingkan produktivitas rimbawan profesional dengan harga sebuah permen tentu kurang bijak. Profesionalisme adalah hal yang berbeda. Rendahnya produktivitas Perhutani tidak selalu berkaitan dengan persoalan salah urus. Bisa jadi penyebabnya salah urusan.

Di Jawa Timur, ada perkebunan mangga yang luasnya hanya 40 hektare. Hasilnya jauh lebih besar dibanding pendapatan lahan Perhutani di sebelahnya, yang luasnya puluhan kali lipat. Kita bisa menyebut ketimpangan ini terjadi akibat tidak ada terobosan bisnis kehutanan yang kompetitif oleh Perhutani. Atau regulasi selama ini memasung kreativitas rimbawan Perhutani dalam mengelola hutan.

Contohnya kebijakan multiusaha kehutanan yang membawa angin segar dalam bisnis kehutanan. Namun rumitnya birokrasi membuat penyesuaian perizinan berusaha pemanfaatan hutan seolah-olah jalan di tempat. Dalam konteks ini, kebijakan multiusaha kehutanan tidak memiliki persoalan substansial kebijakan yang buruk. Lambatnya realisasi multiusaha kehutanan sangat mungkin terjadi di tataran implementasi yang kontraproduktif. Ibarat mobil, kebijakan multiusaha kehutanan adalah mesin, sementara instrumen pelaksana adalah gas, rem, dan kemudi. Walaupun kapasitas engine mobil sangat besar, mobil akan serupa dengan simulator jika rem selalu diinjak.

Pengelolaan hutan bisa berjalan baik jika memenuhi tiga pilar: personel, pembiayaan, dan program. Indeks tenaga kerja perkebunan kelapa sawit sebesar 0,2. Artinya, setiap satu pekerja bisa menangani 5 hektare area kebun secara efektif. Kita tidak bisa membandingkan efektivitas tenaga kerja pengelola lahan hutan karena sampai saat ini belum ada indeks tenaga kerja sebagai acuan baku.

Dengan asumsi intensitas pengelolaan hutan dua kali lebih rendah dari kebun, idealnya seorang pekerja akan efektif menangani 10 hektare lahan hutan. Jika kita lihat lagi data Perhutani, rata-rata pegawai harus menangani 133 hektare hutan. Sangat tidak rasional. Namun ketimpangan jumlah tenaga kerja tidak hanya terjadi di Perhutani. Lihat, misalnya, apa yang terjadi di kesatuan pengelolaan hutan (KPH) di luar Jawa.  

Lembaga yang didapuk sebagai pengelola hutan di tingkat tapak ini harus beroperasi dengan kondisi jauh dari ideal. Rata-rata seorang rimbawan di KPH harus bertanggung jawab mengawasi ribuan hektare hutan. Hampir mustahil menuntut hasil maksimal pengelolaan hutan.

Dengan melihat ketimpangan produktivitas tenaga kerja ini, kebijakan KHDPK menemukan rasionalitasnya.

KHDPK adalah kebijakan yang rasional, tapi tidak selalu akan berjalan efektif. Jika penentuan alokasi lahan KHDPK hanya didasarkan pada pertimbangan biofisik, hampir bisa dipastikan kebijakan KHDPK akan gagal. Selain memperhitungkan faktor biofisik, KHDPK harus mempertimbangkan tipologi modal sosial masyarakat sekitar hutan.

Modal sosial adalah kekuatan yang dimiliki masyarakat karena adanya rasa saling percaya, jejaring, komunikasi, hierarki kepemimpinan, dan norma tertentu yang diakui bersama. Kekuatan modal sosial sangat menentukan tingkat keberhasilan aksi kolektif dalam pengelolaan hutan.

Selain modal sosial, kapasitas negara harus menjadi pertimbangan dalam operasionalisasi kebijakan KHDPK. Memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat sangat tepat jika modal sosial masyarakat sudah kuat ketika kapasitas negara lemah. Kolaborasi dengan masyarakat diperlukan jika modal sosial masyarakat kuat dan kapasitas negara juga kuat.  

Anggapan bahwa pengelolaan hutan langsung oleh negara, badan usaha milik negara, atau instansi yang ditunjuk pemerintah akan berjalan lebih baik dan efektif berlaku jika kapasitas negara kuat, sementara modal sosial masyarakat lemah. Sebaliknya, jika kapasitas negara lemah dan modal sosial masyarakat juga lemah, pengelolaan hutan oleh lembaga privat menjadi pilihan terbaik.

Dalam kedua kondisi terakhir, pelibatan masyarakat justru akan menjadi beban dalam pengelolaan hutan. Perhutani sebagai pemangku wilayah hutan bisa berperan sebagai representasi negara dan pada saat yang sama Perhutani harus mampu menjadi entitas bisnis profesional. Karena itu, secara teoretis, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sebagaimana yang diinginkan dalam konsep KHDPK berpotensi menurunkan biaya pengelolaan hutan (Birner dan Wittmer, 2000).

Hubungan pengelolaan hutan dengan modal sosial dan kapasitas masyarakat, negara, dan perusahaan dalam KHDPK.

Kurva governance costs (GC) menunjukkan bahwa, tanpa pelibatan masyarakat, pemerintah akan mengeluarkan biaya tetap sebesar C dan mengeluarkan biaya tambahan seiring dengan makin luasnya sumber daya hutan yang dikelola (more care intensity). Kurva GC3 menunjukkan biaya yang diperlukan jika ada kerja sama pengelolaan hutan bersama masyarakat (co-management). Sebab, pelibatan masyarakat akan menaikkan biaya awal pengelolaan hutan dari C menjadi C3. Namun, seiring dengan makin lama dan luasnya hutan yang dikelola, biaya co-management akan makin lebih efisien.

Setelah garisnya melewati titik E (perpotongan antara kurva GC dan GC3), biaya co-management akan lebih rendah dibanding jika hutan dikelola pemerintah (state management). State management adalah pilihan yang logis dan efisien jika cakupan sumber daya hutan yang dikelola tidak terlalu luas (less care intensity), yakni jika care intensity kurang dari A (sejajar dengan E, titik potong GC dan GC3). Sebab, biaya awal pengelolaan hutan akan turun dari C3 menjadi C1.

Modal sosial berperan menurunkan biaya awal pengelolaan hutan co-management. Jika modal sosial kuat, biaya koordinasi dengan para tokoh masyarakat untuk memulai suatu program bisa lebih rendah. Adanya kekuatan modal sosial ini akan menyebabkan kurva biaya pengelolaan hutan co-management bergeser dari GC3 menjadi GC1. Cakupan sumber daya hutan yang bisa dikelola dengan co-management secara efisien juga bergeser dari titik A ke titik B.

Jika modal sosial negatif (perverse social capital), misalnya ada pembalakan liar, kurva biaya pengelolaan hutan dengan co-management akan bergeser dari GC3 menjadi GC2. Akibatnya, biaya awal dalam co-management akan bertambah dari C3 menjadi C2. Cakupan luas hutan yang layak dikelola bersama masyarakat juga bergeser dari titik A ke titik C. Biaya pengelolaan hutan, karena itu, akan lebih besar jika modal sosial masyarakat rendah.

Dengan analisis-analisis seperti itu, kebijakan KHDPK adalah solusi pengelolaan hutan Jawa yang efektif. Syaratnya, alokasi lahan tidak hanya memperhatikan faktor biofisik, tapi juga mempertimbangkan tipologi modal sosial dan kapasitas negara, cq instansi vertikal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau BUMN. Modal sosial masyarakat bisa diperkuat dengan menumbuhkan rasa saling percaya antara mereka dan pengelola hutan, membangunkan jejaring untuk mereka, serta mengembangkan sistem komunikasi dan koordinasi yang baik antara pengelola hutan (negara) dan masyarakat.

Dalam situasi tertentu, modal sosial bisa bertransformasi menjadi modal politik, di mana kekuatan-kekuatan sosial yang melekat pada diri individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu bisa mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, KHDPK harus diperhatikan agar tidak dipakai oleh siapa pun sebagai kedok bagi-bagi lahan untuk kepentingan politik Pemilihan Umum 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus