Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI laut kembali menjadi laut. Begitulah nasib desa-desa pesisir di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, seperti Bendono, Timbulsloko, Surodadi, dan Sidorejo, yang kini tenggelam oleh rob. Dulu, setidaknya pada masa kejayaan Kerajaan Demak di bawah Raden Trenggono pada abad ke-16, desa-desa itu tidak ada, melainkan hanyalah Selat Muria yang memisahkan Jawa dan Pulau Muria. Desa-desa itu muncul pada abad ke-17 akibat terjadinya sedimentasi laut yang masif sehingga menghilangkan Selat Muria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut studi Dian Novita, Intan Utami Agustiani, dan Agus Hendratno dari Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, hilangnya Selat Muria menyebabkan kemunduran kerajaan maritim yang kuat itu. Studi ini memakai analisis citra satelit serta data geologi permukaan dan bawah permukaan pada lokasi di Kecamatan Sayung, Kalikondang, dan Bintoro. Tim mempublikasikan makalahnya dalam Laporan Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Eksibisi ke-39 Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) pada 2010.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara morfologi, kata Dian, kawasan Demak saat ini merupakan dataran rendah yang dikelilingi oleh Pegunungan Muria di arah timur laut, Pegunungan Rembang (tenggara), Pegunungan Rembang (barat daya), serta berbatasan dengan Laut Jawa (barat laut). Mulanya, cekungan Demak berisi air laut. Kemudian, cekungan ini mulai terisi oleh limpahan material hasil erupsi vulkanis Gunung Muria dan dari proses denudasi Pegunungan Kendeng yang diangkut melalui sungai yang bermuara di cekungan Demak.
Menurut Dian, adanya jalur patahan yang dialiri Sungai Tuntang yang bermuara di Glapan dan Sungai Gelis yang bermuara di Kudus (sekarang) membuat laju sedimentasi makin cepat sehingga pada muara sungai terbentuk tumpukan material sedimen yang berkembang menjadi delta. Terbentuknya patahan radial yang kemudian dialiri Sungai Gede menyebabkan di Welahan juga terbentuk delta. Sedimen terakumulasi karena aliran sungai tertutup endapan erupsi vulkanis sehingga material sedimen tak dapat diteruskan ke laut.
Ahli geologi lingkungan pada Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Oki Oktariadi, menyebutkan pendangkalan di Selat Muria saat itu tak terbendung serta sangat pesat. Sedimentasi lama-kelamaan mengendap menjadi tanah lunak. “Dalam posisi menjadi tanah lunak, terjadi pemampatan atau pemadatan yang dipengaruhi oleh adanya patahan pada struktur geologi wilayah itu,” kata Oki saat dihubungi Tempo, Senin, 18 Maret 2024.
Prajurit TNI mengisi karung dengan tanah untuk material penutupan tanggul Sungai Wulan yang jebol di Desa Ketanjung, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, 18 Maret 2024. ANTARA/Aji Styawan
Menurut Oki, selain mengalami sedimentasi, wilayah Demak dan sekitarnya menghadapi patahan Sesar Baribis-Kendeng. Patahan ini memanjang dari Jawa Barat bagian utara melintasi Jawa Tengah hingga mencapai Jawa Timur. Di Jawa Tengah, sesar ini terbagi ke beberapa segmen, yaitu Brebes sepanjang 22 kilometer, Tegal (15 km), Pemalang (9 km), Pekalongan (16 km), Semarang (34 km), dan Demak (31 km).
Menurut Oki, Sesar Baribis-Kendeng ini disinyalir ikut mendorong tanah pada Selat Muria menyembul menjadi daratan. “Sehingga masalah yang dihadapi Demak, Kudus, Pati, dan sejumlah kabupaten di wilayah itu sangat kompleks,” ucap Oki. Persoalannya, permukaan tanah di Selat Muria tak benar-benar memadat. Dengan demikian, dalam beberapa dekade belakangan ini, wilayah itu mengalami penurunan permukaan tanah alias ambles. Hal ini terjadi akibat masih adanya struktur tanah lunak di wilayah Demak dan sekitarnya.
Masalah makin parah ketika pesisir di wilayah Kabupaten Jepara dan Demak mengalami deforestasi atau penggundulan hutan. Hutan mangrove yang pada abad ke-15 masih terjaga, kini musnah tanpa sisa. Kemerosotan tutupan hutan mangrove mengakibatkan bibir pantai mengalami abrasi sejauh 200 meter.
Abrasi ini memicu terjadinya banjir rob di sepanjang pantai utara bagian Jawa Tengah. Adanya sedimentasi yang semestinya mengendap di daratan, justru terbawa aliran air menuju ke laut. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya vegetasi yang mengikat tanah di tepi sungai atau daratan Demak. Tak mengherankan banjir rutin terjadi ketika intensitas hujan sedang tinggi.
Atina Qothrunnada Salsabila bersama dua kawannya di Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro memotret laju penurunan muka tanah di kawasan pesisir Demak. Penelitian tersebut dipublikasikan dalam Jurnal Geodesi Undip volume 10 nomor 1 pada 2021. “Meningkatnya penggunaan air tanah yang disebabkan oleh banyaknya kawasan pabrik serta pembangunan yang menyebabkan topografi Kabupaten Demak makin turun,” demikian mereka menulis.
Kondisi ini memicu banjir pasang di Demak bagian barat dan diprediksi terjadi terus-menerus. Menggunakan citra satelit Sentinel 1A, tim peneliti menemukan nilai penurunan muka tanah terbesar terjadi di Desa Morodemak, Jatirogo, Serangan, dan Wedung di Kecamatan Bonang yang mencapai lebih-kurang 10 sentimeter per tahun. Menurut peneliti, temuan ini merekomendasi pemantauan khusus sebagai upaya mitigasi bencana.
Warga menggunakan ban bekas di depan rumah yang terendam banjir di Desa Ketanjung, Karanganyar, Demak, Jawa Tengah, 17 Maret 2024. ANTARA/Yusuf Nugroho
Peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dwi Sarah, juga melaporkan adanya penurunan tanah drastis di banyak daerah, khususnya di kawasan pantai utara Jawa (Pantura) pada sisi Jawa Tengah. "Dari pemetaan yang kami lakukan, kerusakan di Pulau Jawa bagian selatan relatif kecil. Tapi makin ke utara, kerusakannya makin parah," ujar Dwi.
Dwi juga menyebutkan fenomena tanah ambles di Semarang dan Demak terjadi dari arah barat ke timur. Penurunan tanah yang makin tinggi menuju ke arah timur. "Hal ini sesuai dengan struktur geologi di bawah permukaannya, yang menunjukkan endapan lempung dan lanau yang cukup tebal di daerah timur, dari Kaligawe, Terboyo, hingga ke Demak.”
BRIN juga telah melakukan penghitungan ambles tanah secara numerik, kemudian melakukan analisis di dua titik, yaitu di wilayah Desa Madukoro, Magelang; dan di Desa Kaligawe, Semarang. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa laju penurunan di Madukoro sekitar 1 sentimeter per tahun dan di Kaligawe sekitar 2 sentimeter per tahun.
Temuan ini menguatkan riset Tim Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2019. Saat itu mereka mendapati 23 daerah di Indonesia yang mengalami penurunan tanah. Badan Geologi kemudian memverifikasi temuan ini dengan membuat Atlas Peta Sebaran Tanah Lunak Indonesia. Hasilnya didapati penurunan muka tanah 1-20 sentimeter per tahun.
Oki Oktariadi menambahkan, pihaknya meminta pemerintah serius membuat skenario mitigasi jangka panjang untuk mencegah Demak tenggelam. Di antaranya mengkombinasikan teknik sipil dan lingkungan berupa pembangunan benteng raksasa untuk mencegah banjir rob dan menanam mangrove secara berkala di pesisir pantai. Pemerintah juga diminta memperbanyak vegetasi di hulu daerah aliran sungai di Jawa Tengah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo