CAGAR Alam Leuweung Sancang, Garut, Jawa Barat, ternyata
menyimpan pohon meranti yang langka, bahkan diperkirakan
satu-satunya jenis shorea merah yang kini ada di dunia. Tapi,
hampir saja pohon itu, yang tumbuhnya persis di tepi selokan
batas cagar alam dengan tanah milik PTP XIII, ditebang. Untung,
Prof. Ahmad Yahya Kostermans, ahli biologi pada Lembaga Biotrop,
Bogor, yang menemukan pohon itu, segera melaporkannya pada
rektor IPB Andi Hakim Nasution, yang kemudian meneruskan laporan
penemuan itu ke Menteri KLH Emil Salim. Adalah berkat campur
tangan Emil, pohon yanp sudah diberi nomor penebangan itu jadi
selamat.
Penemuan meranti shorea merah itu boleh disebut secara
kebetulan. Awal November silam, Kostermans, 77, meninjau cagar
alam Leuweung Sancang untuk melihat sejauh mana kerusakan di
kawasan ini. Sebab, begitu banyak pohon di sini yang ditebangi
secara ilegal. Ketika sampai di kawasan hutan yang masih utuh,
sekitar tiga hektar, ahli biologi yang sudah tua ini tiba-tiba
seperti tak percaya pada penglihatannya. Di hadapdnnya berdiri
tegak sebatang pohon yang mempunyai lingkaran hampir empat meter
dan tinggi sekitar 40 meter. Dan belum pernah Kostermans
menemukan pohon sejenis itu di tempat lain. "Bagai mimpi di
siang bolong," katanya mengomentari penemuan itu. Untuk menguji
kebenaran penemuannya, Kostermans mengambil contoh daun yang
gugur serta kulit pohon meranti itu. Setelah contoh-contoh itu
diselidiki di laboratorium, baru ia yakin bahwa penemuan ini
sangat berarti. "Saya kenal hampir 200 jenis pohon meranti. Dari
buku dan literatur yang ada, serta pengalaman berpuluh-puluh
tahun menelusuri berbagai hutan di Indonesia, saya yaKm, lems ml
Delum pernah ada yang menemukannya," katanya.
Begitu gembiranya, Kostermans datang lagi ke cagar alam Leuweung
Sancang yang terletak di pantai selatan Jawa Barat itu. Kali ini
seluruh kawasan ia selusuri. Menurut informasi seorang penduduk,
pohon ienis itu masih ada di tengah-tengah perkebunan kelapa.
"Buru-buru saya ke sana. Sayang, pohon itu sudah ditebang dan
dipotong-potong. Jadi, ada dua pohon meranti yang jenisnya
langka, tapi hanya satu yang bisa diselamatkan," katanya.
Penemuan ini, menurut Kostermans, sangat penting di bidang
botani. "Bisa mengubah teori tentang keadaan di Jawa sebelum
ditempati manusia," katanya. Ia menceritakan, menurut teori
evolusi, hutan meranti diperkirakan pernah dijumpai di Jawa 60
juta tahun lalu. Ini dibuktikan dari fosil meranti yang
ditemukan di Leuwiliang, Bogor. Namun, hutan itu lenyap akibat
ledakan dan proses evolusi bumi.
Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim tak kalah
gesit dalam bertindak menyelamatkan pohon langka itu. "Begitu
menerima laporan, Menteri langsung mengirim teleks kepada
menteri muda urusan peningkatan produksi tanaman keras, menteri
pertanian dan menteri kehutanan," ujar drh. Linus Simanjuntak,
sekretaris menteri KLH. Teleks itu berisi imbauan agar rencana
perluasan perkebunan karet MiraMare PTP XIII tidak mengganggu
pohon meranti penemuan Kostermans.
Pihak Perlindunan dan Pengawetan Alam (PPA) Bogor juga cepat
bertindak. Areal dua hektar dari pohon itu langsung dipagar.
Karena pohon meranti tumbuh di luar parit cagar alam, maka PPA
mengganti areal baru, yang jauh dari pohon langka itu, bagi PTP
XIII.
Masalah penyelamatan tampaknya selesai. Yang dipikirkan para
ahli iologi saat ini bagaimana memperbanyak jenis meranti itu.
Kostermans merencanakannya dengan cara memindahkan jaringan sel
pohon (tissue culture). "Nanti diambil satu atau dua sel dari
jaringan pohon, kemudian dimasukkan ke dalam botol berisi
agar-agar yang ditambah dengan zat makanan yang diperlukan
tumbuhan itu. Lalu ditungggu sampai tumbuh tunas. Setelah itu,
baru dipindah ke pot," kata Kostermans.
Cara lain adalah menunggu munculnya bunga dan buah untuk
memastikan genus dan species-nya. Masih diselidiki juga apakah
pohon itu mungkin dikembangkan melalui biji. "Kalaupun mungkin,
itu berarti menunggu cukup lama," kata Kostermans. Ahli biologi
ini mempercayakan pengembangan pohon itu epada anak angkatnya,
Prof. Edi Nurhadi, dari Jurusan Biologi ITB.
Sampai sekarang jenis meranti itu belum diberi nama. Kostermans
baru memberi nama sementara: Meranti yang Mabal. "Sebab, untuk
menemukan pohon itu, saya terpaksa mengeluarkan uang yang tak
sedikit dari kantung pribadi," kata Kostermans yang selama dua
kali perjalanan menghabiskan Rp 150.000.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini